Catatan Redaksi: Solidarity From Home

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Solidarity From Home 30/11/2020 1051 view Catatan Redaksi Asmarawati Handoyo

Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Asmarawati Handoyo, membahas mengenai solidaritas sosial dari rumah sebagai upaya mengatasi situasi krisis. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.

Selamat membaca !

Awal tahun 2020 kampus tempat kami bersekolah di Taiwan libur summer break. Kami kembali ke Indonesia dalam rangka penelitian untuk keperluan tugas akhir. Tak diduga Virus Corona mulai merebak di Taiwan yang hanya berjarak sepelemparan batu dari China. Mempertimbangkan situasi saat itu dan batasan-batasan untuk dapat masuk ke Taiwan kembali, kami putuskan menulis tugas akhir from home-land. 

Melihat situasi yang cukup mencekam dan mengkhawatirkan di awal-awal munculnya pandemi di Indonesia, insting pertahanan diri  muncul. Bagaimana jika sampai krisis terjadi? Bagaimana memenuhi kecukupan pangan dan bagaimana menghadapi kemungkinan adanya social insecurity? Terlebih lagi, saat itu PHK masal mulai terjadi di berbagai tempat. 

Sebagai bentuk antisipasi terhadap kemungkinan hal-hal tersebut, di pertengahan Maret kami coba-coba menanam ketela, kentang, cabe dan tomat di sepetak lahan terbuka yang sempit di belakang rumah. Setelah karbohidrat, lalu muncul pula pertanyaan mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan lauk pauk?

Dengan berbagai pertimbangan, singkat cerita kami putuskan untuk memelihara lele sebagai cadangan sumber protein selama pandemi. Alasannya sederhana, pertama keterbatasan ruang terlebih jika memilih memelihara ayam di rumah. Kedua, kami memiliki pengalaman gagal beternak lele di masa lalu ketika berusaha menghidupkan lahan tidur milik tetangga. Asumsinya, hal tersebut akan menjadi pengalaman berharga bagi upaya kali ini.

Kala itu memelihara lele secara Budikdamer (Budidaya Dalam Ember) beserta tanaman kangkung diatasnya tengah menjadi tren masa pandemi. Namun untuk mengurangi cost dan meminimalisir aktivitas keluar rumah kami putuskan menggunakan barang-barang tak terpakai yang telah tersedia di rumah saja. Tak ada ember, akuarium pun jadi. Kami memanfaatkan dua akuraium bekas hobi mainan ikan beberapa tahun lalu yang teronggok di gudang. 

Tanpa pengetahuan mengenai budidaya perikanan, bahkan hanya bermodalkan ilmu sosial politik yang kami punya, kami melakukan uji coba memelihara 'lele akuarium'. Di percobaan pertama, lele mati 50%. Dari 50 ekor bibit, hanya tersisa 25 ekor. Sejumlah itulah yang kemudian kami konsumsi dan bagikan kepada tetangga terdekat di awal masa pandemi. 

Percobaan pertama memberikan pelajaran yang berharga. Lele itu kanibal, dia tidak boleh lapar sehingga 'teman makan teman' sangat mungkin terjadi. Kedua, Ph air sangat penting untuk daya tahan hidup dan dari serangan penyakit. Ketiga, perlunya pemisahan lele besar dan kecil. Dalam satu akuarium yang sama, lele-lele tidak ditakdirkan memiliki pertumbuhan yang sama. Tak ubahnya sistem kompetisi di dunia manusia, sebagian lele yang tumbuh cepat menjadi lebih dominan dan arogan. Sebagian lain yang tumbuh lambat, selalu kalah dalam perebutan sumber daya. 

Dengan demikian, pola makan perlu dibuat dan dipatuhi, dua kali sepekan air perlu diganti atau menambahkan aerator untuk memasok oksigen lebih baik, dan perlunya  memisahkan dua ukuran lele yang berbeda pada akuarium yang terpisah. Melalui cara-cara tersebut, panen lele ke-2 dan seterusnya berhasil kami lakukan dengan keberhasilan mencapai 95% atau sebanyak 80 ekor setiap panen.

Lele sebanyak itu tentu tidak kami konsumsi sendiri. Kami dapati adanya gerakan-gerakan sosial dapur umum di jogja (Solidaritas Pangan Jogja/SPJ) sebagai aksi kolektif yang menyediakan ratusan nasi bungkus tiap harinya bagi mereka kaum marginal yang terdampak ekonominya semasa pandemi. Seperti pengayuh becak, pemulung, buruh gendong, dan pekerja informal lainnya. Kelompok inilah yang sering kali terlupakan dalam masa krisis. Mereka tak bergaji bulanan, tak memiliki simpanan aset, dan seringkali luput dari berbagai macam bentuk bantuan sosial pemerintah. Lele-lele akuarium kami titipkan kepada SPJ untuk berpartisipasi mengatasi permasalahan pangan kelompok ini. 

Melihat kebutuhan yang besar dari 11 dapur SPJ yang ada di Jogja, semangat untuk memelihara lele pun semakin besar. Tidak hanya akuarium, kolam ikan pun kami rubah sebagai media budidaya lele. Sederhananya, bahwa di masa pandemi memelihara lele menjadi lebih penting daripada memelihara ikan Koi. Ikan-ikan hias kami lepas ke sungai, dan menggantinya dengan ratusan bibit lele baru.

Kami ternyata tidak sendiri, ada mas Dodok, salah satu aktivis Jogja, dengan 'Kebun Ku' yang mendayagunakan lahan tidur untuk perkebunan tengah perkotaan. Hasilnya, untuk memasok kebutuhan sayur mayur SPJ dan dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Ada bu Atik, pemilik warung terdampak pandemi, yang menyumbangkan rumahnya sebagai dapur SPJ sekaligus tenaganya sebagai koki sukarela tiap harinya di SPJ. Atau pak Wadji yang menginisiasi sayur gantung di pagar rumahnya yang diikuti pula oleh tetangga-tetangga lainnya. Mempersilahkan siapa saja yang membutuhkan bahan pangan untuk mengambil sesuai kebutuhannya secara cuma-cuma, serta masih banyak lagi aksi-aksi kolektif lainnya. Semua solidaritas ini memiliki kesamaan yaitu ingin ikut menyelesaikan permasalahan publik, dimulai dari lingkungan rumah sendiri.  

Namun, upaya kedaulatan pangan dari rumah ini terpaksa harus kami akhiri bersamaan dengan kewajiban untuk segera kembali ke kampus. Cukup disayangkan, rasa-rasanya baru saja kedaulatan pangan dari rumah kami mulai namun sudah harus kami akhiri. 

Namun demikian, dari pengalaman tersebut terdapat sebuah pelajaran berharga yang kami peroleh. Pertama, di tengah situasi krisis khususnya ekonomi dan pangan, solusi dapat kita peroleh dari dalam setiap rumah tangga. Terlebih lagi di situasi yang membatasi ruang gerak dan interaksi selama pandemi ini. Kedua, solidaritas seringkali tidak membutuhkan biaya yang besar. Semuanya dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang telah ada di rumah. Baik memanfaatkan lahan tidur, menanam atau beternak di media yang telah  ada sekalipun di ruang yang terbatas, menyumbangkan tenaga untuk memasak dan mendistribusikannya kepada yang memerlukan. Ketiga, kelatahan dalam meniru upaya baik setiap rumah tangga menjadi hal yang positif di masa krisis. Semakin banyak jumlah rumah tangga yang berkontribusi, semakin mudah pula masalah-masalah sosial di sekitar yang dapat dipecahkan bersama. 

Dengan demikian, solidaritas from home merupakan alternatif solusi berbasis komunal yang dapat diterapkan di setiap krisis saat ini dan di masa depan. Upaya ini cenderung tidak sulit untuk diterapkan dalam budaya masyarakat Indonesia yang mewarisi nilai-nilai gotong royong dan yang dikenal sebagai masyarakat yang religius sebagaimana survei Pew Research Center 2019 lalu. Kedua, solidaritas berbasis komunal seperti satuan rumah tangga ini bahkan seringkali dinilai lebih efektif karena masyarakatlah yang lebih memahami kebutuhan lingkungannya. Dan tentu saja lebih efisien karena tidak terhalang birokrasi yang seringkali membuat solusi-solusi datang terlambat, sedangkan rasa lapar tak lagi dapat ditunda. 

Ketika masyarakat kenyang, pikirannya akan terang, hatinya lebih tentram, dan keresahan sosial dapat diatasi. Sambil menunggu pemerintah bekerja, mari dari rumah kita bergerak membantu sesama. 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya