Melampaui Aktivisme Tagar dan Logika Viralisme Media
Akhir-akhir ini beberapa tagar (hashtag) media sosial menjadi trending topic berita nasional. Ruang diskusi publik terutama media arus utama dipenuhi topik-topik yang cenderung mereduksi trending topic media sosial.
Hal ini sebenarnya wajar-wajar saja. Media pemberitaan nasional memang bekerja dengan logika trending topic atau logika viralisme. Topik yang menjadi trending pada media sosial akan dijadikan bahan kajian berita media. Media tidak mau kehilangan rating kadang dengan cara mengabaikan informasi apa yang seharusnya atau paling urgen untuk diketahui publik. Dengan kata lain, media akan terus-menerus memberitakan berita receh jika berita tersebut berpotensi rating tinggi.
Sebut saja berita Sunda Empire. Dari sisi viralitas berita, Sunda Empire memang adalah topik yang tepat untuk dijadikan berita. Tentunya jika media terkait bekerja dengan logika trending topic yakni media sebagai budak rating.
Dengan tidak serta-merta menghakimi bahwa berita tentang Sunda Empire dan beberapa topik sejenis bukanlah topik yang urgen bagi publik, cara media mengemas berita-berita tersebut terkesan melebih-lebihkan. Tidak sesuai dengan porsi urgensitasnya, atau ada porsi berita lain yang dikorbankan. Hal ini berarti, media pemberitaan memiliki potensi besar untuk mengesampingkan berita yang urgen dari pikiran publik dengan alasan rating.
Pada titik ini, dapat saja dikatakan bahwa media pemberitaan dewasa ini semacam terjangkit penyakit ‘candu sensasi’. Hampir sama dengan netizen, namun wujudnya berbeda. Media melupakan tugasnya sebagai pelaku didik publik.
Pada kasus tertentu, media pemberitaan kini dikendalikan media sosial bukan malah sebaliknya. Tagar mayoritas pada media sosial menjadi pengendali opini publik. Jadi bukan hanya netizen yang kecanduan atau bahkan mudah terprovokasi dengan medsos (tagar), tetapi juga media. Hal ini adalah bukti kegagalan media pemberitaan yang mesti menjadi keprihatinan publik.
Dampak Sistemik
Menimang seberapa besar pengaruh opini publik terhadap kesehatan demokrasi, ada beberapa dampak fenomena aktivisme tagar yang dapat diakibatkan. Pertama, dengan diusungnya berita berbasis tagar, beberapa berita yang seharusnya lebih urgen untuk diberitakan menjadi tenggelam. Dengan kata lain, fenomena mayoritas tagar atau trending topic telah mengelabui publik sebagai material utama demokrasi. Urgensitas ditutupi tagar.
Sebut saja berita tentang anggota KPK yang terlibat kasus korupsi hampir 1 Milyar tertutup oleh berita Sunda Empire. Sekali lagi, ini bukan tentang diberitakan atau tidak. Namun, ini tentang seberapa masif sebuah peristiwa atau fenomena diberitakan. Disinilah letak masalahnya.
Intensitas publikasi berita sering kali tidak relevan dengan porsi urgensitas berita tersebut. Alih-alih muncul sebagai anti tesis dari informasi berbasis tagar yang tanpa konfirmasi, media pemberitaan muncul sebagai budak rating. Pada titik ini, pembelaan bahwa media memiliki berita yang terkonfirmasi dengan sumber yang jelas agaknya sudah tidak relevan lagi. Bukan itu titik masalahnya.
Redaksi media dalam hal ini menjelma menjadi mayoritas tagar media sosial. Kembali kepada tesis awal; hal ini memang wajar-wajar saja, atau juga diwajar-wajarkan oleh media dan publik sendiri. Pedoman etis dari redaksional media telah digantikan oleh trending topic/tagar mayoritas. Jadi pada kasus tertentu, menerima berita media pemberitaan sama saja dengan menikmati media sosial. Publik hanya dihipnotis dengan iming-iming jurnalistik atau nama besar media.
Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa asumsi yang dapat ditarik. Yang pertama, fenomena tagar dapat saja digunakan untuk kepentingan politik. Kebobrokan politik yang seharusnya diketahui publik dialihkan oleh fenomena tagar.
Para politikus dengan lincahnya bermanuver untuk menyembunyikan kebobrokannya (baca; momentum politik). Fenomena mayoritas tagar dijadikan (dimanfaatkan) sebagai peluang atau sebagai pengalih opini publik. Persoalan seperti ini juga setidaknya memberi kemungkinan bagi adanya mobilisasi politis.
Yang kedua, hal ini dapat saja menandakan minat publik. Publik kita sepertinya lebih tertarik dengan berita-berita seperti Sunda Empire dari pada berita-berita yang lebih urgen bagi kesehatan demokrasi. Jika publik adalah tubuh utama demokrasi, yakni jaringan-jaringan yang menghidupkan demokrasi itu sendiri maka agaknya demokrasi kita sedang tidak sehat. Informasi dari media yang seyogyanya memberi asupan ‘current state’ bagi publik adalah makanan yang nilai gizinya sangat rendah.
Hal ini akan berdampak sistemik kepada masyarakat yang masih menganggap media, dalam hal ini media pemberitaan, sebagai sumber berita berikut sebagai sumber kebenaran utama. Tanpa meyangkal hakikat konvergensi media dimana publik dinilai sudah lebih selektif dan kritis, publik dapat saja dididik (baca; tugas media) dengan berita kurang urgen seperti itu.
Hal ini diperparah dengan titel ‘netizen sensasional’ dengan tingkat pendidikan yang tergolong rendah bagi Indonesia. Bagi demokrasi, masalah ini bisa menjadi ancaman serius. Layaknya kanker dalam tubuh manusia yang keberadaan tidak dapat disadari secara gamblang. Mesti ada pemeriksaan serius seperti halnya pemeriksaan medis bagi keadaan media berikut keadaan mindset publik khususnya tentang fenomena aktivisme tagar.
Celah Sederhana
Dalam konteks fenomena tagar, agaknya media itu buta atau membutakan diri dari perbedaan antara kebutuhan dan keinginan publik. Jika media dianalogikan sebagai orang tua, dan publik sebagai anak, maka media akan memilih membelikan anaknya jajanan dari pada makanan bergizi. Dapat juga media akan memilih membiarkan anaknya bermain game online dari pada mengantarnya ke sekolah.
Problem etis ini nampaknya tidak dipedulikan media sebagai pelaku didik karena dewasa ini, media menampilkan dirinya sebagai pelaku bisnis yang menghamba pada rating atau kapital.
Pada titik ini, produksi media seharusnya lebih jeli melihat kebutuhan publik sebagai material utama demokrasi. Dengan demikian, segala macam pemberitaan yang kurang urgen atau berpotensi membodohkan (membutakan) dapat dikesampingkan, sehingga publik disuguhkan dengan pemberitaan yang menyehatkan baik secara sosio-kultural ataupun secara politis.
Dengan membiasakan pemberitaan yang berkualitas seperti ini, keinginan publik terhadap hal-hal receh sebagai dampak dari media sosial dapat diredam dan digantikan dengan keinginan baru yang lebih bermanfaat dan revolusioner.
Jika media benar-benar mempertimbangkan tugas etisnya ini, maka agaknya publik dapat menggunakan media sebagai sumber kebenaran yang bukan hanya terkonfirmasi secara empiris, tetapi juga urgen dan menyehatkan.
Dengan demikian, tugas media sebagai anti-tesis dari media sosial yang cenderung ‘ngawur’ memperoleh realisasinya. Karena pada dasarnya, media ada untuk mengkritisi penyakit demokrasi, bukan untuk mengajak publik mereceh, apalagi dengan cara menjual publik kepada para pemilik modal. Media itu budak demokrasi, bukan budak rating.
Artikel Lainnya
-
148110/11/2020
-
85626/09/2023
-
21223/11/2024
-
Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Kita
155605/07/2022 -
Mengenang Wiji Thukul dan Semangat Pergerakan Mahasiswa
244928/08/2020 -
Natal-Tahun Baru, Momen Ganti Petasan dengan Puji-pujian
206724/12/2019
