Yasonna Laoly, Ambiguitas Kebijakan dan Jatuhnya Simalakama

Trias Kuncayono pada 21 November 2018 pernah menerbitkan sebuah artikel menarik berjudul Homo Politicus. Dalam artikel tersebut, Kuncayono menyitir pendapat Eduardo da Costa Paes, seorang politisi Brazil dan wali kota Rio de Janeiro tentang karakter politik. Paes menyebut “tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia politik.” Dapat ditambahkan di sini, “segala sesuatu adalah mungkin bagi politik.” Politik telah berekspansi membentuk multidimensionalitas kebijakan yang beratensi bagi kedudukan kelompok tertentu. Karaktersitik kemungkinan dalam tubuh politik adalah sebuah ontologi yang in se. Menimbang pendapat Paes, kita sampai pada suatu klimkas bahwa dunia politik adalah sebuah kemungkinan (possiblity). Politik menjadi dunia yang lentur dan dinamis serta memungkinkan adanya akses terhadap interese pribadi dan kelompok. Kemungkinan dalam politik lahir sebagai respon eksentrik dan inklusif dari dunia obyek-obyek yang merepresi ke dalam tubuh politik.
Pendapat Paes di atas terwujud dalam situasi negara Indonesia hari-hari ini. Setelah Yasonna tampil sebagai ‘Ratu Adil’ yang berhasil membebaskan narapidana sebanyak 38.000 orang, kini negara Indonesia kembali dihadapkan pada kemelut serius berkaitan dengan posisi para napi dalam masyarakat. Dikabarkan bahwa setelah keluar dari rumah tahanan (Rutan), para napi kembali melakukan ulah yang meresahkan warga. Kebijakan untuk membebaskan para napi menjumpai persoalan baru dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, tinjauan dan kritik yang tepat harus diarahkan pada Kemenkumham, bukan sebaliknya kepada para napi yang telah dibebaskan. Yasonna menjadi akar dari persoalan yang dibuat para napi.
Saya akan menjelaskan persoalan seputar kriminalitas para napi dengan terlebih dahulu melihat ambiguitas kebijakan yang dibangun Yasonna. Menurut hemat saya, kebijakan Yasonna mengandung muatan yang ambigu karena berpretensi menciptakan suatu model kejahatan baru. Terlepas dari aspek psikologis napi setelah dibebaskan, arah dasar tulisan saya adalah soal pembentukan kebijakan Yasonna. Dalam pusaran yang problematis, Yasonna sesungguhnya sedang berupaya membangun sebuah model rasionalitas instrumental dengan menyasar pembebasan bagi para napi. Dampak lanjutannya adalah tercipta Simalakama. Sebagai penutup, saya coba melihat beberapa hal penting yang dapat berguna bagi revitalisasi kebijakan Yasonna.
Ambiguitas Kebijakan
Kemenkumham telah menetapkan Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19. Alhasil, napi berjumlah 38.000 orang yang selama ini mendekam di dalam penjara berhasil dibebaskan. Yasonna beralasan, pembebasan para napi dimaksudkan untuk mencegah tersebarnya virus corona yang tengah melanda Indonesia. Keputusan yang mendulang pro dan kontra tersebut, bukan tidak mungkin merupakan upaya Yasonna memanfaatkan momentum pendemi covid-19 yang melanda dunia, khususnya Indonesia. Fatalisme kebijakan Yasonna bertendensi membentuk ‘penyakit baru’ yang berdampak pada inkonsistensi kehidupan negara.
Jika menoleh ke belakang, alasan yang dubuat Yasonna agaknya tidak memiliki pendasaran yang substansial. Hal senada diungkapkan oleh Koordintor Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Faris yang menyebut tindakan Yasonna sebagai upaya memanfaatkan situasi krisis (Mojok.co, diakses 25 April 2020). Lebih lanjut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menyebut tindakan Yasonna sebagai sesuatu yang tidak masuk akal (Ibid). Pasalnya, selama pendemi covid-19, para napi sudah berada di tempat terisolasi yang aman. Pandangan ini dibenarkan oleh pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto yang menilai langkah Yasonna sebagai buah dari kebijakan yang konyol. “Disebut konyol karena pada dasarnya para napi sudah ada di tempat yang terisolasi dari dunia luar, entah rutan atau lapas, dan karenanya relatif aman dari pandemi” (Tirto.id, diakses 25 April 2020). Bambang menambahkan “toh sebelum kebijakan pembebasan pun, sudah ada peraturan yang melarang menjenguk napi (Ibid).
Sejumlah argumen yang meragukan langkah Yasonna membawa kita pada suatu kenyataan tentang ambigunya kebijakan tersebut. Alih-alih berusaha menjadi “Ratu Adil” untuk melindungi para napi dari pendemi covid-19, Yasonna justru melupakan efektivitas dari pengambilan kebijakannya sendiri. Yasonna lupa bahwa para napi yang terbebas sekali pun, tidak sungguh terlepas dari kecenderungan untuk kembali melakukan kejahatan. Ambiguitas kebijakan yang diambil Yasonna, karenanya akan berdampak serius bagi terciptanya konstelasi kehidupan berbangsa yang aman dan damai, khususnya di tengah meruaknya pendemi covid-19 yang telah menyerang korban sebanyak 8.607 dengan jumlah kematian 720 jiwa (25/04).
Jatuhnya Simalakama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, Simalakama dikenal sebagai buah yang baik dimakan maupun tidak akan menyebabkan bencana. Simalakama kemudian dijadikan peribahasa untuk menunjukan suatu pilihan yang berat dan penuh risiko. Bunyi peribahasanya, “bagai makan buah simalakama,” yang berarti “bagai seorang dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit dipilih”. Memilih berarti menjumpai risiko, tidak memilih pun tetap memuat risiko. Hal itu berarti, Simalakama bukan sebuah pilihan yang kontradiktoris, tetapi sejak awal memuat bencana bagi kehidupan. Jika Simalakama telah terhidang, maka seketika itu juga pribadi sedang dihadapkan pada kemelut di dalam hidupnya. Pribadi akan menjumpai bencana, bukan karena pilihannya, tetapi karena hadirnya Simalakama. Oleh karena itu, hemat saya, Simalakama adalah peristiwa jatuhnya bencana dalam kehidupan seseorang. Simalakama tentu tidak dikehendaki, tetapi sewaktu- waktu tetap datang dan menyerang kehidupan manusia.
Kebijakan Yasonna untuk membebaskan para napi adalah wujud Simalakama. Kebijakan yang ‘minus rasional’ tersebut telah mendatangkan bahaya bagi terciptanya konstelasi kehidupan bersama yang aman dan damai. Faktanya, sejak mendapat pembebasan dari kurungan, para napi telah membentuk kejahatan baru. Tim riset Tirto mencatat ada tujuh berita soal narapidana bertindak kriminal usai bebas karena program asimilasi (Tirto.id, diakses 25 April 2020). Kejadian tersebut berlangsung dari tanggal 7 hingga 9 April 2020, dengan berbagai macam kasus seperti pencurian, kurir ganja, penjambretan, dan mengamuk (Ibid). Simalakama yang diciptakan Yasonna sangat berpengaruh terhadap pembentukan cara pandang dan prakisis yang tepat bagi negara Indonesia di tengah usaha untuk mencegah laju pendemi covid-19. Berhadapan dengan Simalakama yang diciptakannya sendiri, Yasonna seharusnya dikritik, berikut diminta pertanggungjawaban atas kebijakan yang telah diambilnya.
Menahan Simalakama
Simalakama memang tidak dapat dihindari. Ia merupakan satu dari sekian kepastian yang kelak akan mendatangi kehidupan kita. Tugas yang barangkali penting untuk dilakukan adalah menahan laju Simalakama. Caranya adalah dengan memperkuat strategi dan kebijakan yang bersumber pada common sense publik. Kebijakan ‘minus rasional’ yang dibangun Yasonna seyogianya menjadi pelajaran bagi setiap individu, secara khusus pemerintah agar selalu bertolak dari kepentingan bersama dari pada interse pribadi dan kelompok.
Yassona telah menciptakan Simalakama dan kita turut terjebak di dalamnya. Berhadapan dengan persoalan Yasonna, kita tentu tidak dapat melakukan tarik ulur dengan suatu penegasan agar Yasonna kembali mencabut kebijakannya, berikut menghendaki agar para napi kembali dijebloskan ke dalam penjara. Langkah tersebut tentu terlambat dan kurang tepat. Sebaliknya, beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan adalah, pertama memperketat pantauan dan pengawasan terhadap mobilitas para napi. Kepolisian melalui Lembaga Pemasyarakatan (LP) dapat memusatkan perhatian kepada para napi yang baru mendapat pembebasan kurungan agar tidak melakukan kejahatan baru. Selain itu, mereka perlu mendapat pembinaan lebih lanjut guna memulihkan karakter ke arah yang lebih baik.
Sebagai lanjutan dari langkah pertama, maka pada tahap kedua pihak LP dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk memantau aktivitas para napi. Keberadaan para napi harus dipantau secara ketat agar tidak menimbulkan aktivitas kejahatan baru. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap para napi tetap harus dibekali dengan pengetahuan yang tepat agar masyarakat tidak mengambil tindakan-tindakan tertentu yang menyeleweng dari aturan LP. Kerja sama yang kohesif antara pihak LP dan masyarakat akan berdampak besar bagi keberadaan para napi dalam hidup bersama.*
Artikel Lainnya
-
175020/06/2020
-
98207/08/2022
-
129118/04/2021
-
Golput: Kaum Pen(cacat) Demokrasi
42220/09/2023 -
118915/04/2020
-
Menanti Disrupsi Pendidikan, Bro Nadiem
128228/10/2019