Indonesia: Darurat Akal Sehat

Pengajar
Indonesia: Darurat Akal Sehat 15/10/2022 765 view Politik PxHere

Indonesia sedang mengalami kondisi “darurat” akal sehat. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh World Population Review 2022 yang menunjukan Indonesia mendapat peringkat ke-130 dari 199 negara dengan IQ (Inttelligence Quotient) tertinggi (medcom.id). Jepang mendapat peringkat pertama dan disusul oleh Taiwan.

IQ berhubungan dengan kecerdasan seseorang untuk menalar, memecahkan masalah, berpikir, merancang suatu gagasan dan memahami gagasan. Karena itu, secara IQ Indonesia masih jauh terbelakang dalam hal bernalar, memecahkan masalah, berpikir, memahami, dan merancang. Padahal, IQ menjadi salah satu nilai paling fundamental bagi negara untuk mencapai kemajuan dalam pelbagai aspek kehidupan. Misalnya dalam aspek kehidupan politik. Partisipasi politik warga negara sangat bergantung sejauh mana pengetahuan mereka tentang politik. Pengetahuan itu menjadi ukuran sejauh mana keterlibatan warga negara sebenarnya. Apakah warga negara betul-betul berpartisipasi secara aktif atau sebaliknya sekedar berpartisipasi tanpa tujuan yang pasti (bonum commune)?. Pertanyaan reflektifnya ialah sejauh mana negara memberdayakan masyarakat untuk menjadi masyarakat kritis dan selektif? Sejauh ini hemat penulis, negara justru menjadi aktor utama terciptanya kedarutaran akal sehat.

Fenomena Peretasan dan Pelarangan Sumber Bacaan

Fenomena peretasan (teror digital) dan pelarangan sumber bacaan (buku, majalah, media social lainnya) di Indonesia masih sering terjadi. Berdasarkan laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menunjukan jumlah kasus peretasan terhadap media sosial mencapai 193 kasus pada tahun 2021. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan kasus peretasan tahun 2020. Tahun 2022 sejauh ini ada tujuh kasus peretasan (teror digital) yang dominan dialami oleh para aktivis yang mengkritisi kebijakan pemerintah.

Berbeda dengan kasus peretasan, kasus pelanggaran dan penyitaan buku-buku bacaan tidak kalah horornya. Dalam buku Pelarangan Buku di Indonesia. Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Ekspresi (2010) menjelaskan bagaimana negara mengontrol dengan “beringas” kekebasan ekspresi warga negaranya sendiri dengan melarang menerbitkan buku-buku bacaan. Tahun 2010 menurut Amir Effendi Siregar (2010) banyak pemimpin yang mendeklarasikan Indonesia sebagai negara demokrasi ke-3 dan paling banyak disegani oleh negara-negara lain. Namun, menjadi ironi ketika negara yang disegani itu justru mempraktikan sesuatu yang bersifat anti-demokrasi itu sendiri. Dalam teori demokrasi, kebebasan ekspresi merupakan bagian integral dari demokrasi itu sendiri. Negara tidak dapat mendeklarasikan dirinya sebagai negara demokrasi apabila masih ada tindakan represi terhadap masyarakat sendiri.

Kalau kita membuka lembaran sejarah bangsa Indonesia, fenomena penyitaan dan pembatasan penerbitan buku sebagai sumber pengetahuan anak-anak bangsa terjadi pada era orde baru (Orba). Orba yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dengan ketat melarang pernerbitan buku-buku atau sumber bacaan lain, bahkan para penulis juga ditangkap karena dinilai sudut pandang penulis bertentangan dengan ideologi politik Soeharto waktu itu. Ia (Soeharto) menganggap buku-buku tersebut dapat mengancam posisinya sebagai penguasa (Erwin Schweisshelm, 2010). Karena itu, generasi 98’ merancang suatu gerakan reformasi politik yang bertujuan untuk menggulingkan rezim otoritarianisme ala Soeharto dengan sistem politik yang lebih demokratis.

De facto, di era reformasi ternyata masih juga mempraktikan hal yang sama. Berdasarkan data yang ditemukan pada tahun 2009 ada beberapa buku dilarang untuk disebarlauskan seperti:(1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa; (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman; (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan; (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad (Siregar, 2010).

Konsekuensi dari fenomena peretasan dan pembatasan penerbitan buku ialah pengetahuan anak-anak bangsa berkurang. Daya kritis dan selektif tumbul. Anak-anak bangsa lebih memilih pada ketaatan buta terhadap kebijakan pemerintah. Nalar kritis tidak berfungsi dengan baik dan lebih menonjolkan hal-hal sensasional dan emosional. Radikalisme, fundamentalisme, terorisme, dan tawuran, korupsi, politik uang dan tindakan destruktif lainnya yang menghancurkan seluruh tatanan kehidupan manusia yang beradap merupakan buah dari absennya nutrisi akal sehat dalam diri anak-anak bangsa.

Hemat penulis, fenomena peretasan dan pelanggaran penerbitan buku menjadi akar persoalan darurat akal sehat. Buku atau majalah sebagai sumber bacaan merupakan pintu kebijaksanaan. Dia menjadi juru kunci bagi kita untuk melihat realita-realita yang lebih kompleks dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang tak terbayangkan apabila pintu kebijkasaan itu tidak dapat dibuka (tertutup) maka ruang kosong dan kegelapan pikiran menguasi keseluruhan diri manusia Indonesia.

Alegori Gua Plato

Alegori gua Plato bisa menjadi analogi yang sangat relevan untuk menggambarkan masyarakat berakal sehat. Alegori gua Plato itu menceritakan ada sekelompok orang tinggal di dalam gua. Posisi mereka sedang duduk menghadap tembok yang terpampang di depan muka mereka. Mereka membelakangi pintu gua tersebut. Kegelapan menyelimuti gua. Ketika matahari bersinar, cahayanya masuk ke dalam gua melalui pintu masuk gua tersebut dan terpancar di dinding gua di hadapan muka mereka. Bayang-bayang mereka juga terpancar di dinding gua. Mereka yang tinggal di dalam gua tersebut melihat itu dan berpikir bahwa realita yang sesungguhnya ialah bayang-bayang terpampang di dinding gua tersebut. Namun, ketika salah satu dari mereka keluar dari gua untuk mencari tahu sumber utama dari cahaya yang terpampang di dinding itu, ia melihat ternyata sumber utamanya ialah matahari yang masuk ke dalam gua.

Alegori gua Plato ini mau menjelaskan bahwa ketika kita tidak memberanikan diri untuk melihat sesuatu yang lebih besar dan luas maka pengetahuan kita hanya sebatas pada bayang-bayang tanpa dasar tetapi kita menganggap itu menjadi kebenaran yang mutlak. Justru sebaliknya, dengan sikap dan keberanian yang tinggi untuk mengetahui yang sesuatu yang lebih dalam dan luas maka kita menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Pengetahuan kita mesti keluar dari situasi bayang-bayang tanpa dasar. Kita mesti bereksplorasi dengan sumber bacaan-bacaan lain yang dapat menambah khazanah pengetahuan kita. Dengan menambah khazanah pengetahuan itu, amunisi yang menjadi seorang yang kritis, selektif, dan kreatif semakin besar. Orang tidak dapat berbuat sesuatu apabila pengetahuannya tentang sesuatu itu sangat terbatas.

Apa Yang Seharunya Dilakukan?

Indonesia sudah melewati masa transisi dari otoritarianisme Orba ke sistem politik demokrasi. Transisi ini tragis, berdarah-darah dan memakan banyak korban karena masyarakat menginginkan keluar dari kegelapan gua ideologi politik yang anti-demokrasi. Kesempatan yang emas ini seperti oase bagi generasi pasca reformasi untuk menata sistem politik negara Indonesia yang lebih demokratis. Demokrasi pada hakikatnya menghargai pluralitas baik pluralitas suku, agama, ras, maupun ideologi atau corak berpikir. Demokrasi juga menjunjung tinggi kebebasan seseorang untuk berekspesi dan mengemukakan pendapat karena bagian dari hak asasi manusia (HAM). Karena itu, menurut Siregar (2010) syarat utama sebuah negara demokrasi ialah freedom of Expression, freedom of speech, dan freedom of the press. Ini merupakan syarat utama. Tanpa itu, demokrasi tidak ada.

Karena itu, supaya keluar dari situasi “kedaruratan” akal sehat ini maka pertama, fenomena peretasan dan pelarangan penerbitan buku mesti dieliminasi. Saatnya pemerintah memupuk semangat literasi anak bangsa agar mereka mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin maju.

Kedua, Masyarakat sipil diharapkan untuk selalu mengontrol kebijakan dan strategi pemerintah yang kebanyakkan “tipu muslihat dan syarat sesat.”

Ketiga, Para awak media juga mesti bekerja secara professional dan independen. Media mesti menjadi lokus strategis untuk menyalurkan segala aspirasi dari masyarakat. Media menjadi corong aspirasi masyarakat. Posisi media mesti independen. Artinya media tidak berafiliasi dengan jaringan kekuasaan. Hal ini dijaga ketat agar kekuasaan tidak memanfaatkan media untuk melegitimasi atau memanipulasi tindakan kejahatan mereka terhadap masyarakat. Dengan sistem kerja yang professional dan independen itu, masyarakat semakin cerdas dan waras.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya