Hilangnya Pasar Kami

Kenangan saya terhadap pasar tradisional mungkin tak akan hilang ditelan waktu. Bahkan seandainya pasar tradisional itu pelan-pelan tersingkir lalu musnah karena terdesak oleh banyaknya pasar modern, seperti munculnya mall-mall atau pun juga toko-toko swalayan yang semakin hari semakin menjamur.
Masih ingat dalam memori saya, setiap hari minggu pagi tiba, kami menunggu kawan untuk bersepeda bersama menuju pasar tradisional yang berlokasi di desa kami. Tak jauh, hanya cukup waktu 30 (tiga puluh) menit menuju pasar tersebut.
Sebelum sampai ke pasar tradisional yang kami tuju, lebih kurang masih sekitar 1 (satu) kilometer suara gemuruh orang yang bersumber dari pasar itu berkumandang. Kamipun makin bersemangat untuk mengayuh sepeda agar segera sampai ke pasar tradisional yang kami tuju.
Sesampainya di pasar tradisional sepeda kami titipkan. Biaya untuk penitipan sepeda waktu itu hanya Rp. 100,- harga yang sejatinya masih sangat murah kala itu.
Kamipun masuk ke pasar tradisional mencari apa yang ingin kami beli. Tas, baju, kaos, bola, ayam, merpati hingga makanan tradisional tersedia di pasar tersebut. Intinya di pasar tersebut menyediakan berbagai benda atau barang yang merupakan kebutuhan hidup sehari-hari.
Bagi kami yang tak jago tawar-menawar, terpaksa kami harus minta tolong kawan yang lihai dalam hal tawar-menawar barang untuk membantu kami membeli sesuatu, agar barang yang kami beli tidak kemahalan. Dalam tawar-menawar inilah dibutuhkan seni tersendiri antara pembeli dan penjual untuk mencapai harga yang disepakati. Bandingkan dengan proses jual beli di mall-mall atau pun toko-toko swalayan, kita tidak akan menemui yang namanya tawar-menawar seperti ini. Sungguh suasana yang membuat kami kangen.
Soal tawar-menawar di pasar tradisional, ada pengalaman yang menarik yang tak bisa saya lupakan begitu saja. Waktu itu saya hendak membeli tas sekolah. Maklum habis kenaikan kelas, jadi harus beli tas baru. Saya tak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam soal menawar sebuah barang. Maka begitu harga barang tersebut disebutkan oleh penjual, saya hanya menawar sekali dan langsung jadi. Saya pun membayarnya sesuai harga kesepakatan.
Namun begitu tas tersebut mau saya bawa pulang, si penjual kemudian mengembalikan beberapa lembar uang yang tadi saya gunakan untuk membayar barang tersebut. Lalu, saya bertanya kenapa dikembalikan? Si penjual menjawab bahwa untungnya kebesaran. Hal-hal semacam ini, tentunya juga tidak akan kita temui di mall atau pun juga toko-toko swalayan lainnya. Pasar tradisional di mata kami ternyata menyimpan sesuatu yang terkadang lebih humanis dan bersifat lebih manusiawi dalam proses jual belinya.
Jika kami sampai di pasar tradisional sebelum matahari terbit, kami juga akan menyaksikan langsung bahwa di dalam pasar tradisional ada denyut nadi kehidupan dari berbagai pekerjaan. Ada petani yang membawa langsung hasil panennya ke pasar berupa sayur-mayur, ada pedagang kampung yang telah mengumpulkan barang dagangannya dengan cara datang langsung ke petani dan kemudian dijual barang tersebut di pasar tradisional ataupun juga ada buruh panggul yang membantu baik penjual atau pun pembeli dalam mengangkut barang. Ada juga tukang becak yang siap mengantar barang beserta orangnya kemana pun mau pergi serta profesi lain yang ada di pasar tersebut. Tentu profesi-profesi ini tak akan kita temukan di pasar modern yang mungkin barang-barangnya dimonopoli oleh beberapa orang atau perusahaan saja.
Tak jarang ketika berada di pasar tradisional tersebut, kami juga sering bertemu tetangga yang juga sama-sama sedang berada di pasar dengan berbagai keperluan, entah beliau sedang menjual barang dagangannya, ataupun ke pasar untuk membeli sesuatu. Bahkan ada juga yang ke pasar hanya untuk melihat keramaian pasar tersebut.
Karena ketemu dengan tetangga, kami sering meluangkan waktu untuk ngobrol di pasar tersebut bahkan jika urusan sudah sama-sama selesai, kami pun menyempatkan untuk makan di warung yang ada di sekitar pasar itu. Ternyata pasar tradisional selain sebagai penggerak sektor ekonomi kerakyatan, di mata kami juga sesekali berfungsi sebagai ajang silaturahmi. Entah tetangga ataupun juga teman lama yang kebetulan berjumpa di pasar tradisional tersebut.
Memang harus saya akui, bahwa pasar tradisional di tempat kami, tidak seperti mall-mall yang hadir dengan sejuta kenyamanan. Pasar tradisional kami tidak berpendingin AC, bahkan jika hari hujan pasar kami pun menjadi becek, kamipun sering berhimpit-himpitan untuk berteduh pada lapak-lapak yang ada di pasar tersebut. Sambil berteduh, tak jarang pula kami beranjang sena dengan pemilik lapak atau kepada sesama pengunjung pasar yang sama-sama berteduh.
Bandingkan dengan suasana mall yang ada saat ini, mau hujan atau tak hujan, mau siang atau malam suasana sama, tetap terang benderang dan juga tetap sejuk. Bahkan di mall itu kita tak bisa membedakan kapan siang, kapan sore bahkan kapan malam. Karena adanya lampu listrik yang memerlukan daya berwatt-watt. Bukankah adanya lampu listrik, pendingin AC serta sarana dan prasarana yang lainnya yang ada mall merupakan pemborosan?
Sekarang pasar tradisional kami telah mati. Hiruk pikuk kehidupan di pasar tersebut pun hilang. Tak ada suara buruh panggul yang menawarkan jasanya, tak ada lagi tukang becak yang mangkal di sana, tak ada lagi suara sahut-sahutan orang yang melakukan aktivitas tawar menawar. Sungguh saya merasa kehilangan suasana sosial yang memanusiakan manusia di pasar kami tersebut hari ini.
Artikel Lainnya
-
243713/05/2020
-
88304/03/2022
-
115524/04/2020
-
Mendorong Kampus Kembali ke Jalan Perjuangan
62613/04/2025 -
185218/03/2020
-
Dari Rakyat untuk Keluarga: Menguji Integritas Pilkada 2024
13418/06/2025