Trump, WHO dan Mentalitas Parasit

Mahasiswa STFK Ledalero
Trump, WHO dan Mentalitas Parasit 17/04/2020 1813 view Politik pixabay.com

Nikita Sergeyevich Khrushchev (1963), mantan presiden Uni Soviet pada suatu ketika di Beograd pernah mengajukan gambaran paling muram tentang sosok politisi. Khrushchev mengungkapkan, “semua politisi itu sama saja. Mereka menjanjikan untuk membangun jembatan meskipun di tempat itu tidak ada sungai.”

Peringatan Khrushchev tersebut hendak memperlihatkan karakter ambiguitas dalam tubuh politik. Politik membangun idealisme, tetapi tidak diaktualisasikan dalam praktik yang jelas. Akibat lanjutan adalah timbulnya mentalitas parasit.

Setelah gagal memperjuangkan agenda politik, maka politisi akan menggantungkan hidupnya kepada inang yang bisa memberi makanan. Pada pusaran yang problematis, politisi boleh jadi akan mempersalahakan kematian inang sebagai bagian dari situasi alam, seperti panas yang berkelebihan atau curah hujan yang terlalu tinggi.

Mentalitas parasit membangkitkan sikap saling menuduh antar sesama politikus atau antar politikus dan organisasi lain yang terlibat dalam suatu persoalan. Sengkarut yang berkepanjangan akan mengakibatkkan ketimpangan dalam upaya menyelesaikan persoalan secara bersama.

Trump Vs WHO

Berita paling geger kini datang dari Amerika Serikat. Donald Trump selaku presiden pada tanggal 07 April 2020 menyatakan sikap untuk menghentikan pendanaan (funding) kepada World Health Organization (WHO). Bukan tidak mungkin, pengambilan sikap tegas dari Trump dilatarbelakangi oleh meruaknya pendemi corona yang menelan sekian ribu jiwa di Amerika.

Data penghitungan terbaru Reuters menyebut lebih dari 30.800 orang meninggal dunia akibat virus corona di wilayah AS hingga Rabu (15/4) sore waktu setempat (Detiknews, diakses 17 April 2020). Jumlah kematian yang kian meningkat dari waktu ke waktu membawa ketakutan tersendiri bagi Trump selaku presiden.

Sementara itu, negara-negara dunia tampak sangsi terhadap model kepemimpinan Trump dalam menangani laju pendemi corona. Strategi politik Trump dipertanyakan dan masyarakat akan meletakan mosi tidak percaya atas pemerintahannya. Situasi demikian serempak dibalik Trump dengan mengajukan tuduhan kepada pihak WHO. Bagi Trump, WHO turut mengambil bagian dalam penyebaran corona.

Tuduhan yang dilemparkan Trump berangkat dari beberapa fakta penting. Gordon G. Chang dalam artikelnya berujudul Trump Right to Stop Funding World Health Organization Over its Botched Coronavirus Response pada Rabu 15 April 2020 menyebutkan sedikitnya empat alasan mengenai kebijakan Trump dalam memberhentikan pendanaan (funding) terhadap WHO (Fox news, diakses 16 April 2020).

Pertama, Trump menyebutkan bahwa WHO telah menyebarkan narasi palsu dari Cina bahwa corona tidak menular dari orang ke orang.

Kedua, WHO dalam pernyataan publiknya mendukung upaya pemerintah China untuk mencegah larangan perjalanan dan karantina kepada para pelancong dari Tiongkok. Para pengembara inilah yang mengubah wabah di Cina Tengah menjadi pandemi global.

Ketiga, WHO secara terbuka mendukung keandalan statistik Beijing. Penghitungan jumlah kasus corona dan kematian di Tiongkok yang substansial membuat AS tidak mengambil tindakan pencegahan yang seharusnya diterapkan.

Keempat, WHO menunda keterlambatan menyatakan epidemi virus corona sebagai "darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional" hingga 30 Januari 2020.

Keempat alasan tersebut membangunkan pesimisme dalam pemerintahan Trump atas kerja WHO. Akibatnya, dana sebesar 400 juta dolar yang seharusnya digodokkan untuk kepentingan kesehatan dunia, ditarik kembali oleh Trump.

Tindakan Trump menuai kritik dari sejumlah pakar politik, teristimewa Partai Demokratik Amerika sebagai oposisi Trumph dalam pemilu Presiden lalu. Mereka menyatakan bahwa alasan Trump menghentikan pendanaan ke WHO sebagai suatu upaya ‘mengkambinghitamkan’ lembaga kesehatan dunia tersebut.

Andrew McCorthy, salah seorang pengamat politik Amerika membenarkan anggapan tersebut. Ia mengungkapkan “bahkan sekarang, banyak Demokrat sedang berhati-hati untuk tidak membela WHO; sebaliknya, mereka menyebut bahwa Trump adalah pengalih kesalahan dan berusaha untuk mengkambinghitamkan WHO atas kegagalannya sendiri (Fox news, diakses 15 April 2020).”

Trump terlihat sedang mengalihkan tuduhan masyarakat dan negara-negara dunia atas pemerintahannya yang lamban dalam menangani pendemi corona. Ia kemudian memberanikan diri angkat bicara dan berbalik menuduh WHO sebagai dalang di balik penyebaran corona. Tepat pada pusaran ini, kita melihat ketidakmampuan Trump dalam mengurusi persoalan corona yang sedang melanda Amerika. Sebagai politisi besar di Amerika, Trump akan mencari cara agar terhindar dari serangan masyarakat dan negara-negara dunia berkaitan dengan strateginya dalam mencegah pendemi corona. WHO adalah satu dari sekian organisasi yang telah terkena dampak tuduhan Trump.

Trump dan Mentalitas Parasit

Tanpa menafikan ‘kekeliruan’ yang dibuat oleh WHO, kita tentu bisa menilai Trump sebagai pemimpin yang lamban dalam membangun kebijakan politiknya di tengah pendemi corona. Tuduhan yang dilemparkan ke WHO sebagai organisasi yang telah berperan ‘menyebarkan corona’ adalah salah satu upaya untuk menghindar dari serangan masyarakat dan negara-negara dunia.

Kepicikan politik Trump membuka gambaran tentang mentalitas parasit dalam tubuh pemerintahannya. Analoginya cukup sederhana. Trumph sebagai pemimpin Amerika adalah parasit. Ia menempel di tubuh WHO sebagai inang yang dapat membantu pertumbuhan dan stabilitas hidup negaranya. Setelah terjadi kekacauan atas realitas sekitar, Trump kemudian mengajukan tuduhan kepada WHO sebagai pihak yang wajib bertanggung jawab atas persoalan yang sedang terjadi. Padahal, WHO sendiri telah memberikan sumbangsih agar negara yang dipimpin Trump dapat tetap hidup.

Mentalitas parasit adalah karakter politik yang berbahaya. Bertumbuhnya mentalitas parasit mengindikasikan lemahnya sikap tanggung jawab pemerintah atas persoalan yang sedang dialami negara. Di lain pihak, mentalitas parasit berkehendak membangun kembali kepercayaan publik atas karakter politik sebuah negara .Korelasi sikap antara keduanyaa berjalan simetris. Tujuannya adalah membangun kembali kepercayaan publik atas sistem politik yang dibangun. Mentalitas parasit mendistorsi aspek etis dan dialognya dengan pribadi atau organisasi tertentu. Dampak lanjutan adalah ambruknya karakter pemimpin negara dan sulitnya membangun komunikasi yang simetris dengan pribadi atau organisasi tertentu.

Selanjutnya untuk Indonesia

Sengkarut persoalan antara Trump dan WHO akan menjadi pelajaran penting jika dibawa ke konteks politik tanah air. Persoalan tersebut memberi beberapa pelajaran untuk membangun model kepemimpinan dan strategi politik di Indonesia. Setidaknya, terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam persoalan tersebut.

Pertama, strategi politik pemerintah. Presiden Joko Widodo dapat melihat persoalan antara Trump dan WHO sebagai pelajaran dalam membangun sebuah strategi yang tepat. Pelajaran yang terjadi selama pendemi corona seharusnya membuka pemahaman negara untuk berpikir secara serius dan matang dalam upaya menangani sebuah masalah, bukan sebaliknya mencari kesalahan dengan menghibakan persoalan ke organisasi atau lembaga tertentu sebagaimana yang dilakukan Trump terhadap WHO.

Kedua, aspek komunikatif. negara dapat bekerja sama secara intens dengan lembaga-lembaga terkait yang memiliki fungsi langsung terhadap penanganan sebuah persoalan. Relasi tersebut harus dibangun atas dasar kebutuhan bersama dan bukan keinginan untuk mencapai keuntungan tertentu. Relasi yang mutualis dan seimbang akan membantu penyelesaian persoalan yang tengah dihadapi sebuah negara.*

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya