Manusia: Apakah Masih Memiliki Kesadaran?

Calon Imam Diosesan Keuskupan Ketapang, Peneliti Filsafat Keilahian dan Kebudayaan, Analis Sistem
Manusia: Apakah Masih Memiliki Kesadaran? 03/06/2025 68 view Lainnya Artificial Intelligence

Di sebuah komunitas asrama yang dihuni oleh para mahasiswa, setiap individu di dalamnya dituntut untuk menjalani kehidupan akademik secara serius—berkuliah dengan baik, menyelesaikan studi tepat waktu, dan hidup bersama dalam tatanan yang harmonis. Namun, sebagaimana lazim dalam komunitas yang dihuni banyak kepala dan kehendak, suatu hari terjadi sebuah insiden kecil yang memicu perdebatan besar.

Salah satu tong sampah di unit asrama ditemukan tumbang, dengan isinya berserakan. Salah satu anggota komunitas, berpikir praktis, mengembalikan isinya seraya mengira bahwa itu hanyalah ulah seekor kucing liar yang sedang lapar. Untuk mencegah kejadian serupa, pimpinan komunitas pun membelikan tong sampah dengan tutup otomatis—yang hanya akan terbuka jika pedal diinjak. Logikanya, dengan sistem seperti itu, kucing takkan mampu membuka atau membalikkannya.

Namun anehnya, sebagian anggota komunitas justru memprotes bahwa tong sampah baru tersebut diletakkan di dalam mes, lalu tong sampah lama yang tanpa tutup itu tetap diletakkan di luar. Maka dari itu, tong sampah tersebut tergeletak dengan isinya yang berhamburan setiap pagi. Ketidaknyamanan itu berkembang menjadi kegeraman, hingga terdengar usulan ekstrem untuk menyingkirkan seluruh kucing dari lingkungan asrama, “agar tidak tersisa satu pun.”

Dalam suasana yang mulai memanas, seorang pimpinan komunitas angkat bicara dengan nada tenang namun penuh makna: “Coba kita tanyakan pada diri sendiri—siapa yang sebenarnya punya akal budi dan kesadaran? Kucing itu hewan, ia tak punya rencana, tak bisa membedakan norma. Dia hanya lapar, mencium bau sisa makanan, lalu mengikuti nalurinya. Kita ini manusia, dibekali nalar dan tanggung jawab. Kalau memang tong sampah yang bisa dikunci sudah tersedia, taruhlah di tempat yang tepat. Letakkan di luar, bukan di dalam. Jangan salahkan kucing karena mengikuti kodratnya. Justru di sinilah letak ujian kita sebagai makhluk berakal—mampukah kita mengelola hidup bersama, bahkan dengan yang tak bisa berkata-kata?”

Pernyataan itu pun menggugah diam-diam. Sebab dalam perkara sederhana seperti tong sampah dan seekor kucing, tersembunyi cerminan dari bagaimana manusia menyikapi persoalan: apakah dengan respons reaktif atau refleksi yang bijak. Kadang, bukan masalahnya yang besar, tetapi cara manusia meresponsnya yang memperumit keadaan.

Berbicara tentang kesadaran, sejak dahulu sudah banyak pemikir mencoba mengupas salah satu faktor internal dalam diri manusia ini. Dalam filsafat kuno, Socrates menegaskan pentingnya gnothi seauton (kenalilah dirimu sendiri), sebuah seruan yang menandai betapa pentingnya refleksi diri dalam kehidupan manusia. Bagi Socrates, ketidaktahuan terhadap diri sendiri adalah akar dari kebodohan dan kesesatan moral. Namun, kenyataannya, banyak manusia lebih tertarik mencari kebenaran di luar dirinya—di dunia material atau dalam pencapaian eksternal—ketimbang menyelami kedalaman jiwanya sendiri. Plato menambahkan bahwa jiwa manusia sering terperangkap dalam dunia bayangan (doxa) dan ilusi inderawi, sehingga tidak menyadari bentuk (eidos) atau realitas sejati yang hanya bisa dipahami melalui kontemplasi intelektual. Ini menunjukkan bahwa sejak zaman kuno, para filsuf telah menyoroti keterasingan manusia dari hakikat dirinya.

Pada abad pertengahan, filsafat yang dipengaruhi oleh agama menekankan dimensi spiritual manusia. Santo Agustinus, misalnya, melihat ke dalam dirinya untuk menemukan Tuhan dan kebenaran. Ia menyatakan, "Aku menjadi pertanyaan bagi diriku sendiri." Baginya, manusia sering kali lalai menyadari bahwa hakikat dirinya berkaitan erat dengan kehadiran Ilahi di dalam batin. Thomas Aquinas kemudian menyempurnakan pandangan ini dengan menekankan bahwa akal budi dan kehendak manusia harus diarahkan kepada Tuhan sebagai tujuan akhir. Ketidaksadaran terhadap realitas ini dianggap sebagai keterputusan dari sumber makna sejati dalam hidup.

Memasuki era Renaisans dan pencerahan, pemikiran filosofis mulai menekankan nilai individualitas dan akal. Namun, keterasingan manusia dari diri sendiri tetap menjadi isu utama. René Descartes, misalnya, memulai pencariannya akan kepastian dengan cogito ergo sum—"aku berpikir, maka aku ada"—yang menunjukkan bahwa kesadaran akan pikiran adalah fondasi eksistensi. Namun, paradoksnya, Descartes juga memperlihatkan keterpisahan antara tubuh dan jiwa, yang dapat mengaburkan pemahaman manusia tentang dirinya sebagai kesatuan holistik. Dalam hal ini, kesadaran pun bisa terbatas pada aspek rasional, tanpa mencakup totalitas keberadaan manusia.

Filsafat modern memperdalam isu ini dengan menyoroti krisis identitas dan keterasingan eksistensial. Friedrich Nietzsche mengkritik manusia modern yang kehilangan kesadaran akan kehendak untuk berkuasa dan justru terjebak dalam moralitas pasif yang dibentuk oleh budaya dan agama. Ia menyarankan bahwa manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri sebagai Übermensch (manusia unggul), tetapi untuk mencapai itu, seseorang harus terlebih dahulu menyingkap dan mengatasi ilusi-ilusi yang menutupi jati dirinya. Sementara itu, Martin Heidegger menekankan bahwa manusia (Dasein) sering jatuh dalam kehidupan sehari-hari yang tidak autentik—ia “terjatuh” dalam das Man (keumuman sosial), sehingga tidak menyadari eksistensinya sendiri yang menuju kematian. Kesadaran akan kefanaan menjadi titik balik untuk kembali ke pemahaman yang sejati tentang diri.

Pada akhirnya, dari kisah sederhana tentang tong sampah dan seekor kucing, kita belajar sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar persoalan sampah yang berserakan. Masalahnya bukan soal kucing atau tempat sampah, melainkan tentang bagaimana kita sebagai manusia merespons. Tentang kesadaran. Tentang empati. Tentang tanggung jawab kita sebagai makhluk yang bisa berpikir, merasa, dan memilih.

Manusia, sejak dulu, terus bergulat dengan pertanyaan tentang dirinya sendiri. Socrates mengajak kita mengenali diri karena di situlah awal dari kebijaksanaan. Agustinus mencari Tuhan dalam batinnya sendiri. Descartes berpikir untuk memastikan bahwa ia ada. Heidegger dan Nietzsche bahkan menggugat cara kita hidup—apakah kita benar-benar sadar, atau hanya mengikuti arus?

Kesadaran itu bukan sesuatu yang otomatis muncul karena kita hidup. Ia tumbuh dari kerelaan untuk berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: apa peranku di sini? Apa yang bisa kulakukan, bukan hanya untuk diriku, tapi untuk kehidupan bersama? Barangkali itulah bedanya kita dengan makhluk lain—bukan karena kita lebih hebat, tapi karena kita bisa memilih untuk peduli, bisa mengerti bahwa dunia ini bukan hanya tentang kita sendiri.

Kadang, yang kita butuhkan bukan solusi canggih, tapi sedikit kesediaan untuk melihat lebih jernih, merasa lebih dalam, dan bertindak lebih bijak. Sebab, seperti yang sering kali kita lupakan: manusia bukan hanya makhluk berpikir, tapi makhluk yang sadar—dan itu seharusnya membuat kita lebih manusiawi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya