Kerja Tambahan Sebagai Upaya Pemenuhan Kebutuhan Hidup

Pegiat HAM
Kerja Tambahan Sebagai Upaya Pemenuhan Kebutuhan Hidup 25/11/2022 590 view Ekonomi pribadi

Sore menjelang petang, sederet payung terkembang memenuhi sebagian emperan pertokoan di depan pendopo belakang Pasar Beringharjo. Di balik deretan payung tersebut, tampak para perempuan lanjut usia. Ada yang sudah terlelap, beberapa tampak duduk termangu, ada pula yang sibuk mengupas bawang merah dan bawang putih. Hujan sejak siang tadi sudah berhenti. Menyisakan hawa dingin, menyusup di lantai emperan yang coba diredam dengan tikar dan karton bekas. Sebagian masyarakat mungkin sedang menikmati minuman hangat sambil bercengkrama atau menonton televisi di rumah yang hangat.

Ibu-ibu lansia ini bekerja sebagai buruh gendong. Sejak pukul 2 pagi sudah terbangun dan bergegas ke lantai tiga untuk menyambut mobil-mobil pengangkut sayuran. Lalu masing-masing mengambil barang gendongan seperti bawang, kentang, sayur-mayur, buah dan lain-lain dalam karung-karung besar. Setiap karung atau barang gendongan dibawa menuju kios di lantai dua atau satu. Pekerjaan mengangkut atau memggendong dilakukan hingga siang, sebagian ada juga yang menunggu hingga pasar tutup.

Di sela-sela menunggu konsumen pasar membutuhkan jasa gendong, para ibu ini menunggu di dekat tangga atau beberapa tempat mengumpul. Biasanya konsumen yang sudah paham atau sudah menjadi langganan langsung mendatangi penyedia jasa gendong ini. Usai bekerja, para ibu buruh gendong pulang dengan menggunakan bis langganan. Ada dua bis yang dipergunakan, warna biru dan merah. Biasanya pada jam yang tetap sudah menunggu di dekat tempat parkir. Sebagian besar pulang ke desa-desa di kabupaten Kulon Progo. Sampai di titik pemberhentian, lanjut dengan motor jemputan suami atau anaknya. Ada pula yang memilih untuk tidak pulang dan tinggal.

Mereka yang memilih tidak pulang biasanya tidur di emperan toko. Tidak tentu jumlahnya. Malam itu ada sekitar 12 ibu usia di atas 50an. Ada satu ibu yang asik mengupas bawang, usianya 76 tahun. Matanya terus tertuju berganti-ganti antara mengambil bawang, mengupas dan meletakkan bawang yang sudah dikupas pada wadah di sebelahnya. Ada sekitar tiga ibu yang mengupas bawang malam itu. Cahaya remang-remang tidak menghalangi kegiatannya. Tangannya terus saja mengupas. Kegiatan mengupas bawang ini biasanya dikerjakan hingga nanti sekitar tengah malam lantas istirahat tidur.

Kerja mengupas bawang dilakukan untuk menambah penghasilan. Hasil jasa gendong belum bisa mencukupi. Sehari bisa mendapat upah 20.000 hingga 50.000 dipotong transport, toilet dan makan, hasil yang dibawa pulang masih jauh mencukupi. Oleh karena itu, mengupas bawang menjadi pilihan. Untuk 1 (satu) kilogram upahnya seribu rupiah. Dalam sehari, dari siang hingga malam bisa dapat 50 (lima puluh) kilogram. Subuh sekitar jam 2 para buruh gendong ini akan kembali bersiap melakukan pekerjaannya menawarkan jasa menggendong barang.

Buruh gendong di pasar Giwangan tidak jauh berbeda. Hanya waktu kerjanya siang hingga petang saat pasar tutup. Buruh-buruh gendong ini tersebar di bagian sayur dan buah. Rata-rata mereka sudah bekerja selama 20 (dua puluh) hingga 30 (tiga puluh) tahun. Bamyak juga yang memilih pekerjaan ini karena sejak kecil sudah mengikuti ibunya pergi ke pasar untuk bekerja. Saat musim panen, sebagian pulang untuk menjadi buruh panen. Lalu kembali ke pasar saat panen usai. Mereka berharap agar pekerjaan ini berhenti hanya di meeeka saja, tidak sampai ke keturunannya. Mereka merasakan betapa beratnya kerja sebagai buruh gendong dengan hasil upah yang tidak memadai. Sebagai pekerja informal, buruh gendong tidak masuk dalam aturan ketenagakerjaan. Sehingga baik jam kerja, upah dan jaminan perlindungan atas Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan kerja (K3) berdasarkan kesepakatan antara buruh gendong dan pengguna jasa.

Saat musim hujan seperti ini tentu rawan dan mengandung resiko. Terlebih jika naik atau turun tangga dengan menggendong barang seberat 30 kilogram atau lebih. Belum lagi resiko pada pundak, tulang belakang dan perut. Seorang buruh gendong menceritakan bahwa ia pernah mengalami keguguran hingga dua kali karena dulu saat pasar belum dibangun di lokasi ini, para buruh gendong biasanya lari-lari mengejar bis. Dan pekerjaan menggendong dilakukan sambil berjalan dari lokasi sebelumnya yang berjarak sekitar 50-100 M.

Pekerjaan berat yang dilakoni para buruh gendong ini menunjukkan usaha dan kerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ditambah pekerjaan lain seperti mengupas bawang, memilah sayur, buruh panen dan lain-lain. Untuk bisa menggendong beban seberat itu membutuhkan tehnik yang tepat sehingga barang bisa terbawa di punggung dengan menggunakan selendang. Waktu mulai bekerja sebagai buruh gendong, belajar untuk bisa membawa barang mulai dari 20 (dua puluh) kilogram lalu meningkat hingga semakin terlatih dan kuat menggendong barang seberat 60 (enam puluh) kilogram.

Pandemi Covid diikuti kenaikan harga-harga barang kemarin semakin menambah kesulitan bagi buruh gendong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Para ibu ini harus bersiaat dengan pekerjaan, salah satunya menambah jumlah jenis pekerjaan dan jam kerja. Keuletan dan kegigihan ini tidak hanya membutuhkan stamina yang kuat namun juga jiwa dan semangat. Harapan untuk bisa membawa pulang uang dalam jumlah yang cukup dan harapan lebih besar lagi agar anak-anaknya kelak memiliki penghidupan yang lebih baik.

Dalam usianya saat ini, sebagian pada usia yang seharusnya istirahat dan menikmati masa tua bersama keluarga, ibu-ibu tetap memilih bekerja. Ada berbagai alasan yang membuat mereka memilih untuk tetap bekerja, bukan semata mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan tapi juga mengatasi kejenuhan jika hanya berdiam diri di rumah serta kesempatan untuk tetap bertemu dengan teman-temannya. Ada pemenuhan lainnya, bersosialisasi menjadi cara untuk bertahan dan menambah semangat.

Kerja keras selama 30 tahun bukan sekedar setia pada pekerjaan. Karena bahkan ketekunan dan giat bekerja tetap tidak mampu menambah kemampuan membeli dengan lonjakan harga barang kebutuhan secara terus menerus. Keterpakuan pada jenis pekerjaan ini bukan hanya karena keinginan dalam diri namun juga faktor di luar dirinya. Tidak memiliki peluang untuk mendapat akses menambah kemampuan dan memilih jenis pekerjaan lain. Terlebih bagi yang sedari kecil sudah ikut ibunya bekerja. Dunia yang dikenalnya hanya pasar dan rumah. Dunia semakin maju namun akses menuju ke sana belum terbuka.

Situasi kerja para buruh gendong telah menumbuhkan rasa simpati. Beragam bentuk simpati masyarakat dari mulai dikasi makan, sembako, pengajian hingga membentuk organisasi. Persatuan, keakraban dan kemajuan cara berpikir para buruh gendong ini tentu saja tidak terjadi secara seketika namun melalui proses lama dan campur tangan berbagai pihak. Simpati dalam bentuk donasi tentu sangat dihargai dan dibutuhkan oleh para buruh gendong. Namun bentuk penghargaan yang paling dibutuhkan adalah mengakui keberadaan mereka dan diwujudkan dalam menghargai jasa secara layak.

Lingkungan kerja yang layak meliputi upah, fasilitas, jaminan perlindungan K3 dan aturan ketenagakerjaan. Mayoritas buruh gendong adalah perempuan. Melakoni dua sampai tiga jenis pekerjaan secara berbeda merupakan wujud nyata kerja keras mereka. Para perempuan lanjut usia ini tidak hanya berpangku tangan menunggu donasi. Masa kerja 30 tahun cukup menunjukkan bahwa kerja keras pun tetap tidak merubah jenis pekerjaan ini menjadi lebih bernilai.

Kita bisa belajar bahwa ketekunan dan semangat pada pekerjaan sangat dibutuhkan namun faktor di luar dirinya membuat tekanan lebih besar. Semoga kelak pemerintah menyediakan fasilitas yang dibutuhkan sehingga mungkin, bahkan jenis pekerjaan lain dengan upah yang lebih besar.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya