Urgensi Kebijakan Lockdown Di Tengah Krisis Kemanusiaan
Penyebaran virus corona (Covid 19) semakin menyasar banyak korban. Ganasanya penyebaran virus corona tidak bisa disepelekan apalagi dianggap enteng. Masifnya penyebaran telah mengakibatkan semua aktivitas publik menjadi lumpuh serta menimbulkan kepanikan.
Di tengah kepanikan semacam itu, pemerintah enggan mengeluarkan kebijakan lockdown karena mempertimbangkan aspek ekonomi sebagai jantung negara akan kolaps jika kebijakan tersebut tetap dipaksakan. Namun, justru di tingkat paling bawah (grass root) penyebaran virus menjadi tidak terkendali dan semakin menjatuhkan banyak korban.
Update virus corona di Indonesia per 28 Maret 2020 tercatat mencapai 1.046 kasus positif Covid 19 yang tersebar di 28 provinsi. Di kutip dari Covid19.go.id, dari 1.046 kasus tersebut, terdapat 87 kasus meninggal dan 46 pasien berhasil sembuh. Sehinga kini ada 913 orang yang dalam perawatan (Tirto.id;28/03/2020). Banyaknya korban yang posistif corona ditambah dengan meningkatnya korban yang meninggal akibat wabah corona mendorong semua pihak untuk mengambil langkah yang tepat dan jelas dalam menangani persoalan ini.
Sementara di sisi yang lain hal ini memaksa pemerintah daerah menerapkan kebijakan local lockdown sebagai upaya preventif karena semakin masifnya penyebaran virus corona. Hingga hari ini sudah ada lima daerah yang telah mengeluarkan kebijakan lockdown. Kelima daerah yang menerapkan lockdown antara lain Pemkot Solo, Bali, Papua, Maluku dan Tegal. Daerah-daerah itu menerapkan lockdown dengan skala berbeda-beda (cnnindonesia.com;28/03/2020).
Sedangkan pada sisi yang lain pemerintah pusat sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan melalui instruksi bekerja dari rumah (work from home) dan menjauhi perkumpulan (social distancing) sebagai langkah preventif mencegah penularan wabah corona. Akan tetapi kebijakan ini belum bisa menjawab tuntutan paling utama yakni memerangi virus corona. Kita tidak bisa hanya bergantung pada dua kebijakan tersebut, sementara korban terus bertambah setiap waktunya. Lantas dalam situasi seperti ini siapa yang disalahkan? Apakah pemerintah daerah yang gegabah mengambil sikap menerapkan kebijakan local lockdown tanpa koordinasi dengan pemerintah pusat atau pemerintah pusat yang keteledoran sehingga menangguhkan penerapan lockdown?
Dalam tulisan saya di The Columnist minggu kemarin (Kepongahan Kita Di Tengah Wabah Corona;23/03/2020), Saya mengajukan tesis bahwa logika yang bersumbu pada ekonomi di tengah ancaman penyebaran virus corona mempertegas posisi kita sebagai manusia kapitalis (human capitalism). Sementara ada hal lain yang lebih penting dan urgen, tidak lain soal kemanusiaan harus diutamakan di tengah wabah corona. Tetapi hal ini tidak dibaca lebih lanjut oleh pemerintah pusat, sehingga penerapan kebijakan lockdown diabaikan dan tidak mendapatkan tempat di tengah gempurnya virus corona.
Menurut hemat saya dalam kondisi seperti ini pemerintah daerah sangat tepat mengambil sikap. Bagi saya hal ini tidak bisa dilihat sebagai bentuk pembangkangan pemerintah daerah yang tidak mematuhi instruksi pemerintah pusat, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiaan dari pemerintah daerah dalam melindungi masyarakatnya dari virus corona. Responsivitas pemerintah daerah dalam menangani penyebaran virus corona dapat kita lihat sebagai bentuk bahwa pemerintah daerah sangat mengkhawatirkan virus corona akan lebih banyak menyasar korban di tengah keterbatasan daerah terhadap jaminan kesehatan bagi masyarakat.
Di sinilah urgensi kebijakan lockdown menurut hemat saya sangat tepat di tengah krisis kemanusiaan. Krisis kemanusiaan dalam konteks ini merujuk pada dua hal. Pertama, pemerintah terlalu memikirkan aspek ekonomi hingga melupakan aspek kemanusiaan warganya yang makin hari terus menjadi korban dari ganasnya virus corona. Kedua, kebijakan lockdown amat sangat diperlukan dengan pertimbangan semakin banyaknya korban di tengah keterbatasan alat kesehatan yang harus kita penuhi dan jaminan kesehatan bagi masyarakat.
Bagi saya kebijakan lockdown diharuskan dengan dilakukan dalam beberapa kategori, seperti menetapkan kebijakan lockdown di bandara udara dan pelabuhan. Dua tempat ini sangat rentan terhadap penyebaran virus corona.
Pada aras ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah mesti memperkuat koordinasi agar kebijakan yang diterapkan dalam memerangi virus corona tidak terkesan pemerintah berjalan sendirian. Di ruang publik justru pemerintah terkesan tidak konsisten memerangi virus corona, yang ada malah menampilkan kesimpangsiuran menghadapi covid 19 yang semakin hari semakin destruktif. Di sinilah publik dapat mengamati sejauh mana pemerintah betul-betul konsisten, responsif dan akuntabel memerangi virus corona. Bukan tidak mungkin di tengah wabah corona yang semakin meluas dengan di satu sisi pemerintah malah berjalan tidak teratur justru akan melahirkan sikap ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap pemerintah.
Pada akhirnya, kebijakan local lockdown oleh sebagian pemerintah daerah bukan merupakan bentuk pembangkangan melainkan sebagai bentuk lain dari responsifitas pemerintah daerah dalam memerangi virus corona. Dalam aspek yang lebih luas kita harus mengamati bahwa urgensi kebijakan lockdown di tengah pendemi covid 19 sangat diperlukan dengan melihat aspek kemanusiaan sebagai nilai utama. Pemerintah daerah telah mengambil sikap yang bagi saya sangat kompatibel dengan situasi wabah corona yang terus menjalar dan destruktif. Menyalahkan langkah dan kebijakan pemerintah daerah bagi saya merupakan bentuk kegagalan kita memahami penyebaran virus yang semakin menjatuhkan banyak korban.
Artikel Lainnya
-
126210/11/2022
-
108323/04/2022
-
119726/07/2020
-
Pesta Semua Orang Kudus dan Makna Panggilan Hidup Kristiani
4102/11/2024 -
Libur Panjang : Antara Rindu dan Biaya Rapid Test
128822/07/2020 -
Tak Ada yang Abadi, Tapi (Mungkin) Tidak untuk Nadal
89807/03/2022