Transparansi Dana Desa Dalam Penanganan Covid-19

Mahasiswa
Transparansi Dana Desa Dalam Penanganan Covid-19 23/05/2020 1835 view Lainnya pixabay.com

Dampak pandemi covid-19 amat mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama dalam roda perekonomian. Salah satu alternatif dari pemerintah pusat yakni mengeluarkan kebijakan peralihan fungsi dana desa untuk membantu masyarakat selama pandemi Virus Corona (Covid-19). Dana desa dijadikan menjadi dana bantuan sosial selama pandemi covid-19. Namun kebijakan ini mengandung pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masing-masing memiliki argumen, tentunya dengan sudut pandang masing-masing. Efek Covid-19 yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat bawah, terutama kehidupan ekonomi dan sosial, mengharuskan adanya kebijakan yang bersifat “luar biasa”.

Kondisi darurat yang terjadi membuat pemerintah menggali berbagai strategi untuk meringankan beban masyarakat, termasuk dengan memanfaatkan dana milik desa, terutama yang bersumber dari APBN berupa dana desa.  Pandemi Covid-19 kemudian menggeser pemrioritasan dana desa untuk kegiatan yang lebih “terasa manfaatnya” kepada masyarakat desa. Untuk itu dibutuhkan kebijakan keuangan negara yang menyeluruh melalui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan (Dialeksis.com 08/04/2020). 

Pemerintah telah mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) melalui program desa senilai Rp. 20,8 triliun. Menteri desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar dalam lamppost.co pada senin 18 mei 2020 mengatakan, “senilai Rp 20,8 triliun telah disalurkan ke rekening desa (RKD) di 51.156 desa. Dia berharap dana desa dapat dimanfaatkan untuk penanganan kesehatan warga desa selama pandemi covid-19. BLT dana desa ini merupakan wujud dari pemerintah untuk memberi jaring pengaman bagi warga miskin. Bantuan ini juga menjalankan roda perekonomian desa.

Kebijakan bantuan BLT ini, justru mengandung polemik di tengah masyarakat. Seperti yang terjadi di Desa Air Batu, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin. Warga masyarakat mengamuk dengan membakar posko Covid-19 di desa setempat, bahkan kantor desa juga sempat ikut menjadi sasaran. Peristiwa ini dipicu lantaran perangkat desa memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak tepat sasar. Ada warga yang seharusnya berhak menerima bantuan Covid-19 senilai Rp 600 ribu melalui dana desa, namun malah tidak mendapatkan (Gawainews.com, 20/05/2020).

Pada sabtu (16/05) yang lalu juga terjadi aksi protes di Desa Saling, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin. Karena banyak warga yang seharusnya layak mendapatkan bantuan, tetapi tidak terdata atau tidak mendapatkan bantuan. Justru yang mendapatkan bantuan adalah warga yang dianggap mampu. “diduga aparatur desa memanipulasi data dengan memakai nama warga yang tidak mampu, tetapi yang dapat mampu”, ujar warga setempat (Tribunjambi.com, 17/05/2020).

Sampai saat ini ada beberapa pejabat pemerintahan yang terjerat kasus koupsi bansos (dana desa), seperti Mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, mantan Sekda Kabupaten Tasikmalaya, Abdul Kodir divonis 1 tahun 4 bulan pidana, mantan kepala dinas pendapatan Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, divonis 3 tahun pejara, mantan Ketua DPRD Bengkalis, Riau, Heru Wahyudi, divonis 18 tahun pejara (Vivanews.com 10/04/2020).

Akhir-akhir ini, Polemik yang sama juga terjadi di pemerintahan desa, dalam catatan Indonesia Corruption wacth (ICW), ada 214 kepala desa yang terjerat kasus korupsi. Kasus ini cukup meningkat selama pandemi virus corona (Covid-19) (CNN Indonesia, 17/05/2020). Hemat saya, dengan melihat kasus-kasus korupsi dan penyelewengan dana desa di atas, pemerintah perlu adanya transparansi dan pengawasan yang ketat oleh pihak-pihak yang terkait. Dengan Pengawasan dan transparansi, meminimalisir kasus korupsi dana desa selama pandemi Covid-19.

Pentingnya Transparansi Dana Desa Dalam Penanganan Covid-19

Mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19, maka semua pihak wajib melakukan upaya penanggulangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, semua level pemerintahan harus melaksanakan kegiatan yang relevan dengan penanganan Covid-19 sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

Pada akhirnya, pengelolaan keuangan desa haruslah diawasi pelaksanaannya dan diperiksa pertanggungjawabannya. Di luar kegiatan yang berkenaan dengan penanganan Covid-19, pemerintah desa tetap berpedoman pada Permendes-DTT Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020. Oleh karena itu, meskipun dalam kondisi kondisi darurat, sejak awal proses penggunaan uang negara harus diselenggarakan secara transparan dan akuntabel. Pemerintah kabupaten/kota, melalui organisasi perangkat daerah bernama Inspektorat Daerah harus ikut mengawasi pengelolaan dana desa ini (Dialeksis.com 08/04/2020).

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Hanifah Febriani, mengungkapkan pemberian dana bansos terutama dana desa di situasi bencana rentan membuka celah korupsi. "Di situasi bencana, pengawasan dan keterbukaan itu jadi lemah dan kurang karena yang diutamakan kecepatan dan keterjangkauan yang luas. Yang utama itu masalah selesai, dan audit itu terakhir," kata Hanifah. secara umum modus korupsi yang muncul dalam penyaluran dana desa, yaitu mengurangi jatah penerima atau bahkan ada yang tidak menerima dana bantuan sama sekali. Pelaku membuat daftar penerima bantuan fiktif. Jadi sebenarnya penerima bantuan itu tidak ada tapi dana tetap dikeluarkan (Vivanews.com 10/04/2020).

Hemat saya ada dua hal yang harus perlu dilakukan pemerintah dalam menyalurkan dana bansos terutama dana desa di saat wabah virus corona (covid-19). Pertama adalah pemerintah menyiapkan basis data yang terverifikasi dan membentuk sistem anti korupsi yang melibatkan masyarakat dalam melakukan pengawasan. Dibentuk sistem sehingga masyarakat itu terlibat dan mengetahui dananya mengalir kemana, dan bisa melaporkan jika ditemukan kecurangan.

Kedua, pemerintah harus melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan pengawasan, sesuai dengan semangat KPK saat ini yang fokus pada pencegahan. KPK melalui divisi pencegahan terlibat mengawal pelaksanaan dana bansos ini, menutup celah-celah potensi kecurangan dalam sistem antikorupsi yang terbuka.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya