Tentang Seks dan Pendidikannya
Seperti makan, seks adalah kebutuhan manusia. Seperti juga makan, aktivitas seksual bisa dilakukan tanpa latihan dan pendidikan. Tanpa harus diajari, secara naluriah manusia tahu bagaimana caranya berhubungan seks. Tapi, namanya juga manusia, dibekali akal dan nurani. Karenanya, cara manusia berhubungan dan memaknai seks lain dengan hewan.
Bagi hewan, aktivitas seksual dilakukan semata-mata demi melestarikan spesies. Bagi manusia, seks punya banyak makna dan fungsi selain daripada memperbanyak keturunan. Tiap kebudayaan berbeda-beda dalam memaknai seks. Banyak di antaranya yang memaknai bahkan menjadikannya sebagai ritual sakral yang diyakini berkaitan erat dengan kekuatan adikodrati. Oleh karenanya, hubungan seks tidak bisa dilakukan sembarangan. Perlu syarat dan persiapan yang matang.
Kecuali itu, seks juga dimaknai dan dijadikan sebagai komoditas ekonomi; pelanggeng kekuasaan; simbol keperkasaan dan kesucian; martabat; keindahan; parameter etika, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, seks dan hubungan seksual bukan suatu yang buruk sebab ia adalah kebutuhan manusia yang mendasar.
Namun, justru karena seks adalah kebutuhan dasar, sebagian manusia seringkali mengeksploitasi dan memanfaatkannya secara tidak bertanggungjawab seraya merugikan manusia lain. Pelecehan dan kejahatan seksual, perdagangan manusia untuk tujuan prostitusi, budak seks, dan hal-hal semacam itu adalah ancaman nyata di tengah masyarakat. Karena demikian kompleks, seseorang perlu mendapat pendidikan seks yang relevan dan cukup agar tidak kesasar dan salah langkah yang ujung-ujungnya berakibat buruk bagi dirinya sendiri.
Pendidikan seks harus diberikan secara bertahap sejak usia balita sampai tak hingga. Artinya, orang yang tua secara biologis boleh jadi masih memerlukan pendidikan seks. Ia bisa saja matang secara usia, namun pemahaman seksual tidak selamanya berbanding lurus dengan usia.
Hal pertama yang perlu dipahamkan kepada anak-anak balita adalah soal dua jenis kelamin alamiah: laki-laki dan perempuan. Anak-anak perlu tahu bedanya anatomi laki-laki dan perempuan. Pahamkan pula area-area vital seperti alat kelamin, bokong, dan bibir yang tidak boleh disentuh oleh orang lain kecuali untuk alasan tertentu, semisal demi kepentingan medis.
Ketika usianya makin bertambah, ajari anak untuk tidak memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain. Sering kali orang tua beralasan: tak apa telanjang, kan masih anak-anak. Namun, sekian berita kejahatan seksual kepada anak yang marak terjadi harusnya menyadarkan orang tua bahwa zaman sudah berubah. Alasan “kan masih anak-anak” sudah tidak lagi relevan. Moralitas tidaklah abadi. Apa yang dulu dianggap aman dan biasa saja, seperti anak-anak telanjang bulat mandi di kali, kini bisa jadi malapetaka.
Di zaman ini, hasrat seksual sukar ditakar dengan usia. Usia remaja diyakini sebagai masa ketika hasrat seksual mulai membuncah. Namun—lagi-lagi—sekian berita perbuatan cabul yang dilakukan oleh “bocah ingusan” akibat menonton film porno dapat menggugurkan anggapan bahwa anak-anak masih steril dari hasrat seks. Meski ada teori perkembangan anak yang umum diyakini, namun tidak bisa pukul rata. Oleh karenanya, waspada dan selalu berjaga adalah jalan terbaik melindung anak-anak dari kejahatan seks.
Ketika anak mulai menunjukan kecenderungan untuk mengeksploitasi tubuhnya sendiri demi memenuhi dorongan purbawi seks, orang tua perlu bijak memberi pemahaman. Melarang dengan keras dan kasar bukan solusi. Anak bisa saja curi-curi. Beri pemahaman yang mudah dimengerti mengenai tubuh dan rangsangan seksual yang sesuai dengan usia mental dan biologisnya. Jika orang tua salah menyikapi, anak bisa saja mengalami trauma dan malah berakibat buruk bagi perkembangan mentalnya di masa yang akan datang.
Di masa remaja, ketika ciri-ciri kelamin sekunder mulai tumbuh dan berkembang, ketika ketertarikan seksual pada orang lain mulai muncul, perlahan tapi pasti, beri anak pemahaman mengenai kesehatan reproduksi. Pada masa ini, beri pula anak pemahaman makna seks sesuai dengan apa yang diyakini orang tua.
Masa remaja adalah masa “separo-separo”. Separuh dari diri mereka “masih di rumah”, sementara sisanya “telah di luar rumah”. Mereka belum mampu sepenuhnya mandiri namun enggan pula bila diperlakukan seperti kanak-kanak. Mereka kadang kala telah merasa “memiliki tubuhnya” sehingga merasa berhak melakukan apa pun dengannya. Namun, di sisi lain, pikirannya belum matang untuk menimbang tiap resiko atas perbuatan terhadap tubuhnya. Dalam hal ini, “tubuh” juga berarti seksualitas.
Remaja juga adalah kondisi ketika rasa ingin tahu demikian besar dan dengan “separuh kedewasaannya” ia telah mampu mengakses sebagian besar hal-hal yang ingin ia ketahui. Termasuk soal seks.
Di zaman serba internet seperti sekarang ini, konten-konten seksual tidak terlampau sulit didapat. Termasuk film atau video porno. Salah-salah menyikapi, konten pornografi justru menjadi candu yang beracun ketimbang media pendidikan seks yang efektif buat remaja.
Remaja, atau siapa pun, memang perlu tahu bahwa ada sesuatu di dunia ini yang bernama film atau video porno. Dan mereka juga perlu diberi pemahaman bahwa yang demikian itu sebagian besarnya adalah industri. Ya, itu adalah pengejawantahan “seks sebagai komoditas ekonomi”.
Sebagaimana komoditas ekonomi pada umumnya, konten pornografi diproduksi untuk dijual. Ada produsen dan konsumen. Dan di antara keduanya, ada tim pemasaran dengan segudang ilmu, teknik, dan trik pemasaran yang jitu demi menggaet konsumen sebanyak-banyaknya.
Sudah jadi rahasia umum, bisnis kadang kala tidak mengindahkan moralitas. Laba adalah yang utama. Meski pemerintah menjaga gawang dunia maya sedemikian ketat dengan memblokir situs-situs porno dan para aktivis menyerukan berbagai kampanye anti-pornografi, namun tim pemasaran mereka tak kehabisan akal. Selalu ada celah. Yang perlu diwaspadai oleh para orang tua atau siapa saja yang peduli adalah jangan sampai konten porno itu mendapat konsumen yang tidak sesuai.
Salah satunya caranya adalah dengan memberi pemahaman yang kokoh akan bahaya kecanduan konten pornografi berpotensi besar merusak otak dan moral. Bahwa video porno bisa dijadikan bahan referensi hubungan seks ketika kelak memilik pasangan yang sah, itu soal lain. “Konsumennya” jelas, pasangan yang sah. Bukan remaja, apalagi bocah berseragam merah putih.
Yang tak kalah penting adalah membongkar paradigma lama bahwa seks adalah soal yang tabu diperbincangkan. Seks bukan lagi soal “urusan kamar” belaka. Zaman telah berubah. Yang asalnya urusan privat, kini bisa jadi perkara publik. Kejahatan dan pelecehan seksual tidak hanya terjadi di kamar remang dan tertutup. Ruang publik yang penuh sesak pun kini sama rentannya dengan “rumah kosong” atau “semak belukar”.
Seks dan segala hal yang berkaitannya dengannya jangan lagi dipandang sebagai hal yang tidak patut diperbincangkan orang tua kepada anak. Sebaliknya, anak harus mendapat pemahaman yang jernih tentangnya. Ketika anak tidak mendapat informasi yang relevan dan cukup, tidak menutup kemungkinan ia akan mencari informasi dari sumber lain yang boleh jadi justru menjerumuskan alih-alih mendidik.
Siapa yang berhak memberi dan mendapat pendidikan seks? Yang mendapatkannya tentu saja orang yang belum terdidik prihal seks. Batas bawahnya anak-anak balita. Batas atasnya, siapa saja yang merasa memerlukan.
Siapa yang memberinya? Jika subjek “peserta didiknya” adalah anak-anak, maka orang tuanya adalah yang paling ideal. Namun, secara umum, pendidikan seks bisa diberikan oleh guru, pemuka agama, kakak, kawan, kerabat, pakar, atau siapa saja yang merasa “telah terdidik”. Bila tidak yakin mampu dan menguasai, jangan sekali-kali coba-coba. Salah mendidik bisa jadi menyesatkan. Serahkan sesuatu kepada ahlinya.
Artikel Lainnya
-
166406/04/2020
-
193619/04/2020
-
101214/08/2022
-
Menakar Kuasa Media Oligarki Dalam Politik 2024
35012/10/2023 -
Politik Dinasti dan Kerentanan Korupsi
123902/09/2021 -
'Self Control' Untuk Merepres Agresivitas Kelompok Geng
96930/06/2020