Kisah Miris Negeri Agraris

“Bukan sarapan namanya kalo belum makan nasi”. Kalimat seperti ini sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Ketergantungan masyarakat Indonesia terutama di bagian barat Indonesia akan beras sudah seperti candu. Sebenarnya beras bukanlah satu-satunya sumber karbohidrat yang utama untuk dikonsumsi. Sagu, singkong, ketela atau kentang juga merupakan sumber karbohidrat yang unsur kandungan gizi dan karbohidratnya tak jauh berbeda dengan beras.
Selain dikenal sebagai negara maritim, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris. Dimana sebagian besar penduduk Indonesia bekerja sebagai petani. Menurut data FAO (Food Agriculture Organization), di tahun 2020 Indonesia menjadi sepuluh negara penghasil beras terbesar di dunia. Dimana Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat merupakan tiga provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia.
Ada berbagai keuntungan yang didapatkan sebagai negara agraris. Salah satunya adalah terciptanya ketahanan pangan dan terhindarnya dari krisis pangan. Hal ini dikarenakan Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan penduduknya tanpa harus melakukan impor dari luar negri.
Namun kenyataannya, di tahun 2021 ini, Indonesia melakukan impor beras. Menjaga keberadaan stok beras menjelang bulan puasa dan antisipasi terjadinya bencana alam atau gagal panen merupakan salah satu alasan pemerintah untuk melakukan impor. Selain itu penyaluran bantuan sosial berupa beras juga diupayakan masih terus berlanjut di tahun ini.
Berdasarkan perhitungan masa tanam, beberapa provinsi di Indonesia akan menghadapi panen raya untuk komoditi padi. Keadaan itu juga dijelaskan melalui data BPS yang menyebutkan bahwa akan terjadi kenaikan produksi gabah di bulan Januari-Maret 2021 sebesar hampir dua puluh enam persen dibandingkan Januari-Maret 2020. Selain itu, data dari Kementrian Pertanian juga menyatakan bahwa produksi beras relatif aman dalam mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Sebagian besar petani di Indonesia adalah petani gurem, yang hasil panennya tidak untuk dijual melainkan untuk dikonsumsi sendiri sampai masa panen berikutnya tiba. Biasanya mereka menjual sedikit simpanannya ketika tahun ajaran baru ataupun menjelang lebaran, dimana kebutuhan lainnya meningkat. Sehingga peredaran beras di pasaran tidak sebanyak data produksi. Kerena hal ini, kemungkinan untuk kekurangan kebutuhan beras masih dapat terjadi. Inilah yang menjadi kekhawatiran pemerintah.
Disisi lain, petani juga memiliki kekhawatiran tersendiri. Ketika stok beras tinggi, maka harga akan turun, begitu juga harga beli di tingkat pemerintah. Biaya yang dikeluarkan selama bertanam sampai panen dan yang diterimanya ketika panen tidak jauh berbeda. Jika hal ini terjadi, kesejahteraan petani akan terancam. Belum lagi besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk masa tanam berikutnya. Petani juga akan kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
Indonesia pernah merasakan kejayaan swasembada beras beberapa tahun yang lalu. Berdasarkan ketetapan FAO tahun 1999, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai sembilan puluh persen dari kebutuhan nasional. Salah satu hal penting yang dibutuhkan oleh petani adalah pupuk.
Masih sering kita mendengar kelangkaan dan tingginya harga pupuk di pasaran. Memperpendek rantai distribusi pupuk dan pengawasan lebih ketat dalam menjaga peredaran pupuk di pasaran dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan pupuk hingga sampai ke tangan petani. Hal ini dapat menutup celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk penimbun pupuk yang mengakibatkan tingginya harga di pasaran. Jika petani bisa mendapatkannya dengan mudah, baik dari sisi biaya maupun ketersediaannya, bukan tidak mungkin produktivitas komoditas pangan bisa meningkat.
Selain itu, menjaga stabilitas harga juga tidak kalah penting. Jangan sampai harga jual beras lokal lebih mahal dibandingkan beras impor. Konsumen pada umumnya pasti akan memilih beras yang lebih murah harganya. Harga beli di tingkat pemerintah diharapkan lebih stabil. Sehingga, petani bisa menabung lebih banyak karena tidak lagi dihantui oleh turunnya harga gabah ketika masa panen raya tiba.
Keinginan untuk meningkatkan produksi, tidak akan berhasil jika alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dilakukan tanpa pengawasan dan pertimbangan. Izin eksplorasi pertambangan di lahan pertanian maupun hutan perlu mendapat perhatian lebih. Selain dapat menjaga stabilitas komoditas pangan, hal ini juga untuk menghindari dampak kerusakan lingkungan yang cukup besar.
Tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan “cetak lahan baru” sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan produksi pangan. Konversi lahan hutan dan lahan gambut menjadi lahan pertanian tanaman pangan seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Kalimantan Tengah bisa menjadi opsi. Tetapi yang harus diwaspadai adalah pembukaan lahan dengan cara dibakar. Cara ini masih banyak dilakukan masyarakat Indonesia untuk menekan biaya, namun dampaknya sangat merugikan.
Dan yang paling penting adalah jaminan modal atau pinjaman bagi petani. Hal ini sangat dibutuhkan oleh petani dalam melanjutkan kegiatannya ketika gagal panen atau harga jual yang terjun bebas, sedangkan harga pupuk dan bibit unggul tetap tinggi. Mudah-mudahan kesejahteraan petani meningkat sehingga berdampak pada berkurangnya angka kemiskinan. Dampak luasnya, ketahanan pangan Indonesia akan stabil sehingga swasembada pangan dapat tercapai.
Artikel Lainnya
-
4803/10/2025
-
269025/04/2020
-
147228/06/2020