Gunung Es Kasus Pelecehan Seksual

Penulis Buku Cerita Anak 'Si Aropan'
Gunung Es Kasus Pelecehan Seksual 22/06/2020 1562 view Opini Mingguan pixabay.com

Kasus perkosaan oleh delapan orang terhadap seorang remaja putri berusia 16 tahun yang menyebabkan korban jatuh sakit dan meninggal di Tangerang belum lama ini, menambah deretan catatan kelam betapa rentannya nasib kaum perempuan terhadap tindak kekerasan dan pelecehan seksual.

Pada peringatan Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 2020 lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengeluarkan catatan tahunan berisi laporan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2019.

Dalam rilis data tersebut ditemukan 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dan yang lebih membuat miris, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% atau naik sebesar hampir delapan kali lipat (sumber: https://www.komnasperempuan.go.id).

Laporan itu berbanding lurus dengan Data MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut MaPPI, kekerasan seksual terjadi di berbagai tempat: di rumah (mencapai angka 37%), di lingkungan profesi informal (15,3 %) dan di sekolah (11 %). Ini sangat menakutkan. Sebab, sepertinya sudah tidak ada lagi tempat yang benar-benar memberi jaminan keamanan bagi kaum perempuan.

Belum lagi, kasus-kasus kekerasan berbau pelecehan seksual acap tidak mendapatkan pendampingan hukum yang maksimal dan berkeadilan. Tengoklah kasus Afni (nama samaran). Dia adalah mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengalami kasus pelecehan seksual oleh rekan satu kampusnya saat menjalani praktik Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku pada Desember 2017.

Selain penyelesaian hukum yang berliku, Afni sempat menjadi victim blaming sehingga rasa trauma dan beban psikis yang dialami semakin hebat. Salah seorang pejabat di kampusnya sempat berujar demikian, “Ibarat kucing kalau diberi gerah (ikan asin), pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan.” Bayangkan kalimat seperti itu bisa keluar dari mulut seorang akademisi.

Bukan hanya melecehkan, diksi-diksi semacam itu sebetulnya dapat dikategorikan sebagai tindakan rasis karena menganalogikan korban sebagai, maaf, ikan asin (baca: hewan) dan menjustifikasi secara sepihak bahwa seolah-olah korban memang sengaja menyodorkan rangsangan seksual. Bukan hanya Afni, tentu saja banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual namun belum mendapatkan keadilan.

Segudang Pemicu

Penyebab terjadinya pelecehan seksual sangat bervariasi. Namun, ada ranah-ranah tertentu dalam kehidupan kita yang, entah kita sadari atau tidak, bisa menjadi pemicu. Pertama kecenderungan menganut sistem kekerabatan patrilineal atau menempatkan garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah) oleh sebagian besar suku di Indonesia.

Konsekuensinya jelas. Posisi kaum perempuan dianggap tidak sepenting kaum laki-laki. Stigma bahwa perempuan cuma bertugas melahirkan anak, mengurus rumah tangga dan persoalan dapur masih melekat kuat.

Kedua, bias gender pada bahasa. Kita lebih suka menggunakan frasa Bapak/Ibu yang saya hormati dalam berbagai pidato atau urusan surat-menyurat. Ini sepintas terdengar sepele. Tapi meletakkan kata ‘Bapak’ mendahului kata ‘Ibu’ mencerminkan bahwa dalam bertutur pun, kita lebih mengagungkan superioritas laki-laki. Bandingkan dengan, misalnya, penutur Bahasa Inggris. Mereka malah lebih meninggikan kodrat perempuan dengan ekpresi Ladies and Gentlemen atau Ladies first.

Contoh lain, kalimat Jojon menikahi Wati terdengar lebih berterima dibandingkan dengan Wati menikahi Jojon. Dan, sekali lagi, jika dibandingkan dengan Bahasa Inggris, Jojon married Wati atau Wati married Jojon sama lazimnya karena marry (menikahi) bersifat resiprokal. Dengan demikian, siapa pun subjek kalimat, apakah laki-laki atau perempuan, tidak menjadi persoalan.

Artinya, dalam Bahasa Inggris ada konsistensi kesetaraan. Berbeda dengan Bahasa Indonesia. Menikahi diterima sebagai pekerjaan yang dilakukan laki-laki maka posisinya harus sebagai subjek dan perempuan menjadi objek. Menempatkan perempuan sebagai subjek pada kalimat seperti ini akan terdengar aneh.

Belum lagi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengindikasikan sekumpulan kolokasi kata perempuan atau wanita dengan kata-kata lain yang berkonotasi negatif. Misalnya, perempuan jalang, perempuan sundal, perempuan malam, perempuan nakal, perempuan cerewet, wanita panggilan, wanita tuna susila, wanita kotor dan lain-lain.

Sebaliknya untuk kata laki-laki atau pria hasilnya cenderung lebih sedikit meski terdapat ungkapan yang lebih meninggikan marwah perempuan seperti pada frasa Ibu Pertiwi atau Ibu Kota.

Diskriminasi jender lewat bahasa juga sering kita temukan di media. Sila telaah contoh judul berita berikut: Nyaris Terjatuh Akibat Payudara Diremas, Korban Pelecehan Lapor Polisi (Sindonews). Jika kita cermati, tak satu kata pun dalam judul ini yang merujuk atau memberi informasi mengenai pelaku.

Sebaliknya, deskripsi korban justru lebih diekspos dan bahkan dalam bahasa yang cukup vulgar. Model headline seperti ini banyak menghiasi pemberitaan-pemberitaan pers di Indonesia.

Terkadang fenomena semacam itu semakin diperparah dengan pengungkapan identitas korban seperti nama asli (bukan inisial), alamat, dan foto yang kadang tidak di-blur. Ironisnya, identitas pelaku malah sering kurang tersampaikan dan foto-fotonya justru sering dibuat buram. Padahal yang seharusnya terjadi adalah kebalikannya agar pelaku mendapat rasa malu.

Ketiga, adanya diskriminasi pada kaum hawa di ranah pekerjaan. Badan Pusat Statistik pada Februari 2018 melaporkan bahwa rata-rata upah atau gaji pekerja perempuan berada di kisaran 2,2 juta rupiah per bulan. Sementara untuk laki-laki, nilainya mencapai 2,91 juta. Kesenjangan upah ini terjadi di banyak sektor pekerjaan.

Satu faktor yang dianggap menjadi penyebab adalah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pasal 31 ayat 3 dalam undang-undang itu mengisyaratkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Oleh karenanya, ketika perempuan menjadi pekerja, meski sebagai pencari nafkah utama keluarga, mereka tetap dianggap pekerja lajang sehingga hak seperti tunjangan keluarga tidak didapatkan.

Edukasi Secara Tepat

Bentuk pelecehan seksual beranekaragam. Masyarakat harus diedukasi agar memperoleh pemahaman secara utuh dan komprehensif. Pasalnya sebuah tindakan bisa saja dirasa wajar, tapi ternyata dapat dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual.

Komnas Perempuan mendefenisikan pelecehan seksual sebagai tindakan bernuansa seksual, baik melalui kontak fisik maupun non-fisik. Selama ini, masyarakat mungkin hanya melakukan generalisir ruang lingkup pelecehan seksual pada hal-hal yang bersifat kontak fisik.

Nyatanya, siulan, kedipan mata, bahasa vulgar dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sudah masuk kategori pelecehan. Apalagi jika perilaku-perilaku itu menyebabkan ketidaknyamanan, ketersinggungan, hingga mengakibatkan depresi, ketakutan serta masalah kesehatan dan keamanan.

Edukasi yang tepat dan cerdas akan meluruskan pandangan salah kaprah soal seks yang banyak ditemukan di sekeliling kita. Lihatlah sebagian besar konten tayangan TV kita. Pada acara-acara tertentu, bagian alat vital hewan disensor.

Sapi yang sedang diperah susunya dalam konten tayangan untuk anak-anak justru di-blur pada bagian payudaranya. Ketika hewan dinterpretasikan mampu membangkitkan gairah birahi, pada saat yang sama kita telah melemahkan perkembangan biologis dan psikologis anak-anak kita serta merampas hak mereka dalam belajar.

Lalu ingatkah Anda pada petisi menolak Blackpink beberapa tahun lalu? Girlband asal Korea Selatan itu dianggap melakukan menyebarkan konten pornografi dan melakukan tindakan pornoaksi karena pakaian yang dianggap tidak senonoh sehingga akan membahayakan moral anak-anak.

Terus terang, saat itu saya geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, alih-alih melindungi anak-anak kita, justru sebenarnya kita sedang mencap mereka sebagai orang-orang yang dengan mudah berbuat asusila jika melihat pemandangan yang kita anggap dursila. Kita, orang tua, tidak mau repot memberi pola asuh berkualitas.

Kita tidak mau repot mengajarkan anak-anak bahwa ranah-ranah biologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan semestinya dihormati karena merupakan karunia Tuhan. Kita tidak mau repot menanamkan pemikiran bahwa setiap laki-laki dan perempuan punya hak berpakaian sesuai dengan kenyamanan dan budaya masing-masing.

Kita tidak mau repot mengedukasi anak-anak, khususnya anak laki-laki, bahwa meskipun perempuan berpakaian mini, tidak lantas bisa dijadikan sebagai objek untuk dilecehkan sesuka hati.

Soal seks, harus diakui laki-laki lebih visual dan imajinatif. Mereka lebih cepat terangsang. Tapi, patut dicermati bahwa sebagai manusia, laki-laki dibekali dengan akal sehat dan kemampuan untuk menahan diri. Ini yang menjadi pembeda dengan hewan. Anjing atau kucing misalnya, bisa kawin dengan ibu atau saudara perempuannya karena hanya mengandalkan naluri. Demikian pepatah lawas menegur kita: “Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat.”

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya