Metode Dominasi: Revitalisasi “Elenchus” di Era Modern

Mahasiswa Aqidah & Filsafat Islam UIN Sunan Ampel
Metode Dominasi: Revitalisasi “Elenchus” di Era Modern 30/11/2024 385 view Lainnya pxhere.com

Berkomentar ataupun menilai suatu perkara tidak serta merta dapat dilakukan dengan serampangan. Ibarat pepatah “orang buta yang memanah” pantas diberikan kepada orang yang asal dalam menilai sesuatu sebelum ia mengetahui detail ataupun prinsip-prinsip yang mendasari sesuatu tersebut. Pemikiran kritis yang radiks diperlukan untuk membongkar asl-usul mengapa sesuatu itu ada. Sebab, apabila poin ini dilalaikan, hoaks merupakan salah satu konsekuensi mematikan yang timbul darinya.

Jauh di era Yunani klasik, Socrates, salah seorang dari tiga serangkai hebat di zaman keemasan filsafat Yunani, memiliki metode berdialog yang cukup menarik. Pendekatan tersebut dikenal dengan elenchus atau berarti pemeriksaan. Socrates menggunakan metode tersebut untuk menandingi fenomena pemahaman subjektifitas kaum sofis di kala itu. Dengan metode elenchus, Socrates dapat menyelidiki prinsip dasar dan menguji konsistensi pemahaman kaum sofis.

Elenchus Socrates

Pemikiran kaum sofis mendominasi di zaman tersebut. Kaum sofis berangkat dari perdebatan kelompok ‘diam’ Parmenides dan kelompok gerak ‘Herakleitos’. Salah satu murid Parmenides yang terkenal, Zeno, mengajukan beberapa paradoks yang di kemudian hari dikenal dengan paradoks Zeno. Salah satu paradoks tersebut adalah mengenai Archilles yang kura-kura yang bergerak dengan jarak yang konstan. Hal demikian membuktikan bahwa segala sesuatu itu tidak bergerak atau tetap. Dengan pemahaman tersebut, kaum sofis menyatakan bahwa kebenaran sifatnya relatif. Protagoras bahkan menyatakan bahwasannya manusia (subjektifitas) merupakan sumber kebenaran.

“Tidak segalanya yang bersifat subjektif”, begitulah sanggahan yang ada dalam benak Socrates. Socrates hadir sebagai filsuf yang menentang pemadangan subjektifitas absolut, terlebih menempatkan diri manusia dalam puncak kebenaran. Socrates menilai bahwasannya walaupun pendefinisan ‘sesuatu’ oleh individu yang satu dengan yang lain berbeda, tetap terdapat kesamaan antara individu tersebut.

Hal tersebut dapat ditemui misalnya dalam pendefinisan kursi. Pemahaman mengenai kursi menurut satu orang dengan orang yang lain tentu berbeda. Contohnya, sebagian menyatakannya sebagai tempat duduk yang memiliki kaki. Misalnya, sebagian yang lain mengatakan bahwasannya kuris hendaknya memiliki sandaran. Dari kedua contoh penggambaran tersebut, terdapat kesamaan antara satu pengertian dengan pengertian yang lain, yaitu tempat duduk.

Elenchus Sokrates merupakan metode yang dipakai Sokrates dalam pencarian keuniversalan tersebut beserta kebenaran nilai-nilai yang dianutnya. Dalam dialog apologi, ketika Socrates melawan bantahan terhadap Meletus  yang menggugatnya atas tuduhan merusak perspektif generasi muda. Sokrates menjawab bantahan tersebut dengan mempertanyakan kesengajaan atau tidaknya tindakan tersebut, sebab seseorang tidak mungkin secara sengaja melakukan tindak kerusakan. Sokrates mengarahkan Meletus pada pemahaman bahwasannya apabila ia sengaja, maka tentu mustahil dan apabila tidak sengaja, maka Sokrates tidak layak dihukum.

Dialektika Sokrates merupakan metode yang cukup revolusioner pada zaman tersebut. Sokrates berhasil menemukan nilai-nilai universal serta menggunakannya untuk ‘menyatukan’ pandangan yang berbeda dengan dirinya agar terhindar dari konfrontasi yang tidak sehat. Pola pemikiran tersebut akan diteruskan oleh murid-muridnya, yakni Plato dan Aristoteles. Aristoteles sendiri berhasil menelurkan dasar ilmu logika salah satunya disebabkan dasar yang telah dipupuk oleh Sokrates.

Menghidupkan Ulang Elenchus

Era modern merupakan era yang penuh dengan tipu daya. Manfaat yang ditimbulkan oleh kecepatan perkembangan informasi dan media berbanding lurus dengan bahaya yang mengintai. Pasca kebenaran atau dikenal dengan hoaks merupakan salah satu manifestasinya yang menyebabkan tersesatnya informasi yang membawa pada malapetaka. Dalam keseharian, medsos merupakan tempat pemupukan yang ideal bagi hoaks disebabkan rapuhnya identitas di sana.

Pemikiran kritis merupakan salah satu langkah untuk mencegah tersebarnya informasi palsu. Dengan pemikiran kritis yang bersumber dari literasi yang kuat, setiap individu tentu akan lebih tahan terhadap masuknya informasi palsu dalam hidupnya. Pengadopsian elenchus sebagai metode berdiskusi merupakan salah satu langkah strategis di era modern. Wujud pengadopsian tersebut dapat ditemui dalam metode dominasi yang didasari oleh nilai objektif, kritis, dan persuasif.

Metode Dominasi

Secara singkat metode dominasi merupakan metode yang mengarahkan lawan bicara agar menerima argumen kita dengan objektif dan tanpa keterpaksaan dengan mengekspos kelemahan argumen mereka. Metode dominasi juga menekankan pentingnya etika agar tidak terjatuh dalam cacat logika maupun diskusi yang tidak sehat. Sehingga, syarat-syarat penggunaan teori dominasi adalah kemampuan yang kompeten bagi pengguna, kecakapan dalam memahami pemikiran lawan, kemampuan analisa yang luar biasa dalam dan penggunaan diksi yang persuasif namun dapat diterima dengan lapang oleh pihak lawan.

Terdapat empat langkah dasar dalam metode dominasi. Pertama, sampaikan argumen yang jelas dan logis sebagai standing position yang khas dari pengguna. Kedua, dukung dan beri feedback positif terhadap kelebihan dari argumen yang disampaikan oleh lawan bicara. Ketiga, sebutkan kelemahan pendirian lawan bicara secara objektif dan logis. Keempat, tawarkan pendapat pengguna sebagai solusi kelemahan pendapat lawan bicara. Dengan runtutan tersebut, lawan bicara akan setuju atau setidaknya mengakui pendapat pengguna.

Rahasia dibalik metode dominasi adalah pengakuan terhadap dimensi ego yang dimiliki lawan bicara. Dalam ranah diskusi sekalipun, ego memiliki peran sentral dalam penegakan pendapat personal. Terlebih ketika lawan bicara merupakan orang yang berprinsip “tidak ada orang yang ingin dikalahkan dalam diskusi” merupakan sasaran empuk dalam metode ini. Pendapat lawan bicara tetap dihargai sembari menawarkan seolah pendapat kita merupakan ‘teman yang mendukung’ pendapat lawan.

Sebagai upaya revitalisasi elenchus Sokrates, perlu diingat bahwa dimensi etis dan kebijaksanaan merupakan tujuan yang paling mulia. Alangkah baiknya pengguna metode tidak mengungkit ad hominem dan cacat-cacat logika lain yang justru menjadi bumerang terhadap keabsahan argumen. Sebagai manusia yang menjadi manifestasi kepemimpinan Tuhan di dunia (dalam arti tertentu), manusia tidak akan menyukai diinjak bahkan dalam wilayah komunikasi sekalipun. Penghargaan dan kesamaan tujuan yang mulia merupakan kunci sentra dalam mewujudkan diskusi yang sehat dan tentu terhindar dari miskomunikasi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya