Atas Nama Kemanusiaan: Menguji Tanggung Jawab Moral Negara

Repatriasi eks ISIS yakni pemulangan kembali warga eks ISIS ke negara asalnya, menjadi persoalan yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia.
Jawa Pos (7/2/2020) melaporkan bahwa negara-negara seperti Norwegia, Rusia, Kosovo, Prancis, Belgia, Jerman, AS, Turki, Tajikistan, Uzbekistan, dan Bosnia mengizinkan warga negaranya eks ISIS untuk pulang ke negaranya masing-masing atas dasar pertimbangan tertentu. Mayoritas dari negara-negara ini memulangkan anak-anak dan isteri dari militan ISIS.
Sementara dua negara lainnya yakni Denmark dan Tunisia memiliki sikap yang berbeda. Denmark mengeluarkan UU yang menyatakan anak-anak ISIS yang lahir di luar negeri tidak memiliki kewarganegaraan Denmark. Sementara Tunisia tidak mau merepotkan sama sekali.
Publik Indonesia juga saat ini sedang membincangkan repatriasi ini, meskipun masih sebatas wacana. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berencana untuk memulangkan 660 warga negara Indonesia yang tergabung dengan gerakan ISIS di beberapa negara di Timur Tengah seperti Syria, Iraq, Turki, dan Afganistan.
Muncul pihak yang pro dengan wacana ini dengan alasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi HAM mereka sebagaimana layaknya hak seorang warga negara.
Pihak lain kontra terhadap wacana tersebut dengan alasan memulangkan eks simpatisan ISIS berpotensi untuk memunculkan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Hal ini akan membahayakan keharmonisan dan keamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para pejabat pemerintah sendiri memberi pernyataan yang bernada sama kepada pers. Presiden Jokowi dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD, secara pribadi keduanya menolak untuk untuk memulangkan warga yang disebut dengan istilah foreign terrorist fighters (FTF) itu dengan alasan soal keamanan dan keselamatan negara. Namun, keduanya juga mengatakan akan menghormati hasil aturan yang telah dibuat nantinya terkait dengan pemulangan WNI eks ISIS itu.
Pemerintah telah menugasi BNPT untuk membuat dua draf keputusan. Dua draf itu akan berisi penjelasan tentang keputusan pemerintah.
Draf pertama berisi keputusan FTF tidak dipulangkan dengan alasan dan aturan hukum. Semisal aturannya belum ada, pemerintah akan membuatnya. Draf kedua berisi keputusan memulangkan FTF disertai dengan alasan, dasar hukum, dan program deradikalisasi bagi mereka.
Amanat UUD 1945
Sudah secara eksplisit pada alinea keempat UUD 1945, diterangkan bahwa tugas negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Repatriasi warga eks ISIS itu adalah bentuk tanggung jawab kemanusian yang mesti dipikul oleh negara.
Memang keberpihakan mereka terhadap ideologi dan gerakan teroris merupakan suatu perilaku yang sulit dimaafkan. Akan tetapi, bagaimanapun mereka adalah warga negara yang memiliki hak asasi, dan persis pada titik itu negara dituntut tanggung jawab moralnya untuk melindungi hak asasi tersebut. Maka, memulangkan warga negara eks ISIS adalah bukti bahwa negara merealisasikan amanat dari konstitusi dasar.
Hemat saya, ada loncatan berpikir dari pihak yang kontra terhadap kepulangan WNI eks ISIS, dengan alasan bahwa mereka akan mengancam keamanan negara.
Apabila mereka telah dipulangkan itu tidak berarti tugas negara sudah selesai. Selanjutnya, negara mesti melakukan reindoktrinasi atau deradikalisasi, yakni “cuci otak ulang” terhadap para WNI eks ISIS ini terkait dengan nilai-nilai dasar Pancasila, serta nilai-nilai tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai NKRI.
Selain melakukuan reindoktrinasi atau deradikalisasi, kiranya negara memperhatikan dua hal berikut agar kepulangan para WNI eks ISIS itu tidak dianggap menjadi momok yang mengancam keamanan dan keselamatan negara.
Pertama, perlu dikaji secara utuh tentang keluarga WNI eks ISIS itu. Hal ini tentu dilakukan sebelum aksi reindoktrinasi. Perlu dicari tahu siapa yang paling radikal dan siapa yang menjadi korban yakni mengikuti perintah suami atau ayahnya.
Dengan itu, negara bisa membuat kategori berdasarkan tingkat keberbahayaan mereka sehingga porsi upaya reindoktrinasi atau deradikalisasi juga berbeda-beda terhadap para eks ISIS itu.
Kedua, setelah “cuci otak” berhasil dilaksanakan, pemerintah perlu menjamin tempat tinggal dan tempat kerja bagi para WNI eks ISIS. Menempatkan mereka dalam satu kawasan tertentu akan memudahkan pemerintah untuk melakukan pengawasan lanjutan.
Para WNI eks ISIS ini tidak boleh kembali ke kampung atau kota asal mereka agar masalahnya tidak kian tambah kompleks. Dilabel sebagai teroris oleh masyarakat dapat membuat mereka frustasi, dan apabila tidak ada pilihan lain, mereka akan kembali menjadi teroris.
Hal ini relevan dengan teori looking-glass self (Teori kaca diri) dari Charles Horton Cooley pada 1902. Isinya adalah siapa saya tergantung bagaimana orang di sekitar saya mendefinisikan saya. Apabila masyarakat sekitar melabelkan para WNI eks ISIS sebagai teroris, maka mereka akan mendefinisikan diri mereka sebaga teroris. Dan usaha reindoktrinasi menjadi tak berguna.
Pemberian kerja bagi mereka secara langsung oleh negara, pada satu sisi agar mereka dapat menghidupi dirinya, pada sisi lain sebagai wadah agar para WNI eks ISIS dapat “menyibukkan diri “.
Upaya untuk mendapat pekerjaan dengan melamar sendiri ke berbagai jenis pekerjaan yang dimiliki oleh orang lain tentu bukan hal yang mudah. Stigma sebagai teroris terus melekat dalam pikiran masyarakat terhadap mereka sehingga mereka dianggap tercela dan mesti dijauhi.
Pengalaman telah ditunjukkan oleh Mahendra, putra Amrozi bin Nurhasyim (Salah satu tokoh sentral dalam kasus Bom Bali pada 2002). Ia beberapa kali ditolak ketika melamar di beberapa perusahaan. Akhirnya, Ia berbisnis sendiri.
Namun, ada berapa orang radikal atau pun yang mantan radikal yang punya tekad kuat untuk berubah seperti Mahendra? Kiranya tak banyak. Oleh karena itu negara mesti menyediakan lapangan kerja bagi para WNI eks ISIS.
Semoga subjektivitas tidak mengintervensi
Sebagaiamana tertera di awal bahwa secara pribadi, Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mohammad Mahfud MD tidak setuju repatriasi terhadap WNI eks ISIS. Namun, keduanya akan menghormati aturan yang akan dihasilkan nantinya terkait dengan repatriasi itu. Hendaknya, ini benar-benar dijalankan. Tidak boleh atas dasar kekuasaan yang dimiliki lalu mengintervensi pembuatan aturan demi selera pribadi penguasa.
Repatriasi adalah kerja kemanusiaan yang merupakan manifestasi tanggung jawab moral negara dalam menegakkan hak asasi warganya. UUD 1945 juga telah mengamanatkan itu dan tugas negara hanyalah menjalankannya. Segala bentuk tindakan yang menghalangi upaya repatriasi ini, dengan alasan preventif yang didasarkan atas prasangka terhadap ancaman keselamatan bangsa, mesti dimusnahkan.
Apabila Indonesia memang bangsa yang beradab, maka seluruh praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, mesti dilandasi oleh semangat untuk selalu menomorsatukan penegakkan dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Artikel Lainnya
-
32219/10/2024
-
138325/10/2020
-
181723/05/2020
-
Mengharapkan Kenetralitasan ‘Media’di Tahun Politik 2020
149428/07/2020 -
Merdeka Belajar di Kampus: Mewujudkan Pembelajaran yang Fleksibel dan Kreatif
30416/09/2024 -
Lumbung Padi Terancam, Pengoptimalan Lahan Perlu Dilakukan
122304/05/2020