Buruh dalam Kenangan Saya
Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh International atau May Day. Di berbagai Negara peringatan May Day dirayakan secara khusus. Di Indonesia peringatan Hari Buruh dijadikan hari libur nasional.
Menjadikan Hari Buruh sebagai hari libur nasional tentu punya alasan mendasar. Ini adalah bentuk penghormatan akan dedikasi dan kerja keras para buruh bagi pembangunan dan kemajuan negara Indonesia. Para buruh adalah pejuang di garis depan pembangunan bangsa. Tidak berlebihan bila kaum buruh dihormati sebagai pahlawan pembangunan.
Dalam perjalanan sejarah, peringatan Hari Buruh di tanah air sempat mengalami pasang surut. Pertama kali dilakukan pada zaman Orde Lama. Namun ketika Orde Baru berkuasa, peringatan Hari Buruh dilarang. Hingga ketika Reformasi bergulir Hari Buruh kembali dirayakan.
Peringatan Hari Buruh di negeri ini identik dengan gerakan menyuarakan nasib kaum buruh. Setiap tangaal 1 Mei, para pekerja turun ke jalan. Tidak hanya di ibu kota negara, hampir di semua propinsi para pekerja berjuang menuntut hak-hak mereka melalui parlemen jalanan. Solidaritas terhadap nasib kaum buruh datang dari berbagai pihak. Unjuk rasa pada Hari Buruh juga diikuti mahasiswa yang merasa prihatin dengan nasib para pekerja di tanah air.
Selain parlemen jalanan, usaha memperjuangkan kesejahteraan hidup pekerja juga ditempuh melalui jalur politik. Beberapa partai politik yang mewadahi kaum buruh pernah terlibat sebagai kontestan pemilu. Pada tahun 1999, ada empat partai yang mewakili kaum buruh yaitu Partai Buruh Nasional, Partai Pekerja Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja dan Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia dalam kontestasi pemilu.
Pada pemilu legislatif periode berikutnya ada beberapa partai dengan embel-embel kaum buruh menjadi kontestan. Seperti Partai Buruh Sosial Demokrat dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia pada tahun 2004 dan Partai Buruh pada pemilu 2009.
Selain jalur politik, para pekerja juga membentuk organisasi agar perjuangan terhadap nasib mereka lebih terarah dan terorganisir. Melaui organisasi inilah aspirasi para pekerja disuarakan.
Beberapa organisasi buruh tanah air pun terbentuk. Seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Buruh Nusantara, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Gabungan Serikat Buruh Mandiri (GSBM), Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), dan lain-lain.
Nasib para pekerja Indonesia memang masih memprihatinkan. Eksploitasi dan diskriminasi terhadap kaum buruh masih terjadi. Perlakuan secara tidak manusiawi masih dialami para pekerja. Pemberian beban kerja yang banyak. Juga jam kerja berlebihan belum diimbali dengan upah yang setimpal. Karena itu upaya memperjuangkan nasib para pekerja harus dilakukan semua pihak melalui semua lini.
Tragedi para pekerja Indonesia tidak hanya di dalam negeri. Tragedi kemanusiaan juga dialami para pekerja Indonesia di luar negeri. Mereka yang disebut pahlawan devisa kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dari majikan. Disiksa, dianiaya, disetrika. Banyak pekerja Indonesia yang pulang dengan mengenaskan. Kembali ke kampung halaman tanpa nyawa.
Merayakan Hari Buruh adalah berbagi cerita tentang kerja. Setiap kita tentu punya kisah dan kenangan tersendiri. Tentang jenis pekerjaan yang dilakukan, upah yang diterima, teman kerja, majikan, dan pengalaman suka maupun duka lainnya. Ijinkan saya membagikan catatan pengalaman kerja sebelum memiliki pekerjaan tetap sekarang ini sebagai guru.
Tahun 2001 ketika menyelesaikan pendidikan SMP saya tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA karena alasan tertentu. Saya harus “beristirahat” selama setahun dari dunia pendidikan. Selama waktu istirahat ini, saya ikut membantu Bapak bekerja. Bapak adalah seorang tukang (bangunan). Sebagai tukang bangunan, Bapak sering mendapat panggilan dari orang yang ingin membangun rumah.
Selama setahun membantu Bapak, ada 3 (kalau saya tidak salah ingat) rumah yang kami bangun. Saya bersyukur karena punya pengalaman dan ikut membantu Bapak bekerja. Selain membantu Bapak, saya juga ikut kerja proyek. Kebetulan saat itu ada proyek pembangunan talut jalan raya di kampung. Bersama pekerja yang lain, saya bekerja sebagai pembantu tukang dengan tugas mengaduk dan mengangkut campuran semen.
Setelah setahun beristirahat, saya berkesempatan melanjutkan pendidikan SMA tahun berikutnya. Tiga tahun saya mengenyam pendidikan SMA. Setelah tamat SMA, tidak seperti teman-teman yang mendapat kesempatan melanjutkan kuliah, saya harus beristirahat lagi. Pulang kampung dan tinggal di sana setahun lamanya.
Dalam kesempatan kedua istirahat dari pendidikan saya juga bekerja. Di awal tahun 2000-an, ojek lagi booming di kampung-kampung sebagai sebuah jenis pekerjaan baru. Beruntung saya bisa mengendarai sepeda motor. Menjadi tukang ojek dengan tugas mengantar dan menjemput baik manusia dan barang menggunakan sepeda motor pun saya lakoni. Dengan menggunakan sepeda motor milik orang, saya menjalani profesi sebagai tukang ojek. Setahun lamanya sebelum melanjutkan pendidikan lagi.
Pengalaman ini bermuara pada refleksi bahwa kerja mengantar manusia merealisasikan dirinya. Dengan bekerja manusia mengaktualisasi kemampuan diri; mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki. Manusia hakekatnya adalah makhluk yang bekerja (homo faber). Dengan bekerja manusia menjadi dirinya sendiri. Karena itu kerja tidak boleh terasing dari diri dan sesamanya. Kerja perlu terarah kepada kesempurnaan manusia yaitu agar menjadi semakin manusiawi (Pandor, 2010:26).
Namun dalam analisis Marx, kerja terutama di zaman industri membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri. Kerja yang membuat manusia untuk bebas ternyata menjadikan manusia terasing. Menurut Marx manusia mengalami keterasingan rangkap empat yaitu, pertama, terasing dari pekerjaan dimana manusia bekerja bukan untuk diri tetapi untuk perusahaan, kedua, manusia terasing dari aktivitas kerjanya sendiri karena jenis pekerjaan ditentukan majikan, ketiga, manusia teralienasi dari potensi manusiawinya karena demi mempertahankan hidup ia terpaksa terus bekerja, keempat, manusia teralienasi dari sesamanya karena orang berlomba-lomba dalam bekerja (Pandor, 2010: 25-26).
Tahun ini Hari Buruh atau May Day diperingati dalam kondisi global yang terserang pandemik covid-19. Dampak nyata serangan corona yang melumpuhkan perekonomian global sangat dirasakan para pekerja. Kebijakan bekerja dari rumah yang diterapkan pemerintah untuk menghentikan virus corona berdampak pada ekonomi keluarga.
Dirumahkannya para pekerja membuat produktivitas perusahaan menurun. Konsekuensinya perusahan akan gulung tikar. PHK masal akan terjadi dan menambah jumlah pengangguran. Sebagaimana diberitakan Kompas, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019, jumlah pengangguran terbuka sebesar 5,28 persen atau 7,05 juta orang. Jika ditambah dengan angka pengangguran akibat pandemik covid-19, jumlah pengangguran di Indonesia tahun ini akan mencapai sekitar 10-12 juta orang (Kompas.com, 01/05/2020, dengan judul "Hari Buruh 1 Mei: Nasib Buruh di Tengah Pandemi Virus Corona").
Perayaan hari buruh di tengah pandemik adalah momen untuk merefleksikan kembali hakekat manusia dalam bekerja. Apakah manusia sudah benar-benar menjadikan pekerjaan sebagai sarana mengaktualisasikan diri? Ataukah sebaliknya bekerja membuat manusia menjadi tidak bebas, terasing dari diri dan semakin jauh dengan sesama?
Sembari merenungkan hakekat manusia sebagai makhluk yang bekerja, semua kita diajak untuk terus memperjuangkan nasib para pekerja. Hal-hal terkait upah, beban dan waktu kerja, perlakuan yang manusiawi dan masa depan para pekerja setelah pandemik covid-19 berakhir menjadi refleksi bersama dalam peringatan Hari Buruh tahun ini. Selamat Merayakan Hari Buruh.
Artikel Lainnya
-
214722/10/2021
-
390523/04/2020
-
367613/12/2019
-
Kemerdekaan Indonesia dan Pancasila
99918/08/2023 -
Pembangunan dan Kuasa: Sebab Pokok Kemiskinan di NTT
83016/06/2024 -
Tumbangnya Keadilan di Tangan Predator?
162015/06/2020
