Kapitalisme: Mengubah Esensi Rumah

Pekerja Barang Dagangan dan Menulis di Komunal Nokturnal
Kapitalisme: Mengubah Esensi Rumah 07/06/2020 1471 view Opini Mingguan pixabay.com

"Dalam Sistem Kapitalisme Pekerja akan Selalu Menjadi Posisi yang Rentan”

Belum reda reaksi kemarahan rakyat akibat disahkannya Undang-Undang Minerba. Baru-baru ini Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo kembali melalukan hal yang sama dengan meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat. Perlu diketahui bahwa Proyek Tapera ini adalah wujud aktualisasi dari Undang-Undang N0 14 Tahun 2016.

Pemerintah mengklaim bahwa ini adalah solusi bagi pekerja yang berpenghasilan rendah untuk dapat mempunyai rumah secara mandiri. Biaya dari pembelian rumah itu diambil dari penghasilan pekerja dan perusahaan.

Dilansir dari PONTAS.ID, berdasarkan keterangan resmi Badan Pengelola (BP) Tapera besaran simpanan ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji/upah karyawan. Besaran tersebut akan ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja dengan pembagian 0,5 persen ditanggung perusahaan dan sebesar 2,5 persen ditanggung pekerja. Pekerja yang termasuk dalam PP No 25 Tahun 2020 itu adalah seluruh pekerja yang masuk dalam relasi upahan.

Terdengar seperti sebuah angin sengar bagi pekerja, karena dengan itu pekerja tidak lagi harus menabung uang secara mandiri. Tetapi sebelum berada pada kesimpulan seperti itu, kebijakan pemerintah ini perlu dibenturkan dahulu dalam realitas konteks sekarang, apakah kebijakan ini adalah solusi ataukah sebaliknya menjadi masalah yang baru? Jawaban dari pertanyaan ini akan saya jawab di pembahasan selanjutnya.

Tapera: Solusi Atau Masalah?

Penting menjadi catatan bahwa saat ini pekerja harus menerima beberapa potongan gaji yang dia dapatkan umumnya setiap bulan, diantaranya BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun. Dengan hadirnya potongan untuk pembelian rumah akan menambah beban pekerja dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Selain alasan itu, kebijakan ini dinilai sangat tidak responsif menjawab permasalahan yang dihadapi. Di tengah Pandemi Covid-19 selayaknya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menjawab permasalahan konkrit masyarakat khususnya pekerja yang saat ini mayoritas menjadi korban PHK. Dilansir dari CNN Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan jumlah masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan sebanyak 2 juta sampai 3,7 juta orang.

Lebih lanjut fenomena ini akan menambah angka kemiskinan di Indonesia, dikarenakan jumlah pengangguran juga meningkat. Berdasarkan perhitungan Bappenas, jumlah pengangguran di Indonesia akan bertambah sekitar 4,22 juta tahun ini. Untuk itu, ia menyebut outlook tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada 2020 sebesar 7,8 persen-8,5 persen.

Melihat fakta yang hadir dalam konteks saat ini, kebijakan pemerintah melalui proyek penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) lebih tepat dikatakan menjadi masalah baru rakyat khususnya pekerja dibanding menjadi solusi seperti yang di klaim pemerintah.

Tugas Negara Memenuhi Kebutuhan Rakyat akan Tempat Tinggal

Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dijelaskan bahwa: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia”

Atas dasar inilah Pemerintah Indonesia seharusnya bisa memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal rakyat termasuk pekerja Tetapi bukan dengan metode pemotongan gaji. Seperti sudah disinggung sebelumnya, hal ini karena didasarkan pada fakta konteks materiil saat ini. Sudah banyak iuran-iuran potongan gaji yang harus diterima pekerja, belum lagi persoalan bunga yang ditaksir sejumlah 5,5% dalam Proyek Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Pemerintah harusnya mendahulukan kepentingan pekerja dengan didasarkan pada kondisi yang dialami pekerja hari-hari ini. Tetapi realitas yang dihadirkan sebaliknya, di tengah dominannya corak produksi eksploitatif kapitalisme dan pandemi Covid-19, Pemerintah mengeluarkan kebijakan proyek Tapera yang jauh dari keberpihakan pada pekerja

Kapitalisme Mengubah Esensi Rumah: Dari Tempat Tinggal Menuju Objek Relasi Jual Beli (Komoditas)

Dalam jurnal yang ditulis oleh Putra Halima dan Algifari Mahdi dengan judul “Analisis Penyediaan Rumah Sederhana dalam Dialektika Kapitalisme”. Mereka mengatakan bahwa: “Rumah-rumah yang dibangun akan menjadi milik seseorang dan ditinggali apabila transaksi jual beli. Di satu sisi, ada banyak orang yang harus tinggal di rumah ilegal yang tidak layak dan tujuan dari sektor perumahan dibangun adalah untuk tujual dibeli bukan untuk ditinggali”.

Seperti yang kita lihat pada konteks kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat yang diinisiasi pemerintah, terlihat bahwa esensi dari orientasi tujuan pemerintah adalah bukan untuk memberikan rumah yang terjangkau dan bisa ditinggali oleh pekerja, melainkan bagaimana rumah-rumah yang nantinya dimiliki oleh pekerja adalah hasil transaksi jual beli melalui pemotongan gaji dan bunga yang tinggi . Bisa disimpulkan bahwa dimata pemerintah, rumah bukan lagi sebagai objek tempat tinggal, tetapi tidak lebih dari sekedar objek transaksi jual beli yang tidak setara dan merugikan pekerja.

Dari penjelasan yang telah disebutkan diatas, saya menarik kesimpulan bahwa pemerintah Indonesia jelas sudah tidak berpihak pada rakyat yang tertindas oleh sistem kapitalisme. Pemerintah Indonesia hanya fokus mengakumulasi keuntungan secara terus menerus dan salah satunya adalah dengan proyek Tabungan Perumahan Rakyat.

Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip kalimat dari Presiden pertama Indonesia Soekarno, kalimatnya berbunyi seperti ini: “Perbaikan nasib hanya bisa datang seratus persen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme”

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya