Tataplah Wajah Malang Ini!
Wabah Covid-19 masih menjadi perhatian kita semua. Melalui wabah ini, sikap kemanusiaan masing-masing kita mestinya dipertegas dan diperlihatkan bagi semua pasien yang terpapar wabah tersebut. Hingga saat ini, jumlah masyarakat yang terpapar Covid-19 kian bertambah. Tak hanya masyarakat umum, tenaga medis yang menjadi garda terdepan penanganan penyakit ini pun tak luput dari ancaman paparan virus ini.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat, setidaknya sudah ada 13 dokter yang meninggal dunia selama penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Menurut Ketua Umum PB IDI, Daeng M Faqih, ada dua hal yang mengakibatkan seorang dokter atau tenaga medis dapat terinfeksi virus corona.
Pertama, tenaga medis tersebut tertular pasien yang tidak mengetahui bahwa pasien yang ditangani positif Covid-19. Alhasil, lanjut Daeng, dokter yang menangani pasien itu menjadi kurang waspada.
Untuk itu, Daeng berharap agar pemerintah dapat lebih terbuka terkait data pasien. Meskipun ada aturan yang mewajibkan data pasien dirahasiakan, tetapi setidaknya informasi itu dapat diberitahukan secara terbatas kepada petugas di rumah sakit yang sedang menangani pasien untuk meningkatkan kewaspadaan.
Kedua, karena minimnya jumlah alat pelindung diri yang memenuhi standar dan memadai untuk digunakan tenaga medis selama menangani pasien (Kompas.com, 02/04).
Berdasarkan penjelasan Ketua Umum PB IDI di atas, selain minimnya alat pelindung diri yang memenuhi standar kemedisan, kita bisa melihat bahwa salah satu akibat kematian dokter atau tenaga medis lainnya ialah kurangnya kewaspadaan dalam menangani pasien corona. Jadi, pada konteks kematian beberapa dokter tersebut ada dua hal yang masih kurang, yakni alat-alat yang sesuai standar kemedisan dan kewaspadaan para tenaga medis itu sendiri.
Akan tetapi, kalau kita lihat lebih jauh bahwa kurangnya kewaspadaan tersebut sesungguhnya bukanlah murni kesalahan tim medis. Sebagaimana Kompas.com (02/04), melansir pernyataan Ketua Umum PB IDI bahwa ada ketertutupan pemerintah atas data pasien yang berstatus positif corona. Dengan kata lain, pemerintah merahasiakan status pasien corona itu kepada tim medis. Sebagai akibatnya, tim medis pun tidak mengenal status pasien entahkah ia belum positif ataukah ia sudah berstatus positif corona.
Hemat saya, sikap beberapa dokter di atas patut diapresiasi. Sikap semacam ini mengindikasikan angin segar kemanusiaan yang masih terhembus di tengah masalah wabah corona. Para dokter tersebut setidaknya merepresentasi spirit heroik di tengah krisis kemanusiaan karena wabah. Mereka berani mengambil sikap untuk melabrak keberdiamannya, lalu berlangkah maju demi nama besar sebuah pengorbanan. Pada titik ini, mereka rela berkorban yang berarti juga mereka tidak sekadar diam. Ada aktus pergerakan menuju sebuah karya keselamatan nyawa manusia di sana. Sikap-sikap semacam inilah yang mendesak dibuat di tengah wabah corona saat ini.
Kendati demikian, kita masih saja menemukan keterbatasan kita sebagai manusia biasa. Kemanusiawian tersebut nampak dalam ketakutan untuk melayani sesama yang terpapar virus corona atau pun ketika menguburkan jenazah pasien tersebut. Ada beberapa orang yang masih dilanda ketakutan untuk memakamkan jenazah pasien corona.
Berkaitan dengan hal ini, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyebutkan, salah satu permasalahan yang mengemuka di wilayahnya ialah soal penolakan pemakaman jenazah yang meninggal akibat Covid-19. Oleh karena itu, ia telah membuat instruksi gubernur (Ingub) yang isinya mengamanatkan agar bupati dan walikota bertindak taktis apabila ada penolakan penguburan. Selain itu, ia juga meminta para ulama di Jawa Barat seperti Aa Gym, Ustadz Aam Amirrudin, hingga Syamsi Ali untuk mengadakan kampanye menghormati jenazah dan tidak boleh menolaknya (Kompas.com, 03/04).
Hemat saya, yang menarik dari dua buah pengalaman di atas ialah lahirnya dua buah spirit yang berbeda. Pertama, dalam konteks kematian ketigabelas dokter, kita bisa melihat adanya sikap heroik yang tampak artifisial di tengah masalah wabah. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, meskipun mereka disebut kurang waspada, namun mereka berani melampaui ketakutan serta memprioritaskan keselamatan nyawa pasien corona.
Kedua, dalam konteks penolakan pemakaman jenazah, kita dapat membaca tentang masih munculnya rasa takut yang melanda beberapa orang di Jawa Barat. Orang-orang yang takut tersebut boleh jadi merepresentasi beberapa di antara kita yang saat ini masih takut dengan pasien Covid-19, baik yang masih dalam perawatan maupun yang sudah meninggal dunia.
Hari-hari ini kita semestinya berkaca pada sikap pengorbanan yang telah dibuat oleh ketigabelas dokter di atas. Mereka berkorban bahkan harus dengan rela mempertaruhkan masing-masing nyawanya. Sikap semacam ini setidaknya mengindikasikan bahwa kita tengah berada pada titik heroik, menyelamatkan nyawa banyak orang. Tentu saja, pada titik ini juga kita sudah berada dalam lingkup kepastian, kepercayaan diri, dan spirit kemanusiaan yang niscaya dalam melampaui ketakutan.
Berkaitan dengan cara melampaui rasa takut dalam diri kita, filsafat etika wajah Emanuel Levinas sekiranya bisa menjadi pembelajaran. Menyitir Levinas, wajah sebagai yang metafisis menghadirkan aspek transendensi di dalam dirinya. Wajah adalah bagian dari ketidakberhinggaan itu. Wajah dan ketidakberhinggaan (infinity) dibicarakan sebagai satu kesatuan karena keduanya saling mengandaikan. Wajah memanifestasikan suatu ketidakberhinggaan, dan ketidakberhinggaan memanifestasikan dirinya dalam wajah.
Manifestasi seperti ini disebut epifani. Epifani wajah mewahyukan ketidakberhinggaan sebagai sesuatu yang hidup. Di dalam epifani wajah, ada kehadiran yang hidup. Dia yang tidak berhingga memanifestasikan dirinya dalam wajah, dan wajah menyingkapkan yang tidak berhingga itu dalam suatu kehadiran yang nyata (Felix Baghi, 2012: 32).
Akhirnya, hari-hari ini, konteks wajah dalam filsafat etika wajah Levinas ialah semua pasien yang menderita karena wabah Cobid-19. Sebagaimana Levinas, dalam wajah penderitaan pasien tersebut hadirlah sesuatu yang hidup. Dalam wajah pasien itu, ada kehidupan atau nyawa yang mesti menjadi perhatian kita semua. Kita dipanggil untuk mempertahankan nyawa atau kehidupan pasien tersebut. Hal ini dimaksudkan agar kita bisa menemukan ketidakberhinggaannya nyawa mereka semua.
Sebagaimana Levinas, jalan untuk menemukan ketidakberhinggaan nyawa pasien corona ialah jalan untuk melampaui ketakutan. Karena itu, dalam melampaui ketakutan itu, etika epifani wajah mesti diperlihatkan. Kita diajak untuk menatap wajah-wajah yang menderita karena wabah corona. Tatapan kita mesti lahir atas kesadaran otentik bahwa dalam diri pasien corona ada wajah-wajah penderitaan, ada luka, ada rasa sakit, ada kecemasan, ada pesimisme hidup yang berkepanjangan, dan mungkin saja ada potensi untuk mengakhiri hidup secepatnya.
Pada aras ini, mereka membutuhkan tatapan kita. Tatapan kita pun mesti termanifestasi dalam rupa-rupa pelayanan tanpa henti, pengorbanan yang ikhlas, dan sikap heroik yang paling mendasar. Akhirnya, hal semacam ini kita buat agar kita bisa memenuhi rintihan mereka: "Tataplah wajah malang ini!".
Artikel Lainnya
-
127701/10/2020
-
7331/01/2024
-
133130/06/2020
-
The Little Mermaid: Kontroversi Dibalik Keberagaman Disney
45720/06/2023 -
Dunia Masa Depan adalah Dunia Kolaborasi
82131/12/2021 -
Indonesia Dilema Antara Bangku Kosong Najwa Atau Pemerintah?
105317/10/2020