Tan Malaka: Jembatan Menuju Revolusi

Aku Siapa? Kenapa Siapa? Bagaimana Siapa?
Tan Malaka: Jembatan Menuju Revolusi 28/10/2023 367 view Pendidikan wikimedia.org

Ketika kata revolusi terucap maka citra-citra yang melibatkan kekerasan, kudeta, dan berbagai tindakan ekstrem sering kali meresap dalam pikiran. Namun, perlu ditegaskan bahwa kekerasan sebenarnya bukanlah inti dari sebuah gerakan revolusi. Kendati banyak momen revolusi dalam sejarah manusia yang terjalin dalam benang kekerasan, tidak dapat diabaikan bahwa ada juga gerakan revolusi yang menjunjung perdamaian. Sebagai contoh, dapat dipandang kepada People Power di Filipina pada tahun 1986 yang berhasil menggulingkan rezim diktator Ferdinand Marcos, atau Revolusi Mawar di Georgia yang menuntun kepada pengunduran diri Presiden Eduard Shevardnadze.

Terlepas dari pandangan yang umum, revolusi ternyata mampu diwujudkan dengan cara damai dan menghasilkan perubahan yang positif. Itulah pesan yang datang dari tokoh perjuangan Tan Malaka. Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka adalah salah satu figur yang tidak dapat diabaikan. Ia merupakan salah satu pejuang yang mengadopsi revolusi sebagai senjata dalam perjuangannya. Namun, bagi Tan Malaka, revolusi bukan hanya soal penghapusan ketidakadilan sosial, melainkan juga pembentukan tatanan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Menurut pandangan Tan Malaka, revolusi terlahir melalui tindakan massa yang dipimpin oleh kelas revolusioner yang memiliki pemahaman mendalam akan tujuan akhir perjuangan mereka. Melalui perubahan struktural, revolusi tidak hanya mengeliminasi ketidakadilan, tetapi juga menciptakan tatanan sosial yang lebih bermakna.

Sosok Tan Malaka, seorang pemikir revolusioner yang karya-karyanya masih relevan hingga kini, telah merumuskan konsep kemerdekaan Indonesia jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Pada tahun 1924, dalam bukunya "Naar De Republiek Indonesia", dia menggambarkan bahwa revolusi lahir secara alami dan tidak bisa dibuat oleh para tokoh politik semata.

Pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan Karl Marx mengenai perubahan sosial melalui revolusi. Bagi Tan Malaka, pergerakan kemerdekaan adalah bagian dari revolusi, yang mengusung tujuan menghilangkan hukum kejahatan sosial, menghentikan penindasan, dan menciptakan perubahan serta perbaikan dalam masyarakat.

Pandangan revolusioner Tan Malaka tidak hanya mengandung elemen perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga menekankan pentingnya menghindari kebodohan dan penindasan.

Dalam pandangannya, masa revolusi akan mencapai puncak moralitas dan perkembangan intelektual yang mendukung pembentukan masyarakat baru yang lebih baik. Yang membedakan pandangan Tan Malaka adalah bahwa revolusi tidak akan menghasilkan diktator proletar atau bentuk kediktatoran baru. Sebaliknya, hasil revolusi akan membawa tatanan masyarakat yang lebih beradab dan negara yang menghormati hak asasi manusia serta partisipasi politik warga negara.

Dalam perjalanan waktu, Tan Malaka menggantikan istilah "Proletar" dengan "Murba". Pandangan ini mengakomodasi perubahan dinamika politik dan sosial yang berkembang. Partai Murba, yang ia rintis, memiliki peran dalam politik nasional, meskipun tidak setara dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)

Dalam pandangan yang begitu kuat ini, Tan Malaka juga menilai diplomasi sebagai instrumen yang perlu diselaraskan dengan aksi nyata dalam merebut kemerdekaan. Baginya, pengakuan formal dari negara-negara lain adalah hal yang sekunder dan yang lebih esensial adalah menunjukkan eksistensi sebenarnya sebagai bangsa merdeka. Di sinilah nilai dari perjuangan nyata melebihi pengakuan formal.

Berkat pemikirannya yang mendalam, Tan Malaka menghasilkan karya-karya monumental seperti "Menuju Republik" dan "Aksi Massa". Dalam karya-karya ini, ia mengurai taktik aksi massa yang melibatkan perencanaan matang, kehadiran pemimpin yang memiliki karakter kuat, serta dukungan massa yang memiliki kesadaran akan tujuan akhir perjuangan. Pandangan ini tak hanya relevan dalam konteks perjuangan sosial dan politik masa kini, tetapi juga memberikan kerangka yang mendalam untuk memahami dinamika revolusi.

Beralih ke konteks Indonesia, peran Tan Malaka dalam perjuangan kemerdekaan adalah cerminan dari pandangannya yang gigih terhadap revolusi sebagai sarana perubahan. Tan Malaka bukan sekadar seorang revolusioner; ia adalah pemikir, pengarang, dan pejuang yang menunjukkan bahwa revolusi adalah instrumen transformasi yang memerlukan pemahaman yang mendalam.

Peran Tan Malaka dalam revolusi Indonesia terlihat jelas dalam peranannya sebagai pemimpin dan ideolog dalam gerakan-gerakan perlawanan. Ia menekankan pentingnya kepemimpinan yang cerdas, revolusioner, dan berintegritas dalam menggerakkan massa. Ia juga mengkritik aksi-aksi "Putch" atau perebutan kekuasaan secara radikal yang tidak terstruktur dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Baginya, revolusi yang efektif harus memiliki pemimpin yang memiliki karakteristik seperti cerdas, sabar, waspada, dan mampu mengarahkan aspirasi massa menjadi tindakan yang koheren.

Melihat hasil dari perjuangan revolusioner, Tan Malaka mencatat bahwa kemerdekaan yang dicapai oleh banyak negara seringkali hanya kemerdekaan semu. Imperialisme baru mengambil bentuk yang lebih halus, mencoba untuk mengendalikan masyarakat melalui cara yang lebih tidak kasar. Tan Malaka meramalkan bahwa praktik-praktik penindasan dan perbudakan dapat terus berlangsung bahkan dalam konteks kemerdekaan, kecuali jika rakyat memiliki kesadaran yang kuat dan bersedia untuk melawan.

Salah satu karya penting Tan Malaka yang mencerminkan pandangannya terhadap perjuangan adalah brosur "Muslihat." Dalam brosur ini, ia memberikan panduan kepada rakyat Indonesia mengenai taktik bergerilya melawan pasukan Inggris-NICA. Ia menjelaskan strategi seperti pembagian tugas, penyergapan mendadak, pengepungan, dan cara bersembunyi.

Namun, yang lebih menarik adalah kritiknya terhadap diplomasi yang bertekuk lutut. Baginya, Indonesia tidak perlu "Mengemis" pengakuan kedaulatan kepada negara asing. Sebaliknya, ia menegaskan pentingnya menunjukkan eksistensi bangsa yang merdeka secara tegas. Tan Malaka menyoroti dampak negatif diplomasi terhadap perjuangan rakyat. Ia menggambarkan diplomasi sebagai alat yang merusak, yang mengorbankan hak rakyat demi pengakuan internasional yang sebenarnya bisa diwujudkan melalui perjuangan yang gigih. Pandangan ini tergambar dengan jelas dalam tulisannya yang panjang lebar, "Gerpolek."

Pandangan Tan Malaka tentang sistem negara satu partai juga merupakan hal yang menarik untuk dijelajahi. Meskipun ia belum melihat dampak negatif dari sistem monopoli kekuasaan di Uni Soviet, ia tetap berhati-hati terhadap potensi ekses destruktifnya. Ia percaya bahwa negara satu partai dapat memastikan stabilitas dan keputusan nasional yang tidak terganggu, namun, pada saat yang sama, ia menegaskan bahwa penting untuk memastikan keterbukaan, hak berpendapat, dan menjadikan undang-undang sebagai kekuasaan tertinggi dalam menjalankan politik negara. Pandangan ini tercermin dalam gagasannya tentang pemerintahan negara Indonesia yang menggabungkan aspek demokrasi dan kerakyatan, tanpa mengorbankan partisipasi rakyat dalam proses pembuatan keputusan.

Tinjauan kritis Tan Malaka terhadap berbagai aspek revolusi, perang, dan taktik perjuangan memberikan perspektif yang kaya dalam melihat proses perubahan sosial dan politik. Pandangannya tentang kepentingan massa, kepemimpinan yang berkarakter, diplomasi, serta strategi perang dan perjuangan bersenjata, mengajarkan kita bahwa revolusi bukan sekadar tindakan kekerasan atau peralihan kekuasaan, tetapi juga perjuangan untuk mencapai keadilan, martabat, dan kemerdekaan sejati.

Sistem negara satu partai bukanlah sarana untuk mendirikan sebuah kediktatoran baru, tetapi merupakan upaya untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan negara yang baru merdeka. Ia mengusulkan bahwa semua rakyat dapat berpartisipasi dalam musyawarah rakyat banyak (Murba) melalui lembaga Soviet, yang merupakan bentuk dari partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan nasional.

Pemikiran Tan Malaka menjadi lebih menginspirasi ketika mempertimbangkan bahwa banyak pandangannya yang masih sangat relevan di era kontemporer. Di tengah perjuangan-perjuangan sosial dan politik yang masih berlangsung, ide-idenya tetap memberikan panduan tentang bagaimana mengelola aksi massa, membangun pemimpin dengan integritas, dan menjadikan nilai-nilai perubahan positif sebagai pusat gerakan.

Dalam rangkaian pemikiran ini, perlu dicontohkan bagaimana Tan Malaka juga memberikan perhatian khusus pada transformasi masyarakat pasca-revolusi. Bagi Tan Malaka, revolusi bukanlah sekadar alat untuk menggulingkan penguasa, tetapi juga alat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata. Oleh karena itu, revolusi sejati harus membawa perubahan struktural dalam pola pikir dan perilaku masyarakat.

Ketika kita memandang pandangan Tan Malaka terhadap revolusi dalam konteks kontemporer, terdapat pelajaran penting yang dapat diambil. Terlepas dari pergeseran teknologi dan dinamika sosial yang terus berkembang, hakikat perubahan dan aspirasi manusia tetap utuh. Dan dalam pandangan Tan Malaka, revolusi adalah cerminan dari aspirasi ini, mewakili harapan akan perubahan yang lebih baik. Tugas kita adalah memahami dengan mendalam konsep revolusi ini, mengaplikasikannya sesuai dengan konteks dan tuntutan zaman, serta menjadikan gerakan perubahan sebagai fondasi menuju masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan berkeadilan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya