Tambang, Konflik Sosial dan Kesehatan Reproduksi Perempuan
Kita sepakat bahwasannya Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini bukan hanya kekayaan alam yang bisa diperbarui namun juga kekayaan alam yang tak bisa diperbarui seperti batu bara, minyak bumi, mineral, nikel, emas, tembaga, marmer, timah dan lain sebagainya.
Kata guru saya waktu SD kekayaan alam di Indonesia ini jika dikelola dengan benar dan digunakan seperlunya saja, maka kekayaan tersebut tidak akan habis dan bisa dinikmati sampai 7 (tujuh) turunan bangsa ini. Pernyataan guru saya ini mungkin sedikit hiperbola, namun beliau mungkin hanya ingin menyampaikan dan meyakinkan kepada dirinya sendiri dan kepada murid-muridnya bahwa Indonesia memang benar-benar memiliki kekayaan alam yang luar biasa melimpah.
Salah satu cara mengelola kekayaan-kekayaan alam tersebut adalah dengan melakukan penambangan. Adanya aktivitas pertambangan terhadap kekayaan alam di Indonesia diharapkan akan mampu berkontribusi terhadap pendapatan negara dan dengan pendapatan tersebut akan mampu meningkatkan derajat kesejahteraan warga negara, terutama penduduk lokal di sekitar lokasi tambang berada.
Menarik kemudian membaca kembali catatan radaksi yang ditulis oleh pemimpin redaksi thecolumnist.id dengan judul “Kutukan Pertambangan” serta tulisan Jean Loustar Jewadut dengan judul “Tolak tambang: Keharusan Bukan Pilihan” beberapa waktu lalu. Inti dari kedua tulisan tersebut adalah keraguan dan kesinisan mengenai manfaat dari tambang untuk kesejahteraan rakyat sekitar dan juga ancaman tambang terhadap kerusakan alam dan lingkungan karena keserakahan manusia.
Alih-alih meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan penduduk lokal di sekitar pertambangan, yang terjadi sering kali adalah benturan konflik ekonomi dan sosial. Sudah sering kita mendengar kabar mengenai konflik yang terjadi di berbagai tempat di sekitar lokasi pertambangan.
Konflik ini sering kali terjadi antara perusahaan tambang dengan pemerintah daerah, antara perusahaan dan masyarakat, antara berbagai institusi di pemerintahan dan di antara berbagai kelompok masyarakat lokal. Namun demikian yang paling menonjol adalah konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat.
Konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat biasanya terjadi karena perusahaan tambang yang berskala besar sering kali mematikan mata pencaharian penambang-penambang tradisional yang sudah berpuluh-puluh tahun melakukan pekerjaan ini.
Dengan munculnya perusahaan tambang berskala besar mengakibatkan penambang tradisional atau tempatan merasa terdesak, sehingga mereka merasa dirugikan sebagai masyarakat lokal. Akhirnya terjadi konflik sosial di antara penambang berskala besar dengan masyarakat sekitar.
Konflik sosial atau protes dari masyarakat di sekitar pertambangan juga sering terjadi mana kala ada kerusakan dan pencemaran lingkungan karena aktivitas pertambangan yang tidak dikelola dengan benar serta tidak memerhatikan analisis dampak lingkungan secara memadai.
Pencemaran lingkungan yang terjadi sebagai akibat dari aktifitas pertambangan bukan sekedar merugikan lingkungan hidup di sekitarnya, namun juga bisa berdampak pada kesehatan reproduksi khususnya kesehatan reproduksi perempuan.
Sebagai contoh adalah aktifitas pertambangan emas yang juga menghasilkan limbah logam berat berupa limbah merkuri (Hg). Jika tidak dikelola dengan benar limbah merkuri tersebut, maka dalam kuantitas dan waktu tertentu hal ini akan mengganggu kesehatan manusia, seperti kesehatan reproduksi perempuan.
Berdasarkan laporan dari komnas perempuan, jika sampai perempuan terpapar limbah merkuri sebagai akibat pengelolaan tambang yang kurang maksimal, maka seorang perempuan akan terganggu kesehatan reproduksinya antara lain adalah siklus menstruasi yang tidak teratur serta munculnya benjolan-benjolan di sekitar payudara dan leher.
Dalam beberapa penelitian ilmiah juga dilaporkan bahwa selain timbal (Pb), merkuri juga merupakan logam berat yang dapat mengancam kesehatan reproduksi perempuan. Jika timbal dapat menyebabkan keguguran dan kematian janin, maka ekpos merkuri pada janin dapat menyebabkan bayi lahir cacat, buta dan kelainan otak menetap (carebral palsy).
Oleh karena itu, wanita hamil tidak disarankan untuk mengkonsumsi ikan yang telah terkena limbah beracun sebagai akibat dari pertambangan yang kurang memerhatikan pengelolaan limbah secara tepat dan benar. Hal ini untuk menghindari ibu hamil tersebut dari paparan merkuri yang sangat membahayakan pada dirinya dan janin yang di kandungnya (Widiyanti, 2009).
Adapun paparan anorganik mercuri pada pria akan menyebabkan impotensi dan gangguan libido, sedangkan pada perempuan tidak hamil akan menyebabkan gangguan menstruasi.
Jika benar apa yang ditulis oleh Jean Loustar Jewadut pada media digital thecolumnist.id ini bahwa pemerintah hendak menghapus AMDAL dan IMB untuk meningkatkan jumlah investor tambang di Indonesia, maka hal ini perlu dikaji ulang kembali. Jangan sampai kebijakan ini justru merugikan penduduk lokal di sekitar lokasi pertambanngan terutama perempuan.
Bukankah tujuan adanya pertambangan adalah untuk meningkatkan pendapatan negara guna menyejahterakan rakyat terutama penduduk lokal agar mereka terbebas dari belenggu kemiskinan? Bukan malah sebaliknya, yaitu merusak lingkungan dan mencemari alam, yang pada akhirnya justru menyengsarakan penduduk lokal di sekitar tambang, terutama penduduk perempuan yang terganggu kesehatan terpoduksinya akibat terpapar logam-logam berat berbahaya sebagai efak samping dari limbah pertambangan yang tidak dikelola dengan benar.
Artikel Lainnya
-
129126/04/2020
-
140906/08/2021
-
114216/03/2022
-
Peluang dan Tantangan Kendaraan Listrik di Indonesia
38116/11/2023 -
23929/10/2023
-
Dwarfisme Bangsa: TMP vs Taman Kota
47815/12/2023