Kecemasan Anak Bung Karno

Pegiat Demokrasi
Kecemasan Anak Bung Karno 18/11/2019 1147 view Politik viva.co.id

"Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya."

Harus berapa kali proposisi-proposisi seperti di atas itu kita kumandangkan sebagai pengikat benak agar tidak liar dan mudah lupa bahwa setiap orang menapaki hidup pada rel waktunya masing-masing? Pun mencegah supaya tak ada yang bertanya siapa yang berjuang di abad 21 itu Megawati atau Soekarno untuk menjual Indosat ke pihak asing.

Saya pikir, bagi pengingat yang baik satu kali diingatkan saja cukup, sedangkan bagi manusia pelupa, linglung, suka bertingkah takabur, seribu kali diingatkan pun tak akan cukup untuk membuatnya benar-benar ingat tanpa lupa lagi atau mengabaikan di waktu yang salah.

Saya sadar setiap orang pasti pernah mengalami kelupaan. Semua orang tahu itu wajar, manusiawi, tapi tak lantas kemudian hal itu diwajarkan, apalagi membiarkan pengabaian hal-hal baik dilakukan. Sekurang-kurangnya peringatan, kalau bukan pengingatan, harus diberikan, demi mencegah keteledoran berkelanjutan.

Kasus Sukmawati anak Soekarno, misalnya, yang tanpa pikir panjang menampakkan ketidaktahuannya (kalau bukan linglung atau teledor) perihal hukum "kesamaan/keselarasan" dan "kesemasaan", namun genit memberikan pertanyaan pada khalayak di suatu forum diskusi.

"Sekarang saya mau tanya, yang berjuang di abad 20 itu yang mulia Nabi Muhammad atau Insinyur Soekarno untuk kemerdekaan?" ungkap Sukma dengan nada dominan. Untungnya, sebelum ia diberikan peringatan dari pihak di luar forum itu, seorang khalayak sudah menumbangkan keangkuhannya sebagai anak Soekarno.

"Soeharto!", jawab seorang khalayak ke Sukma atas pertanyaannya. Menurut saya, pesan yang ingin digelorakan Sukma tumbang sebelum berkembang. Jawaban khalayak itu benar-benar mewakili jawaban saya dan mungkin juga publik luas dalam konteks itu. Melalui khayak itu publik sudah melawan dan menang. Meminjam kata Megawati, kakaknya si Sukma sekaligus anak Soekarno juga, Sukma kena "Dabbb!". Ahahaha...

Maka dari itu, sebagai kaum intelektuil yang mempunyai analisis non mainstream atas kasus itu, saya sarankan sebaiknya Ummat tenang dulu. Jangan gegabah. Sukma telah diterpa malu mengakui dirinya sebagai anak dari bung Karno, bung yang terang-terangan tidak mau mempunyai anak yang tidak kiri alias revolusioner.

Sebagaimana dalam tradisi monarki, setiap raja, ratu, atau kaisar, tidak mau punya anak yang cacat mental, selalu yang dikehendaki adalah anak berkepribadian unggul dan tidak bertingkah sembarangan. Soekarno pun mendambakan anak seperti itu, yang santuy dalam keunggulan. Bagaimana dengan Sukmawati?

Makanya, biarkan saya dulu gula larut di dalam kopi. Aduk hingga rasanya merata, tak boleh ada susu yang tertinggal stabil di dasar gelas. Maksudnya, kita tak boleh berjihad sembarang waktu. Segala sesuatu selalu ada waktunya. Alangkah lebih baik bila kita menunggu kepulangan Imam besar kita, Habieb R.S, baru gebrakan pembaharuan melawan kebatilan kita gencarkan.

***

Ingatlah selalu kisah yang mulia baginda, panutan kita, suri teladan kita, Nabi Muhammad SAW menjelang ajal merenggut nyawa-Nya. Di mana kekhawatiran beliau tak ada tentang lain hanyalah tentang kita, para umat-Nya. "Ummati. Ummati. Ummati," hanya kata itu saja yang keluar dari mulut sang Baginda Nabi ujung usia-Nya, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa sakit yang beliau tengah alami.

Kecemasan sang baginda Nabi Muhammad SAW pada kita sangat akut, tingkat luar biasa dan bertaraf semesta. Saya rasa, beliau tidak ingin kita lupa bahwa besok adalah hari Senin, hari di mana setiap PNS bekerja mengenakan baju kemeja putih. Para PNS yang muslim tidak boleh melupakan itu.

Sang baginda Nabi tidak ingin kita menjadi umat yang mudah lupa hal-hal yang mempersatukan kita dalam kebaikan. Beliau menghendaki kita sebagai umat yang bisa mengambil hikmah dari setiap babak kehidupan, bukan umat yang gampang marah dan tersinggung pada hal-hal kerdil.

Bukan cuma Baginda Nabi saja yang mencemaskan kita, Soekarno pun demikian; mencemaskan kita selaku anak-anak dari bangsa yang kemerdekaanya ia perjuangkan. Tetapi latar dan kadar kecemasan antara Soekarno dan baginda Nabi tidaklah sama.

Soekarno mencemaskan kita karena ia menyadari betul kemerdekaan yang ia proklamirkan masih baru memasuki usia anak-anak; sedangkan Nabi cemas di saat Islam sedang berada di puncak kejayaan luar biasa. Ini latarnya, soal kadarnya silakan saudara-saudara sebangsa dan setanah air nilai sendiri. Bebas mau nilai apa saja. Silakan!

Yang pasti, karpet kehidupan ini terbentang di atas harapan dan kecemasan, bukan pelupaan, pengabaian, apalagi keteledoran seperti yang dilakukan si Sukma. Andaikata Soekarno, pemimpin revolusioner bangsa Indonesia, masih hidup sampai sekarang, ia malu menyaksikan perbuatan anaknya, Sukmawati.

Alih-alih menebar-tumbuhkan spirit nasionalisme, untuk mengingat perkataan bapaknya sendiri pun si Sukma tak sanggup, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Saya pikir, si Sukma tidak akan berani membandingkan jasa baginda Nabi dengan jasa Soekarno, bapaknya. Pasalnya spirit revolusioner dalam diri Seokarno sebagian besar Soekarno adopsi dari sang baginda Nabi Muhammad SAW.

Publik mengerti perbuatan Sukmawati ditengarai oleh rasa cemas yang mendalam terhadap sosio-politik bangsa Indonesia. Sayangnya, rasa itu ia ekspresikan teramat berlebihan. Berekspresif silakan, beri depresif jangan!

Salah besar bila Sukmawati berpikir cuma dia seorang yang punya rasa cemas di atas bumi Indonesia ini terhadap masa depan bangsa serta seluruh keberagaman yang muat di dalamnya? Bangsa ini terlalu besar. Ini republik. Re-publik, bung-bung sekalian! Bukan De-publik. Tak bisa ditenangkan tatanan sosial-politiknya hanya dengan bermodal kecemasan belaka.

Hati siapa pun pasti akan turut dirundung kecemasan manakala apa/orang yang dicintainya bergerak maju seorang diri mengarungi semesta kehidupan, semesta yang kadang goyah diterpa hiruk-pikuk politik—dan pada akhirnya bisa membuat yang tercinta melupakan cita-cita besar yang dibangun bersama dengan cinta, doa, darah, dan air mata.

Akhir kata, hanya ketenangan yang mampu melahirkan ketenangan, tangan-tangan jahil yang penuh dengan kecemasan, kerakusan, kebohongan, nir keadilan, tak sanggup memberikan ketenangan. Soal Sukmawati anak bung Karno, lupakan saja dia. Masih banyak sukma sukma yang lain yang bertebaran di luar sana yang lebih layak untuk dikenang. End.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya