Stunting, Tantangan Menghadapi Bonus Demografi

Statistisi di Badan Pusat Statistik
Stunting, Tantangan Menghadapi Bonus Demografi 20/01/2021 1189 view Lainnya kabar-24 bisnis.com

Tahun 2030-2040 Indonesia akan dihadapkan pada bonus demografi, suatu kondisi langka yang hanya terjadi satu kali sepanjang sejarah Indonesia, dimana penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) akan mencapai sekitar 70 persen dari jumlah penduduk. Diharapkan kondisi ini akan memberi angin segar bagi perekonomian Indonesia, karena pada masa itu stok tenaga kerja melimpah. Jika mereka semua berhasil dimanfaatkan maka akan memperkuat perekonomian negara.

Berbagai analisis disajikan para pakar menghadapi bonus demografi ini. Harapannya Indonesia akan seperti China, Korea, dan Jepang yang berhasil memanfaatkan bonus demografi, memanfaatkan melimpahnya stok tenaga kerja untuk menghasilkan industri rumahan yang memperkuat ekonomi negara.

Namun dibalik cerita kesuksesan itu, ada beberapa negara yang justru gagal memanfaatkan bonus demografi, seperti Brasil dan Afrika Selatan.

Berkaca dari kesuksesan dan kegagalan negara-negara di atas dalam memanfatkan bonus demografi. Indonesia hendaknya perlu mempersiapkan dari sekarang. Karena cerita 10-20 tahun lagi itu bisa dilihat dari beberapa tahun ke belakang. Sejak para calon tenaga kerja di tahun 2030-2045 itu masih berupa tunas-tunas muda.

Sayangnya, saat ini Indonesia masih dihantui tingginya kasus stunting, yakni kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berumur 2 tahun. Seorang dikategorikan stunting jika tingginya lebih pendek daripada 2 standar deviasi dibawah median Standar Pertumbuahan Anak yang telah ditetapkan WHO. Stunting tidak hanya mempengaruhi tinggi anak, tapi juga kemampuan koginitifnya. Berita buruknya, stunting bersifat irreversible, yang artinya jika seorang anak sudah terkena stunting, maka pertumbuhan dan kemampuan kognitifnya setelah usia 2 tahun tidak akan lagi optimal. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupannya bahkan hingga ia dewasa nanti, seperti kemampuan kognitif yang buruk ketika sekolah dan produktifitas yang lebih rendah ketika bekerja.

Berdasarkan data yang dirilis World Health Organization (WHO), pada tahun 2019 kasus stunting di Indonesia mencapai 27,67 persen, lebih tinggi daripada toleransi maksimal yang ditetapkan WHO yakni 20 persen. Menempatkan Indonesia pada posisi ke-empat di dunia sebagai negara dengan kasus stunting terbanyak.

Tingginya kasus stunting bisa menyebabkan Indonesia gagal memanfaatkan bonus demografi, karena para tunas muda yang saat ini sedang tumbuh adalah para calon angkatan kerja di tahun 2030-2040 nanti. Jika mereka mengalami kekurangan gizi kronis dan kemampuan kognitif yang rendah, maka mereka akan kalah bersaing ketika berada di usia kerja, tidak termanfaatkan, dan malah menambah jumlah beban tanggungan, sebab mereka yang seharusnya masuk sebagai penduduk produktif, malah masuk sebagai penduduk nonproduktif bersama manula dan anak-anak.

Usaha yang Dapat Dilakukan

Untuk menekan tingginya kasus stunting yang terjadi di Indonesia, hendaknya perlu diperhatikan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan stunting. Menurut WHO, faktor-faktor yang mempengaruhi stunting adalah gizi dan kesehatan ibu sejak sebelum hamil, praktik pemberian ASI dan makanan yang buruk kepada anak, dan infeksi yang terjadi pada anak.

Jika melihat faktor-faktor tersebut, yang paling berperan dalam hal ini adalah ibu. Ibu berperan sejak sebelum kehamilan. Menurut Black, et.al (2013) dalam penelitiannya yang berjudul "Maternal and Child Undernutrition and Overweight in Low-Income and Middle-Income Countries" kekurangan gizi ibu sejak sebelum hamil hingga saat hamil dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan janin yang berkontribusi terhadap 20 persen kasus stunting. Setelah melahirkan pun, peran ibu masih berada di posisi terdepan, sebab dengan pengetahuan yang ia miliki ia dapat memberikan ASI dan Makanan Pendamping ASI (MPASI) dengan tepat. Sehingga hal awal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki keadaan gizi, kesehatan, dan pengetahuan ibu sejak sebelum ia memiliki anak.

Jika dilihat keadaan gizinya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020 sebanyak 9,96 persen wanita hidup di bawah garis kemiskinan, yang menyebabkan mereka kesulitan untuk memenuhi gizinya. Kondisi kesehatan para wanita juga tidak cukup baik. Pada tahun 2020 sebanyak 32,65 persen wanita mengalami keluhan kesehatan.

Sementara itu, pendidikan para wanita juga tidak cukup baik. Padahal berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendidikan para ibu berpengaruh besar terhadap keadaan nutrisi anak-anaknya. Sayangnya, di Indonesia wanita masih memiliki pendidikan yang rendah. Menurut BPS, pada tahun 2020 sebanyak 17,20 persen perempuan berusia 15 tahun ke atas tidak tamat SD, 24,95 persen tamat SD, 21,65 persen tamat SMP/sederajat, 26,32 persen tamat SMA/sederajat, dan sisanya hanya 9,89 persen yang tamat diploma atau sarjana. Banyaknya perempuan yang hanya tamat SD, tamat SMP, dan bahkan tidak tamat SD dapat menjadi faktor rendahnya pengetahuan akan stunting yang menyebabkan tingginya angka stunting di Indonesia.

Disinilah peran pemerintah untuk memutus rantai stunting yang disebabkan kurangnya gizi, kesehatan, dan pengetahuan para wanita tentang stunting melalui edukasi dan subsidi kepada yang kurang mampu. Edukasi harus diberikan pemerintah melalui fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, posyandu, bidan, dokter, dan rumah sakit serta media massa. Sejak para wanita akan menikah dan melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan untuk melakukan vaksin TT pra nikah, mereka harus segara diberi edukasi jika ingin hamil maka sebaiknya segera mengkonsumsi makanan bergizi yang kaya asam folat, vitamin, dan mineral.

Setelah mereka hamil, kondisi gizi mereka tetap harus dipantau perkembangannya melalui fasilitas kesehatan yang tersedia. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus menjamin bahwa ibu yang berasal dari keluarga kurang mampu akan mendapatkan subsidi. Berita baiknya, tahun 2021 ini Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan diberikan Pemerintah kepada ibu hamil dan balita dengan beberapa aturan. Aturan yang wajib dipenuhi yakni, ibu wajib melakukan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan selama 4 kali. Kemudian pada masa pemeriksaan ibu akan mendapatkan suplemen vitamin untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi kandungan. Apabila ibu melahirkan wajib memperoleh pertolongan di fasilitas kesehatan.

Setelah melahirkan, peran pemerintah juga tidak kalah penting untuk memberikan edukasi dan subsidi kepada para ibu dan balita. Pemerintah harus memerangi beberapa hoaks yang selama ini berkembang di masyarakat, seperti melarang pemberian air tajin kepada bayi, menekankan pentingnya pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi 6 bulan, dan menekankan pemberian MPASI yang sesuai dengan panduan WHO, yakni tepat waktu, adekuat, aman, dan layak. Sebab stunting dapat terjadi terjadi karena kesalahpahaman dalam pemberian ASI dan MPASI.

Banyak orangtua yang beranggapan bahwa bayi dapat memulai MPASI sedini mungkin di usia 4 bulan, padahal rekomendasi WHO seharusnya selama 6 bulan bayi hanya menerima ASI eksklusif. Setelah usia 6 bulan masih ada orang tua yang memberikan ASI atau susu formula saja kepada anaknya, padahal kandungan gizi terutama zat besinya sudah tidak mencukupi untuk pertumbuhan bayi, sementara kekurangan zat besi adalah salah satu faktor penyebab stunting.

Ada pula orang tua yang memberikan MPASI hanya berupa menu tunggal berupa sayur atau buah saja yang dilumatkan, padahal kandungan energi, protein dan mikronutriennya tidak mencukupi bagi pertumbuhan bayi setelah 6 bulan, mereka harus diberikan makanan lengkap yang dilumatkan yang mengandung karbohidrat, protein hewani/nabati, vitamin, dan mineral. Disinilah peran pemerintah melalui fasilitas kesehatan ataupun media massa untuk memberikan edukasi dan meluruskan kesalahan di atas.

Pemerintah juga harus memberikan subsidi kepada ibu yang tidak mampu sejak hamil hingga 2 tahun kehidupan bayi untuk menjamin bahwa bayi tidak mengalami stunting di 1000 hari pertama kehidupannya.

Dengan adanya peran ibu dan pemerintah sejak awal pembentukan para tunas muda, diharapkan mereka dapat tumbuh menjadi tunas-tunas yang berkualitas. Sehingga Indonesia siap menyambut bonus demografi di tahun 2040 dengan melimpahnya tenaga kerja produktif yang dapat meningkatkan perekonomian nasional.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya