Konflik dalam Pelaksanaan KPBUdan Cara Mengatasinya

Public Private Partnership (PPP) secara luas digunakan untuk menjembatani proyek infrastruktur di dunia. Yang (2020) dalam penelitiannya “Stakeholder-Associated Risks and Their Interactions in PPP Projects: Social Network Analysis of a Water Purification and Sewage Treatment Project in China”, menyatakan bahwa PPP mengacu pada kerja sama antara pemerintah dan entitas swasta, menyediakan cara yang efisien untuk mencapai nilai uang dalam pengadaan infrastruktur atau layanan publik. PPP telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan negara yang berkelanjutan. Dibandingkan dengan model tradisional, PPP dapat meringankan beban keuangan dan kendala teknis pemerintah dengan memanfaatkan modal dan keahlian sektor swasta, sehingga meningkatkan efisiensi dan kinerja proyek.
Indonesia merupakan negara yang menerapkan skema PPP, yang disebut dengan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), dalam pembangunan infrastruktur. Hal tersebut dikarenakan adanya gap antara kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan total anggaran yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (2019), menunjukkan bahwa total investasi infrastruktur tahun 2020-2024 sebesar Rp 6.445 T. Sementara itu, anggaran negara hanya Rp 2.385 T (37%) dan dari BUMN sebesar Rp 1.353 T (21%). Artinya, terdapat anggaran Rp 2.707 T (42%) yang diperlukan dari sumber lainnya untuk melaksanakan rencana pembangunan infrastruktur secara keseluruhan.
Skema KPBU atau PPP mulai diatur di Indonesia pada tahun 2005, sejak diterbitkannya Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Akan tetapi, karena 10 tahun peraturan tersebut berjalan, implementasi KPBU dirasa belum efektif, sehingga terbitlah peraturan baru yaitu Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015. Salah satu tujuan utama dalam pembaruan peraturan KPBU adalah untuk meningkatkan minat investor dalam proyek KPBU. Hal tersebut dikarenakan pada periode sebelumnya terdapat beberapa permasalahan yang menyebabkan kurangnya minat swasta dalam berinvestasi, di antaranya: 1) modal yang tinggi disertai risiko yang tinggi pula, (2) kelayakan finansial yang kurang diminati investor, (3) persiapan proyek yang kurang matang, (4) lemahnya pengawasan terhadap proyek-proyek KPBU, dan (5) lemahnya manajemen risiko sejak awal proses KPBU.
Penyebab Konflik KPBU di Indonesia
Meskipun peraturan tentang KPBU telah diperbarui, tetapi permasalahan dalam pelaksanaan KPBU masih terjadi. Bappenas menjelaskan lima kendala utama yang sering menyebabkan konflik dalam implementasi KPBU, yaitu garansi politik, dukungan pemerintah, permasalahan tanah, penyiapan proyek, dan asistensi teknis. Terkait garansi politik, disampaikan bahwa para investor mempertanyakan bagaimana jika dalam proses pengerjaan proyek terjadi perubahan peraturan, misalnya peraturan pajak atau pengadaan tanah, yang mana hal tersebut akan berdampak pada anggaran/modal serta revenue. Selanjutnya, terkait dukungan pemerintah, yang dimaksud adalah kejelasan dukungan dari pemerintah, misalnya seperti subsidi operasional dan perpanjangan konsesi, yang mana hal tersebut tidak dapat dilakukan karena adanya keterbatasan dana pemerintah dan jangka waktu yang menjadi lebih panjang. Terkait permasalahan tanah, karena kebanyakan proyek KPBU membutuhkan lahan yang luas, maka hal tersebut menyebabkan permasalahan seperti konflik pembebasan lahan. Permasalahan yang disebabkan oleh penyiapan proyek dan asistensi teknis berkaitan dengan studi kelayakan, yang mana hal tersebut berpengaruh pada kepercayaan investor.
Lebih lanjut, dari hasil studi literatur yang dilakukan penulis, diketahui bahwa dua penyebab konflik paling banyak terjadi Kinerja Kelembagaan yang Berwenang dalam KPBU dan Pengadaan Lahan. Permasalahan dalam kinerja kelembagaan yang berwenang dalam KPBU meliputi lemahnya pemahaman terkait KPBU, kurangnya dukungan dari lembaga yang berpengalaman dalam KPBU, jalur birokrasi yang panjang untuk perizinan, tidak adanya model pemangku kepentingan, dan hubungan buruk antara pusat dan daerah. Sementara itu, terkait permasalahan pengadaan lahan, dikarenakan kebanyakan proyek KPBU memerlukan lahan yang luas, seperti jalan tol dan pembangkit listrik, konflik terjadi lebih banyak antara pemerintah dengan masyarakat, yang mana sering kali menyebabkan keterlambatan pekerjaan dan munculnya spekulan tanah sehingga biaya proyek bisa saja membengkak.
Mengatasi Konflik di KPBU
Untuk mengatasi konflik dalam implementasi KPBU, Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya. Indonesia telah memiliki beberapa mekanisme fasilitasi KPBU dan mekanisme dukungan pemerintah, seperti fasilitas pengembangan proyek, fasilitas penjaminan, dana kesenjangan kelayakan/viability gap fund (VGF), mekanisme pembayaran ketersediaan, dan mekanisme pembiayaan pengadaan tanah. Selain itu, ada perusahaan yang berperan aktif memfasilitasi KPBU, seperti PT Infrastructure Finance Facility (PT IFF), sebuah perusahaan pembiayaan swasta non-bank; Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF), atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bertanggung jawab memberikan penjaminan pemerintah untuk proyek infrastruktur yang dikembangkan dengan skema KPBU; dan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), BUMN yang menyediakan jasa pembiayaan dan konsultasi jangka panjang untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Upaya lebih lanjut lagi untuk mengatasi permasalahan dalam KPBU di Indonesia, berdasarkan hasil studi literatur, dapat dilakukan melalui dua cara sesuai dengan dua permasalahan utama yang sebelumnya dijelaskan.
Pertama, Peningkatan Kemampuan Pemerintah tentang KPBU. Kemampuan pemerintah dalam hal ini dapat meliputi kemampuan untuk mengidentifikasi proyek-proyek KPBU, kemampuan untuk membuat perencanaan yang detail terhadap proyek-proyek KPBU, kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak swasta dalam hal pembangunan, kemampuan untuk membuat kontrak KPBU yang konsisten dan menguntungkan para pihak, dan kemampuan keuangan untuk melakukan investasi dengan para pihak. Selain itu, pemerintah juga dapat menerapkan open sharing pengetahuan/informasi antar lembaga-lembaga yang melaksanakan KPBU, misalnya dengan skema studi banding.
Kedua, Pembentukan Tim Khusus untuk Pembebasan Lahan. Proyek KPBU merupakan proyek yang menyangkut kepentingan negara. Akan tetapi, karena permasalahan pembebasan lahan, sering kali proyek pembangunan menjadi mangkrak. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dibentuk tim pembebasan lahan yang melibatkan akademisi dan masyarakat. Perlu adanya penyusunan indeks harga beli rumah sebagai dasar akuisisi lahan dari masyarakat dan mengurangi risiko ketidakpastian harga, penyusunan studi akademis untuk menghitung nilai tanah dan bangunan di lokasi, sosialisasi menyeluruh kepada semua pemilik tanah, strategi antisipasi adanya spekulan tanah, dan kerja sama dengan pemerintah tingkat daerah setempat seperti kecamatan, desa, RW/RT.
Terkait cara mengatasi permasalahan lain dalam implementasi KPBU, pemerintah dapat melakukan penegasan kembali terkait peraturan, dan apabila diperlukan, pemerintah dapat memperbarui peraturan yang ada. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan yang tepat dan menyeluruh, mulai dari proses persiapan hingga pelaporan, tidak hanya dari sisi pemerintah saja, tetapi juga dari sisi swasta yang menjadi mitra. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak ada penyelewengan, penggelembungan anggaran, dan keterlambatan jadwal pengerjaan/penyelesaian proyek.
Artikel Lainnya
-
124215/03/2022
-
366914/02/2020
-
64313/11/2022
-
Mempertanyakan Urgensi Wacana Dokter Asing Praktek di Indonesia
28012/07/2024 -
Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
121526/11/2021 -
Menimba Spirit Otonomi Lembata dan ETCM XXXI
45501/11/2022