Urgensi Presiden Dipilih MPR

Wacana presiden di pilih MPR kembali menggema. Meskipun sudah lama digulirkan, sampai hari ini belum ada titik terang yang dapat memperkuat wacana ini akan kembali dihidupkan. Karena baik MPR dan partai politik belum ada konsolidasi yang dapat dibaca mendukung sepenuhnya wacana ini.
Tetapi jika kita kembali melihat sejarah, MPR dalam sidang tahun 1973 telah memilih Jenderal Soeharto sebagai presiden dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil presiden. Pengalaman pasca reformasi juga membuktikan Habibie, Gus Dur dan Megawati dipilih dalam sidang MPR. Artinya, pengalaman politik semacam ini sudah bisa membuktikan apakah mekanisme ini pantas dihidupkan atau tidak sama sekali.
Sebelum lebih jauh memahami urgensitas pemilihan presiden melalui MPR, penulis terlebih dahulu mempertegas ‘posisi’ dalam menguraikan perspektif dan argumentasi terhadap mekanisme pemilihan presiden. Penulis dengan tegas ‘menolak’ jika presiden dipilih oleh MPR, karena kepentingan rakyat dalam ruang demokrasi harus dilibatkan dan diakomodir melalui keikutsertaan mereka dalam pemilu.
Semenjak pemilihan presiden pertama tahun 2004 melalui pilihan langsung, sistem demokrasi one man, one vote mulai berlaku yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama. Artinya kehadiran rakyat dalam gelanggang politik kian penting di tengah memudarnya partisipasi rakyat.
Pertanyaan mulai bermunculan, apa urgensitas dari mekanisme pemilihan presiden melalui MPR? Pertanyaan ini merupakan wujud dari ketidakpercayaan terhadap pemilihan presiden melalui MPR.
Penulis meyakini kepentingan di bawah meja yang lazim terjadi dalam setiap urusan politik selalu menjadi barang laku yang nanti akan terjadi jika mekanisme pemilihan presiden melalui MPR benar-benar dilaksanakan.
Wacana yang beredar dan beterbangan di ruang publik terhadap mekanisme pemilihan presiden melalui MPR dapat dibaca sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak politik rakyat.
Bagaimanapun ruang partisipasi rakyat harus ditopang lewat pemilihan presiden yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan rakyat yang tidak boleh dikerdilkan melalui pembungkaman hak-hak politik.Terlepas dari apakah pilihan tersebut rasional atau irasional, bukan berarti hak politik rakyat mesti ditiadakan.
Kehendak sebagai pemegang tunggal atas demokrasi lima tahunan dipreteli dengan mekanisme yang justru masih abstrak dan simpang siur. Mekanisme pemilihan presiden melalui MPR justru melahirkan kehendak bebas seorang presiden terhadap kekuasaan yang diemban.
Melalui sifat-sifat kekuasaan, seorang presiden bisa lebih leluasa terhadap kehendak sendiri tanpa mempertimbangkan rakyat. Dalih yang dapat dipergunakan tidak lain presiden bukan pilihan rakyat tetapi MPR. Artinya, tugas dan tanggung jawab sebagai presiden tidak diletakkan di atas rakyat karena presiden merupakan mandataris MPR dan bertanggung jawab kepada MPR.
Sikap seperti itu cenderung melahirkan bentuk kekuasaan otoritarian yang menyekap rakyat dalam lingkaran kehendak individual bukan lagi kehendak bersama demi tercapainya bonum commune.
Mekanisme pemilihan seperti ini tidak lagi menyediakan ruang partisipasi aktif rakyat. Secara politis rakyat didepak dari gelanggang lima tahunan yang menelantarkan hak-hak politik mereka.
Pengingkaran lewat sikap ini adalah bentuk dari antagonisme politik dalam diri elit yang menginginkan kekuasaan yang absolut dan tidak terkontrol. Di satu sisi, kita terjebak kembali dengan sikap masa lalu.
Bukti kuat atas peristiwa semacam ini adalah presiden Gus Dur yang diberhentikan di tengah perjalanan. Ini membuktikan mekanisme pemilihan presiden melalui MPR merupakan bentuk nyata dari kearbiteran kekuasaan yang menjelma dalam tubuh elit.
Jika bertolak dari argumen yang mendukung dilaksanakan kembali wacana presiden dipilih MPR, karena praktek politik uang yang seringkali menjangkiti demokrasi lima tahunan.
Biaya politik (political cost) yang terlalu membebani negara dan argumen serupa lainnya, penulis justru melihat ada kekacauan berpikir yang masih terawat dalam seluruh logika berpikir.
Harus diakui adanya praktek politik uang dalam pemilihan presiden, tetapi bukan berarti mekanisme terhadap pemilihan presiden harus dirubah. Cara seperti ini terlalu sempit sekaligus terburu-buru tanpa mempertimbangkan aspek yang lebih luas.
Merumuskan mekanisme pemilihan presiden melalui MPR harus disikapi secara lebih terbuka. Artinya, kebijakan ini perlu dilihat secara lebih komperhensif dengan tujuan agar publik bisa memahami urgensitas terhadap mekanisme ini.
Memberantas politik uang harus dilakukan melalui penguatan kapasitas kelembagaan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Kedua lembaga ini harus diberi ruang yang luas terhadap penyelenggaraan serta pengawasan. Melalui penguatan kapasitas kelembagaan dipastikan praktik politik uang dapat diberantas.
Namun jika mengandalkan mekanisme pemilihan presiden dilakukan lewat MPR, justru kita terjebak dalam pekerjaan yang instan yang dapat melahirkan banyak ketimpangan di masa depan. Bagaimanapun, seorang presiden adalah kepala negara yang harus ditentukan sendiri oleh rakyatnya.
Pada akhirnya, kembali kepada mekanisme presiden dipilih MPR tidak lain merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi. Rakyat memiliki hak mutlak yang tidak bisa di dikte dengan cara apapun termasuk memilih presiden.
Kecenderungan yang justru akan melahirkan kegagapan rakyat dalam mengontrol kekuasaan dapat dibaca dari mekanisme seperti ini. Kekuasaan akan berubah menjadi lebih eksklusif yang memandang rakyat hanya sebagai objek. Di sini sebetulnya urgensitas dari mekanisme pemilihan presiden melalui MPR hanya akan melemahkan kontrol rakyat terhadap presiden.
Artikel Lainnya
-
110429/12/2020
-
11521/10/2023
-
150528/05/2020
-
Interupsi Iman Setelah Wabah Covid-19
1522815/04/2020 -
Koalisi Elite versus Demokrasi dari Bawah
177410/08/2020 -
UU KPK dan Politik Ugal-ugalan
191919/09/2019