Urgensi Penguatan Kebebasan Pers di Indonesia

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Urgensi Penguatan Kebebasan Pers di Indonesia 24/08/2024 1633 view Hukum Media Indonesia

Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi yang tidak boleh diabaikan. Ketika saya mendengar tentang larangan liputan investigasi jurnalistik dalam RUU Penyiaran Publik, hati saya seolah-olah bergetar. Bagaimana mungkin, di era yang serba terbuka ini, kita masih dihadapkan pada upaya pembungkaman terhadap salah satu alat kontrol sosial yang paling esensial?

Pasal 50 B ayat (2) huruf C dari RUU Penyiaran Publik menyatakan larangan terhadap liputan investigasi jurnalistik. Ini bukan hanya langkah mundur, tetapi juga ancaman nyata bagi kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri. Investigasi jurnalistik adalah alat yang digunakan untuk mengungkap kebenaran yang seringkali tersembunyi di balik kekuasaan dan kepentingan tertentu. Tanpa kebebasan ini, siapa yang akan mengawasi dan mengkritisi kebijakan serta tindakan pemerintah atau korporasi yang bisa saja merugikan masyarakat luas?

Kebebasan pers adalah hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi kita. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Larangan terhadap liputan investigasi jelas bertentangan dengan semangat konstitusi ini. Bagaimana mungkin kita bisa berharap masyarakat yang terinformasi dan kritis jika akses mereka terhadap informasi yang mendalam dan terpercaya dibatasi?

Menurut Alexander Meiklejohn, seorang filsuf politik, "Kebebasan berbicara bukanlah sekadar hak individu untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka, melainkan juga kebutuhan masyarakat untuk mendengar." Dalam konteks ini, kebebasan pers adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur. Tanpa kebebasan pers, transparansi dan akuntabilitas akan hilang, dan kita akan kembali ke era kegelapan di mana informasi dikendalikan oleh segelintir elit.

Sebagai contoh, banyak kasus korupsi besar yang terungkap berkat liputan investigasi jurnalistik. Kasus seperti skandal korupsi e-KTP, yang melibatkan dana triliunan rupiah, berhasil terungkap berkat kerja keras para jurnalis investigatif. Jika larangan ini diterapkan, siapa yang akan berani menggali dan mengungkap skandal-skandal serupa di masa depan? Apakah kita rela membiarkan kejahatan-kejahatan besar terjadi tanpa ada yang mengawasi?

Saya merasa bahwa alasan di balik larangan ini perlu dipertanyakan. Apakah ini bentuk ketakutan terhadap pengawasan dan kritik? Ataukah ada upaya untuk melindungi kepentingan tertentu? Bagaimanapun, larangan ini tidak bisa dibenarkan. Dalam sebuah negara demokratis, kritik dan pengawasan adalah bagian dari mekanisme untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan.

Selain itu, kebebasan pers juga berperan penting dalam mendidik masyarakat. Melalui liputan investigasi, masyarakat dapat memahami isu-isu kompleks dan mendalam yang tidak selalu muncul di permukaan. Ini membantu masyarakat untuk menjadi lebih kritis dan terinformasi dalam mengambil keputusan. Tanpa akses terhadap informasi yang mendalam, masyarakat akan kehilangan kemampuan untuk menilai kebijakan dan tindakan pemerintah secara objektif.

Dalam bukunya, "The Elements of Journalism," Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis, "Tujuan utama dari jurnalisme adalah untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat agar bisa membuat keputusan yang baik dalam menjalani kehidupan mereka." Jika kita membatasi kebebasan pers, kita menghalangi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang bijak.

Statistik menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat kebebasan pers yang tinggi cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah dan kualitas demokrasi yang lebih baik. Menurut laporan World Press Freedom Index 2023, negara-negara dengan kebebasan pers yang tinggi, seperti Norwegia dan Finlandia, selalu berada di peringkat teratas dalam hal transparansi dan demokrasi. Sebaliknya, negara-negara dengan kebebasan pers yang terbatas cenderung memiliki masalah korupsi yang lebih besar dan kualitas demokrasi yang rendah.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa kebebasan pers bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Ini adalah hak fundamental yang harus dijaga dan dilindungi. Larangan terhadap liputan investigasi jurnalistik dalam RUU Penyiaran Publik adalah ancaman serius bagi kebebasan ini. Kita harus bersatu untuk menolak upaya-upaya yang mencoba membatasi kebebasan pers dan memastikan bahwa jurnalis dapat bekerja tanpa takut akan pembatasan atau pembalasan.

Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa kebenaran selalu terungkap dan keadilan selalu ditegakkan. Kebebasan pers adalah kunci untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi yang sehat. Mari kita jaga dan lindungi kebebasan ini demi masa depan yang lebih baik bagi kita semua.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya