Di Mana Lagi Harus Berlindung? Ketika Keluarga Menjadi Ancaman

Mahasiswa
Di Mana Lagi Harus Berlindung? Ketika Keluarga Menjadi Ancaman 22/05/2025 170 view Lainnya https://pin.it/2mTAAPn5L

Akhir-akhir ini, publik digemparkan oleh keberadaan grup menyimpang di media sosial bernama Fantasi Sedarah. Grup dengan lebih dari 32.000 anggota di platform Facebook ini menuai kecaman karena para anggotanya membagikan fantasi seksual bertema inses, yaitu ketertarikan seksual terhadap anggota keluarga sendiri, baik dalam bentuk cerita fiktif maupun pengakuan nyata. Tak jarang, pengalaman nyata yang melibatkan anak sebagai objek seksual pun turut dibagikan, tidak hanya oleh orang tua kepada anak, tetapi juga antara saudara kandung. Sejumlah unggahan berupa cuitan, foto, dan video dari grup ini bahkan tersebar luas ke berbagai platform media sosial.

Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa ruang aman untuk anak-anak semakin terkikis. Fenomena yang mencerminkan krisis moral dan sosial ini menunjukkan bahwa hubungan inses bukanlah hal tabu lagi bagi mereka. Hal ini sekaligus menjadi sinyal bahaya yang mengingatkan kita betapa rapuhnya perlindungan anak-anak. Kasus ini membuktikan bahwa krisis perlindungan anak sudah di tahap darurat dan perlu perlindungan menyeluruh. Nyatanya objek fantasi menyimpang itu tidak selalu tersudut kepada anak perempuan, melainkan anak laki-laki pun turut mengalami. Jika rumah bukan lagi tempat yang aman, lantas ke mana lagi tempat untuk berlindung?

Saat kecil, kita selalu diajarkan untuk tidak berbicara dengan orang asing. Namun sekarang, predator tidak muncul dari tempat-tempat gelap. Mereka terkadang duduk di tempat makan, turut menjadi tempat cerita dan berlindung, terkadang mengantarkan sekolah, menjadi sosok yang paling mengasihi. Dari perkara itu, kita bisa menilai bahwa batas antara 'aman' dan 'ancaman' menjadi semakin kabur. Lantas ke mana lagi mereka akan percaya, jika tempat teraman menjadi sebuah ancaman?

Anak-anak yang tumbuh di lingkungan tidak sehat secara moral mungkin menganggap perilaku menyimpang itu sebagai hal wajar. Mereka yang tidak bersalah dan belum mengerti apapun, tidak memungkinkan untuk menyuarakan diri membela kebenaran. Usia di mana mereka masih belajar tentang benar dan salah. Tentu menjadi potensi yang sangat buruk apabila anak-anak terus menelan fakta tersebut, semakin menganggap bahwa tindakan tersebut menjadi hal lumrah.

Di sisi lain, sebagian dari mereka juga akan merasa dampak yang signifikan ketika beranjak dewasa. Banyak kasus traumatis yang dialami orang dewasa berasal dari pengalaman masa kecil mereka. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa permasalahan seperti ini harus segera ditangani. Meskipun demikian, nyatanya kasus kekerasan dan pelecehan seksual tidak memandang gender, tidak memandang usia, laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda bisa menjadi korban.

Meskipun hanya dibungkus sebagai 'fantasi', hal ini tetap memicu sejumlah potensi yang membahayakan. Anak-anak menjadi rentan terhadap kekerasan seksual dan hubungan sedarah menjadi marak dan menghapus batas moral. Semakin banyak yang menormalisasi, maka semakin banyak memicu munculnya pelaku baru, bahkan dari anak-anak sendiri—atas perbuatan yang pernah mereka alami.

Data dari Indiana Prevention Resource Center menunjukkan bahwa lebih dari 90% pelecehan seksual anak berasal dari orang-orang yang mereka kenal, bahkan lebih dari 30% kasus pelakunya adalah anggota keluarga sendiri. Platform seperti Facebook yang memiliki kebijakan terhadap suatu konten berbahaya, nyatanya tidak menghentikan keberadaan grup yang semakin berkembang hingga puluhan ribu anggota.

Hal ini menunjukkan bahwa media sosial juga membutuhkan waktu untuk memblokir sejumlah konten, sehingga kita perlu menyuarakan permasalahan ini sampai media mendengarnya. Bukan hanya untuk pemberhentian konten menyimpang, permasalahan seperti ini harus menjadi desakan kuat bahwa kasus tersebut sangat tidak pantas diterapkan.

Kita perlu kembali menguatkan stigma masyarakat bahwa 'hubungan sedarah' merupakan hal tabu yang sangat tidak bermoral, dan harapannya pemerintah dapat segera menindaklanjuti kasus ini. Maka dari itu, kita perlu speak-up melawan kekerasan seksual di Indonesia. Kita perlu beramai-ramai menyuarakan pendapat dan memberikan bantuan terhadap para korban pelecehan seksual.

Sebagai bagian dari anggota keluarga, kita perlu peka terhadap tanda-tanda perbuatan menyimpang. Kita harus memberikan peran positif yang bertanggung jawab terhadap kasus permasalahan ini. Perubahan perilaku dari orang-orang terdekat, seperti merasa takut pulang, merasa terancam di rumah, merasa terganggu dengan sekitar, perlu kita tindak lanjuti. Cobalah bangun hubungan terbuka dan aman terhadap orang sekitar, memberikan empati dan simpati dari cerita mereka agar merasa nyaman. Catat segala bentuk informasi yang terasa serupa dengan permasalahan ini dan hubungi pihak berwajib. Tindakan ini sekaligus menjadi jembatan bagi mereka yang tidak berani menyuarakan diri.

Untuk kasus korban anak-anak, ajarkanlah mengenai batas tubuh dan area privat mereka. Yakinkan mereka untuk bertindak tegas dan berani berkata 'tidak' semata mencegah berbagai tindakan yang tidak diinginkan. Kapanpun dan di manapun kita berada, jangan pernah tutup mata dan tutup telinga apabila mendapatkan sinyal ancaman seksual. Kalau bukan dari kita, siapa lagi? Saatnya kita bergerak dan melindungi mereka yang seharusnya tumbuh tanpa rasa takut.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya