Urgensi Pendidikan Wajib Militer Bagi Masyarakat Sipil

Urgensi Pendidikan Wajib Militer Bagi Masyarakat Sipil 23/08/2020 1149 view Opini Mingguan IndoPROGRESS

Perdebatan perihal pendidikan wajib militer bagi masyarakat sipil hari-hari ini di ruang publik (dan media sosial) sedikit banyak menuai polemik. Kalangan pro berpendapat, pendidikan bela negara diperlukan bagi masyarakat sipil untuk memperkuat rasa cinta tanah air.

Sementara kalangan kontra melihat bahwa pendidikan militer bagi masyarakat sipil memberi kesan kedaruratan perang yang meresahkan psikologis publik. Jika demikian, apa urgensi dari pendidikan wajib militer bagi masyarakat sipil?

Terlepas dari polemik tersebut diatas, menurut hemat saya, kita musti melihat dan menelaah lebih substansial pada kondisi masyarakat sipil (civil society) dan kaitannya dengan masa civil society itu sendiri. Sehingga dari sini kita bisa mengamati sekaligus sepakat ataukah menolak pendidikan wajib militer yang sementara ini menuai polemik.

Dengan ini menurut saya, kita tidak mudah terjebak pada pemahaman yang hanya menyerempet pada perdebatan ‘penting atau tidak’, tetapi mengambil posisi dengan melihat seberapa jauh pendidikan wajib militer itu mempengaruhi civil society dan mendorong pelibatan mereka dalam menjaga persatuan, keamanan dan ikut memajukan bangsa di panggung internasional.

Topik mengenai militer di Indonesia, jika kita kembali mereview dari beberapa pemimpin bangsa, pada dasarnya selalu berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai ‘orang kuat’. Seperti ungkapan Salim Haji Said, di negeri seperti Indonesia, “orang kuat” besar kemungkinan hanya datang dari kalangan militer atau tokoh yang didukung dan “dikendalikan” militer (Salim Haji Said; 2016, 23).

Dengan adanya orang kuat ini, tentu segala agenda kebijakan publik tidak terlepas dari pengaruh militer dan bahkan jika memungkinkan digiring pada kesejahteraan militer.

Perdebatan yang lebih serius perihal militer mengemuka setelah kejatuhan rezim Orba, dimana civil society bergerak dan berkonsolidasi dalam gerakan menumbangkan rezim otoriterianisme Soeharto. Salah satu poin tuntutan yakni hapuskan Dwi Fungsi ABRI.

Tuntutan ini selaras dengan tupoksi ABRI sebagai lembaga keamanan negara sekaligus menjaga keutuhan NKRI. Pada titik ini sebetulnya, civil society yang telah lama terkungkung di bawah rezim Orde Baru serta pengaruh militer yang kuat, mendapatkan angin segar untuk kebebasan berekspresi.

Hingga hari ini, kita melihat sisa-sisa warisan Orde Baru, meskipun tidak nampak tetapi hemat saya masih ada meskipun dengan intensitas yang kecil. Meskipun dengan intensitas yang kecil, kehadiran militer mulai diperbincangkan kembali dengan adanya wacana mengenai rencana pendidikan wajib militer.

Jika kita kritisi lebih dalam, ada banyak variabel yang bisa menunjukan bahwa pendidikan wajib militer tidak terlepas dari beragam kepentingan. Bahkan kepentingan itu, kita boleh mengatakan, militer masih mencoba menyelinap dan menyusup masuk kedalam ruang di mana civil society berada.

Dalam situasi demikian, hemat saya, pendidikan wajib militer tidak memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk semakin cinta tanah air. Justru disinilah perlahan Dwi Fungsi ABRI mulai mendapatkan tempatnya bahkan secara tidak langsung akan mengganggu tatanan civil society yang telah lama kita gagas bersama.

Melalui civil society juga, sebenarnya kita mengamati bahwa pengaruh militer mencoba ‘bermetamorfosis’ melalui masyarakat sipil. Saya melihat gejala ini sudah mulai menyeruak dan menerobos kesadaran kita, bahwa militer mencoba mencari peluang dan ruang untuk masuk dalam arena civil society.

Pada bagian lain dari wacana ini, justru saya tidak menemukan satu argumentasi apapun yang mendukung bahwa dengan adanya pendidikan wajib militer bagi masyarakat sipil, maka dengan sendirinya semakin kuat mempertahankan cinta tanah air. Justru sebaliknya, pendidikan wajib militer sejauh amatan saya akan mengganggu ruang masyarakat sipil dan stabilitas dalam negara menjadi lebih sulit terkontrol karena civil society sudah menyatu di bawah pengaruh militer.

Pada titik tertentu, civil society lebih mudah digiring dibawah hegemoni militer.

Bahkan pada situasi yang lain, agenda kebijakan publik mudah sekali disusupi pengaruh militer bahkan mendorong masyarakat sipil bersikap militer. Perilaku semacam ini meskipun masih terbatas pada analisis, hemat saya, akan mempengaruhi dinamika sosial, politik, ekonomi, budaya dan aspek lain. Yang justru menguat ialah civil society semakin terkonsolidasi dan menyatu dengan iklim militer.

Kondisi demikian tidak saja membawa kita pada masa-masa Orba, tetapi akan berpengaruh kuat terhadap ruang berekspresi bagi civil society di masa mendatang.

Hemat saya, cinta tanah air lahir dari rasa bangga serta memahami sejarah bangsa. Pendidikan wajib militer, hemat saya, tidak menunjukan ke arah itu. Yang perlu dilakukan ialah mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam segala agenda kebijakan negara untuk ikut mendukung kemajuan negara. Bukan malah menciptakan suatu kebijakan yang memberi peluang dan ruang bagi masyarakat sipil untuk ikut pendidikan wajib militer, alih-alih akan berpengaruh pada stabilitas dalam negeri dan demokrasi.

Ini yang musti dihindari. Selama agenda kebijakan negara dan sejarah dibuyarkan, selama itu pula pelibatan masyarakat sipil dalam mendukung keutuhan, persatuan dan kemajuan bangsa sulit tercapai. Yang ada civil society malah tercerai-berai ke dalam kelompok-kelompok kecil yang justru berpengaruh terhadap perkembangan civil society itu sendiri.

Musti ada gerakan dari negara melalui konsolidasi gerakan yang mengikat civil society untuk lebih terbuka. Bukan mendorong mereka pada pendidikan wajib militer, karena akan semakin sulit dikontrol negara.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya