Wabah Corona dan Darurat Komunikasi Pejabat Publik Kita

Wabah Corona dan Darurat Komunikasi Pejabat Publik Kita 13/04/2020 1674 view Opini Mingguan pixabay.com

Seandainya waktu bisa diputar kembali, saya yakin banyak negara (termasuk Indonesia) akan memanfaatkannya untuk mengatasi atau minimal mereduksi potensi bahaya penyebaran wabah Corona (Covid-19). Fakta hari-hari ini menunjukkan, Covid-19 sudah menjelma menjadi virus yang sangat mematikan dan membuat geger banyak negara di dunia.

Fakta lainnya bahwa negara-negara yang paling tidak siap (baca: terlalu anggap enteng) saat pertama kali muncul kabar mengenai virus ini, kini harus menanggung akibatnya, menjadi negara yang paling kelabakan untuk mengatasinya. Jumlah warga yang positif terinfeksi terus bertambah dari hari ke hari, begitu juga nyawa yang melayang.

Sangat disayangkan, Indonesia bisa dikatakan termasuk salah satunya. Bagaimana tidak? Awal-awal berita penyebaran wabah ini, pejabat publik kita seolah kompak untuk menafikannya bahkan menjadikannya sebagai lelucon. Beberapa dengan angkuh mengatakan bahwa bangsa kita mustahil terkena alias kebal terhadap virus ini. Yang lain malah menjadikannya sebagai lelucon. Jejak digital semua pernyataan ini masih tersimpan dan mudah bisa kita temukan.

Menurut saya, buruknya pola komunikasi pejabat publik ini menjadi awal petaka dari berbagai peristiwa yang harus kita temui hari-hari ini. Sebenarnya kita bisa memahami bahwa pemerintah memang perlu selalu memberikan rasa tenang, aman dan nyaman bagi seluruh warganya.

Namun untuk kasus penyebaran wabah Corona saat ini, sekali lagi, kesan yang bisa ditangkap publik bahwa pemerintah kita memang terlalu jemawa. Alih-alih melakukan langkah antisipasi sejak awal, pemerintah justru sibuk melakukan promosi wisata dan terbuka lebar menerima kunjungan wisatawan asing untuk menunjukkan Indonesia tidak terpengaruh isu penyebaran wabah Corona. Di salah satu daerah, kepala daerahnya sendiri bahkan melakukan seremonial penjemputan wisatawan asing (dari China) di area kedatangan bandara.

Praktis pemerintah kita menyia-nyiakan begitu saja rentang waktu sekitar dua bulan lamanya untuk mencegah virus ini masuk dan menyebar ke Indonesia. Hari-hari ini, bangsa kita kian tertekan dan kewalahan menghadapi penyebaran wabah ini. Berdasarkan informasi terbaru, seluruh provinsi sudah mengonfirmasi ada warganya yang positif Corona. Tidak ada yang nihil alias terbebas sama sekali.

Ribuan warga dilaporkan positif terjangkit wabah ini. Setiap harinya, terjadi penambahan jumlah yang signifikan. Memang ada banyak pasien yang dilaporkan sembuh setelah melalui serangkai proses pengobatan. Namun jangan lupa, banyak juga pasien yang akhirnya meninggal dunia. Petugas medis yang menjadi garda terdepan untuk melawan wabah ini termasuk merawat para pasien, justru banyak yang berguguran setelah terjangkit wabah ini.

Dampak penyebaran wabah ini memang benar-benar luar biasa. Aktivitas keseharian warga berubah total seketika. Pemerintah “memaksa” warga agar lebih banyak menghabiskan waktu dan mengerjakan aktivitasnya dari rumah. Dampak ekonomi yang ditimbulkan pun tidak main-main. Bayang-bayang terjadinya PHK massal sudah di depan mata (sudah terjadi?) karena proses produksi yang macet bahkan berhenti total.

Konon, pemerintah juga mau tak mau harus merogoh kocek sangat dalam. Dana ratusan triliun rupiah sudah disiapkan dalam masa-masa tanggap darurat ini. Menteri Keuangan bahkan sudah memberi “warning” akan mengkaji ulang pembayaran THR dan gaji 13 bagi PNS tahun ini. Setiap Kementerian/Lembaga termasuk pemerintah daerah diminta melakukan optimalisasi/penghematan anggaran untuk bisa digunakan menangani wabah ini.

Masa-masa sulit ini juga kian membuka fakta betapa buruknya pola komunikasi kebanyakan pejabat publik kita. Satu kesalahan komunikasi di awal bukannya dijadikan pembelajaran, justru dilanjutkan dengan melahirkan kesalahan-kesalahan baru yang identik.

Entah karena terlalu gagap dan panik dengan situasi sulit yang terjadi saat ini, beberapa pejabat publik malah membuat suasana kian gaduh karena pernyataan mereka yang saling berbantahan.

Pernyataan Menkumham dibantah pihak KSP. Pernyataan Jubir Presiden diralat Mensesneg. Bahkan dua pejabat di KSP pun saling berbantahan di ruang publik. Satu menyebut ada pegawai KSP yang positif Corona, lalu dianulir pejabat yang lain. Pernyataan Presiden mengenai isu darurat sipil dan paket relaksasi kredit bagi yang terdampak Corona pun sempat menimbulkan kebingungan di ruang publik sebagai akibat dari lemahnya pola komunikasi.

Masing-masing kesalahan ini tentu memiliki dampak yang besar karena sempat diucapkan pejabat publik. Misal mengenai mudik. Ketika seorang pejabat publik selevel Juru Bicara Presiden mengatakan boleh mudik, tentu publik langsung menyimpulkan itu sebagai pernyataan resmi alias kebijakan Presiden. Ketika kemudian pernyataan itu dikoreksi, tentu membuat publik menjadi bingung. Mana yang benar, boleh atau tidak?

Yang paling menarik tentu saja mengenai rencana pembebasan napi korupsi. Menurut saya, sepertinya ini tidak lagi bicara soal “miskomunikasi” atau “keseleo lidah” tetapi sudah mengandung motif tertentu. Ibarat mengail di air keruh, patut dicurigai masa-masa pelik akibat wabah Corona ini pun sepertinya ingin dimanfaatkan sekelompok orang yang saling bekerjasama untuk membebaskan napi korupsi. Ironis sekali.

Kecurigaan kian menguat bila (lagi-lagi) membuka jejak digital. Upaya-upaya untuk meringankan hukuman bahkan bila perlu membebaskan para koruptor memang tidak pernah berhenti dilakukan dari waktu ke waktu. Alasan-alasan yang kelihatannya sangat logis dan manusiawi terus-menerus dimunculkan pada momentum yang tepat.

Saya berpendapat, hal seperti ini semestinya tidak boleh didiamkan begitu saja. Hanya sekadar diralat lalu dibiarkan berlalu begitu saja. Seharusnya ada tindakan khusus dan lebih lanjut untuk meminta pertanggungjawaban pejabat publik yang bersangkutan. Patut dipertanyakan dan digali lebih dalam “sense of crisis” nya sebagai seorang pejabat publik.

Akhirnya, kita berharap pemerintah dalam hal ini para pejabat publik di berbagai tingkatan memang harus segera memperbaiki pola komunikasinya. Sengkarut komunikasi yang terjadi sebenarnya secara tidak langsung mengindikasikan kurang solidnya tim kerja pemerintah saat ini. Pemerintahan kita saat ini sedang mengalami darurat komunikasi.

Saya membayangkan betapa berbahayanya bila ini terus menerus terjadi dan berulang. Lama-kelamaan, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan hilang. Akibatnya, ketika pemerintah menyampaikan sesuatu kebenaran pun, publik menjadi ragu, apatis bahkan lebih memilih mencari kebenaran versinya sendiri. Tidakkah itu yang sudah terjadi saat ini? Disana-sini terdengar jelas suara-suara yang meragukan kebenaran data versi pemerintah terkait jumlah penyebaran orang yang terinfeksi wabah Corona. Kalau sudah begini, bukankah pemerintah yang seharusnya dikatakan sedang dalam keadaan darurat?.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya