Ada ‘Udang’ Kapitalisme di Balik Status Negara Maju

Ada ‘Udang’ Kapitalisme di Balik Status Negara Maju 27/02/2020 2614 view Ekonomi Wikimedia.org

AS menaikkan level Indonesia dari status lama sebagai negara berkembang menjadi negara maju. Pengakuan ini berlangsung serentak dengan kenaikan yang sama dari beberapa negara lain seperti Brasil, Afrika Selatan, India dan China. Transformasi mengejutkan ini memantik pertanyaan seputar agenda kapitalisme di balik terminologi ‘negara maju’ tersebut.

Peribahasa ‘ada udang di balik batu’ sekiranya pantas dan tepat dilontarkan. Kebijakan tersebut tak lepas dari rasionalitas yang dipakai negara kapitalis untuk menutupi sejumlah cacat dari sistem ekonomi kapitalisme nasional. Indonesia tidak benar-benar lepas dari segelintir masalah ekonomi dan ketimpangan pembangunan yang masih melanda masyarakat.

Di satu sisi, penyematan status ‘negara maju’ mengindikasikan kekuatan dan kedaulatan ekonomi Indonesia di mata dunia. Secara internasional, Indonesia diperhitungkan sebagai negara yang punya kontribusi dan ketahanan ekonomi yang mumpuni. Hal ini semakin ditegaskan oleh beberapa pencapaian positif di masa kepemimpinan Jokowi terhitung sejak 2015-2020.

Pertumbuhan ekonomi makro Indonesia mengalami peningkatan dari 4,88 % (2015) menjadi 5,17 % (2018). Kemudian berkat mega proyek infrastruktur, angka pengangguran turun dari 5,81 persen pada Februari 2015, menjadi 5,01 persen pada Februari 2019.

Sejalan dengan turunnya angka pengangguran menurun pula angka penduduk miskin dari 11,22 % pada Maret 2015, menjadi 9,41 persen pada Maret 2019. Ini menjadi angka terendah dalam capaian sejarah NKRI. Rasio ketimpangan pendapatan juga ikut turun dari tahun ke tahun searus dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM); dari 69,55 di 2015, menjadi 71,39 di 2018.

Prestasi-prestasi ini, di samping kenaikan statusnya, menjadi sebuah opium terhadap kebaikan prinsip ekonomi liberal. Kehadiran investasi asing dalam rupa eksploitasi korporasi-korporasi di tanah air dilihat sebagai batu loncatan kemajuan. Mekanisme penindasan dan pemiskinan masyarakat marginal oleh kapitalis sejenak dilupakan. Masyarakat tenggelam dalam euforia status barunya.

Di sisi lain, seiring dengan kenaikan status, berubah pulalah relasi kebijakan politik-ekonomi global. Kebijakan ini berimbas pada beberapa regulasi penting yang harus ditanggung oleh Indonesia saat memasuki zona ‘negara maju’. Indonesia terancam tidak menerima Generalize System of Preference (GSP). GSP memberlakukan keringanan terhadap biaya impor ke Amerika. Kebijakan dari WTO ini hanya diberlakukan untuk negara dengan status negara berkembang.

Ilusi kenaikan pangkat mengharuskan Indonesia kehilangan beberapa privilese kebijakan internasional. Kelonggaran-kelonggaaran yang sempat diperoleh saat masih didaulat sebagai negara berkembang kini menguap-lenyap. Sebagai salah satu kekuatan ekonomi maju, Indonesia harus mulai ‘berdiri di atas kaki’ sendiri di tengah rimba kompetisi pasar bebas neoliberal.

Kesiapan Indonesia diuji di antara para pemain lama kapitalisme. Siap atau tidak, cepat atau lambat, Indonesia sebagai ‘negara maju amatir’ harus mulai terbiasa dengan gestikulasi persaingan yang ketat dan penat.

Bukan tidak mungkin pengangkatan negara Indonesia dari status negara berkembangnya sebenarnya difasilitasi oleh kepentingan para kapitalis. Jabatan menggiurkan dan melenakan sebagai negara maju bisa menjadi sebuah instrumen yang mengkamuflasekan dampak eksploitatif kapitalisme. Obsesi-kompulsif terhadap status negara maju bisa menyembunyikan borok-borok kapitalisme di tanah air.

Di balik ‘batu’ manipulasi negara maju terdapat ‘udang’ kepentingan kapitalisme. Dengan segelintir permasalahan ekonomi yang masih konsisten melilit rakyat, Indonesia belum siap meninggalkan status negara berkembangnya. Kesejahteraan dan pemerataan pembangunan masih menjadi sebuah PR besar. Lantas, spontanitas perekrutan Indonesia sebagai bagian dari barisan negara maju terkesan dipaksakan dan mengandung ideologi tersembunyi dari negara-negara establishment.

Ilusi ‘Negara Maju’

Status sebagai negara maju barangkali adalah sebentuk ilusi bahasa yang digunakan oleh Amerika dan negara-negara maju lainnya untuk mencengkeram dan menunggangi nasib Indonesia. Penggunaan bahasa yang ilusif ini oleh para kapitalis mendorong pihak lain untuk menyesuaikan diri sesuai dengan semesta diskursus dan sikap yang telah digariskan oleh mereka (given universe of discourse and behavior).

Dengan iming-iming ‘negara maju’, Indonesia sebenarnya didorong untuk terus merawat model pembangunan neoliberal dan membuka lebar pasarnya untuk investasi asing, tak peduli dengan ekses destruktif yang dihasilkannya untuk rakyat miskin.

Manipulasi ideologis tersebut menciptakan sebuah “kesadaran palsu”. Para buruh, petani miskin, pengusaha minim modal, kaum intelektual, dan kaum elit politik dibujuk untuk menjadi pendukung utama sistem kapitalisme. Ideologi ini, yang seringkali mengaburkan fakta, diciptakan oleh elite sosial sebagai jaminan bagi keberlangsungan dominasi ekonominya atas negara bersangkutan.

Logika pembangunan, yang harus mengimitasi negara-negara maju seperti Amerika, menjadi model utama dan tolak ukur pembangunan lokal. Dengan demikian, prinsip-prinsip neoliberalisme harus menjadi kearifan lokal Indonesia dalam mengusahakan kesejahteraannya.

Tidaklah mengherankan bahwa kebijakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja digaungkan berdekatan dengan pengangkatan Indonesia sebagai negara maju. Kebijakan ini berpotensi membuka ‘keran-keran investasi asing’ ke dalam negeri. Dengan adanya ‘tsunami investasi asing’ ini, negara-negara kapitalis (yang semuanya termasuk dalam jajaran negara maju) akan memanen madu berlimpah dari tanah pertiwi.

Saat prinsip-prinsip ekonomi liberal dikultuskan sebagai prinsip pembangunan nasional, maka hegemoni negara-negara kapitalis ini akan terus hadir untuk memanen semakin banyak sumber-sumber keuntungan sambil mengesampingkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah.

Bila salah interpretasi, penggunaan terminologi ‘negara maju’ bisa dimengerti sebagai afirmasi bahwa arah dan kemajuan pembangunan nasional sudah sangat progresif dan rasional. Generalisasi ini bisa menutupi narasi-narasi kecil kaum marginal yang hingga detik ini masih menderita karena investasi dan korporasi-korporasi asing. Padahal masih ada begitu banyak rakyat yang berjuang melawan pemerasan dan eksploitasi alam ilegal oleh perusahaan-perusahaan asing.

Di Labuan Bajo, terhitung sejak terselenggaranya event Sail Komodo 2013, investasi asing dan domestik berlomba-lomba menanamkan modalnya di bidang pariwisata. Kini banyak sekali tanah dan spot-spot wisata yang diprivatisasi untuk kepentingan bisnis. Tak tanggung-tanggung, beberapa gugusan pulaunya sudah dikontrak untuk dibangun fasilitas hotel berbintang, sementara penduduk asli di sana terancam diusir dari tempat tinggalnya.

Para investor asing dari Italia, Belgia dan Belanda menanamkan usaha bisnis di bidang perhotelan atau wisata bahari bagi kepentingan turisme. Tak heran masih banyak rakyat miskin berjubelan karena peluang bisnisnya direbut oleh pemodal asing. Pemasukan dari sektor pariwisata kurang signifikan terhadap kesejahteraann masyarakat lokal di sana. Inilah gambaran ‘negara maju’ yang diidealkan oleh para kapitalis asing untuk Indonesia.

Jangan sampai Indonesia terbuai dan terhipnotis dengan status barunya. Pemerintah harus jeli menangkap ‘udang-udang’ yang tersembunyi di balik kebijakan-kebijakan tersebut. Pencapaian (atau pemberian status?) sebagai negara maju harus menjadi katalisator pemicu pembangunan nasional yang semakin adil dan merata, bukan sebagai gerbang tempat koridor-koridor penindasan ekonomi baru dibukakan.

Adalah suatu kebanggaan tersendiri didaulat sebagai ‘negara maju’. Masyarakat Indonesia boleh berbangga dengan prestasinya ini, melihat banyak negara berkembang yang masih berjuang dengan fase pembangunannya. Sebagai anggota baru dalam hierarki kekuasaan, Indonesia harus tetap kritis terhadap dampak-dampak hubungan ekonomi internasional. Indonesia harus mampu memanfaatkan koridor sistem ekonomi liberal demi sepenuhnya kepentingan masyarakat, bukan demi mengenyangkan lambung para kapitalis asing.

Pemberian label sebagai negara maju hanya punya makna teknis-fungsional. Secara teknis-fungsional, dengan ditopang oleh data dan indeks pembangunan, Indonesia dinilai telah layak disejajarkan sebagai sentra kekuatan negara maju. Logika ini membuka peluang relasi ekonomi yang lebih menjanjikan dengan negara-negara kapitalis lain.

Namun, secara substansial, Indonesia masih menyimpan sederet narasi tangisan rakyat akibat eksploitasi korporasi kapitalisme. Sisi lain wajah Nusantara ini disembunyikan dengan iming-iming prestasi internasional sebagai negara maju.

Selain mengapresiasi prestasi yang berhasil diraih oleh pemerintah, kita tidak boleh lengah membaca peta eksploitasi baru yang tercipta berkatnya. Status negara maju yang diperoleh harus menjadi bargaining power bagi kebijakan yang pro-rakyat, alih-alih pro-kapitalis.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya