Soeharto Hilang dari TAP MPR: Reformasi Dikebiri?

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Soeharto Hilang dari TAP MPR: Reformasi Dikebiri? 30/09/2024 1497 view Politik Wikipedia

Langkah MPR mencabut nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perintah untuk Menyelenggarakan Pemerintahan yang Bersih Tanpa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) ibarat sebuah drama yang tragis dan ironis. Kita semua tahu, TAP tersebut lahir sebagai salah satu tonggak penting reformasi yang digelorakan sejak 1998. Tapi kini, nama Soeharto justru hilang dari catatan sejarah itu, seolah-olah pemerintah ingin menghapus jejak dari figur yang pernah memimpin era korupsi, kolusi, dan nepotisme terbesar di negeri ini.

Cukup mengherankan, meski ironisnya tidak mengejutkan, karena kita sudah tahu aktor-aktor politik yang terlibat di dalamnya. Fraksi Golkar, partai yang jelas-jelas merupakan “anak emas” Soeharto selama 32 tahun, melontarkan usulan tersebut, dan MPR menyetujui tanpa banyak perdebatan dalam rapat gabungan pada 23 September 2024. Ini mengingatkan saya pada sebuah pepatah lama: "Air beriak tanda tak dalam." Bisa jadi riak politik ini adalah tanda bahwa reformasi semakin dangkal, bukan sekadar lambat, tetapi bahkan terhenti.

Apa artinya bagi kita, bagi reformasi yang diperjuangkan mati-matian oleh generasi 1998? Saya merasa, ini bukan hanya soal nama Soeharto yang hilang dari TAP MPR. Ini lebih besar dari itu. Ini seperti memberi lampu hijau bagi generasi baru politisi yang hendak kembali ke era lama, di mana korupsi dibiarkan tumbuh subur, kolusi dianggap normal, dan nepotisme tak perlu lagi disembunyikan. Bahkan ketika kita berbicara soal reformasi, tampaknya ia kian jauh dari apa yang diimpikan.

Reformasi digagas untuk mengakhiri era otoritarian yang dipimpin oleh Soeharto. Salah satu misi besar reformasi adalah memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sudah mengakar dalam setiap lapisan birokrasi dan politik. Tapi lihatlah sekarang, kasus-kasus dugaan korupsi Soeharto dan kroni-kroninya tak pernah terungkap secara tuntas. Soeharto yang diduga menggelapkan triliunan rupiah untuk dirinya dan keluarganya, berhasil lolos dari jeratan hukum hingga akhir hayatnya. Sampai sekarang, sebagian besar kekayaan kroninya juga masih misteri. Nama-nama besar yang dahulu menikmati "surga" kekuasaan di era Orde Baru tetap ada di pentas politik hingga kini. Bahkan, beberapa di antaranya memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan kebijakan nasional.

Dengan nama Soeharto yang dihapus dari TAP MPR, seolah kita diminta melupakan bahwa ia pernah menjadi simbol besar korupsi di negeri ini. Lalu, bagaimana nasib pengusutan kasus-kasus korupsi yang terjadi di era Soeharto? Jalan menuju pengungkapan kejahatan besar itu semakin kabur. Reformasi yang dulu diharapkan menjadi pintu untuk memberantas korupsi, sekarang malah tampak seperti tirai yang ditutup rapat-rapat.

Dalam bukunya "Corruption and Reform", Robert Klitgaard mengatakan, "Korupsi adalah penyakit sosial yang mendalam, dan jika dibiarkan, ia dapat menghancurkan tatanan masyarakat dari dalam." Apakah kita sedang menuju kehancuran itu? Keputusan ini, menurut saya, adalah sinyal yang sangat jelas bahwa elit politik kita tak lagi memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, apalagi melanjutkan agenda reformasi.

Dulu, kita sangat bangga menyebut bahwa reformasi adalah angin segar bagi demokrasi Indonesia. Banyak aktivis mahasiswa, wartawan, hingga rakyat biasa turun ke jalan demi menuntut perubahan. Kita ingin memutus rantai kekuasaan yang korup dan membangun kembali Indonesia dengan fondasi yang lebih bersih dan transparan. Tapi, seperti yang kita lihat sekarang, reformasi yang dulu penuh semangat itu kini terasa mandul.

Saya tak bisa menahan tawa ketika melihat keputusan MPR ini. Apakah kita benar-benar sedang melangkah maju, atau justru mundur ke era yang penuh kelicikan politik? Sepertinya, politik kita masih terjebak dalam permainan kekuasaan yang licin. Fraksi-fraksi yang ada di parlemen, seperti Golkar, bukannya mendorong agar warisan buruk Soeharto diusut tuntas, malah justru seolah ingin melupakan segala kesalahan masa lalu. Akhirnya, kita bertanya-tanya: apakah reformasi masih hidup? Atau hanya tinggal kata kosong yang sering disebutkan dalam pidato resmi pemerintah tanpa makna nyata?

Tak bisa dipungkiri, Soeharto adalah simbol dari apa yang seharusnya ditinggalkan oleh bangsa ini. Namun, dengan pencabutan namanya dari TAP MPR, seolah-olah kita diminta untuk "berdamai" dengan masa lalu yang penuh dengan pelanggaran. Alih-alih membuka lembaran baru dengan mengusut tuntas kesalahan era Orde Baru, langkah ini justru menutup pintu bagi penyelesaian yang seharusnya dilakukan.

Bukan hanya soal korupsi, era Soeharto juga meninggalkan warisan buruk dalam hal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan perusakan lingkungan. Kasus-kasus seperti Tragedi 1965 hingga penculikan aktivis 1998 semuanya belum tuntas. Jalan pengusutan kejahatan HAM selama 32 tahun Soeharto berkuasa belum selesai diungkap hingga detik ini. Saya jadi teringat akan kutipan seperti ini, "Pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu tetap menjadi hutang negara kepada para korban dan generasi berikutnya." Namun, dengan hilangnya nama Soeharto dari TAP, akankah kita semakin jauh dari keadilan?

Dalam pandangan saya, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR adalah langkah mundur yang sangat jelas. Reformasi yang dulu penuh semangat kini terasa kehilangan arah. Keputusan ini seakan memberi pesan bahwa keadilan bisa ditawar, dan sejarah bisa dihapus sesuai keinginan politik. Maka, saya hanya bisa berharap bahwa rakyat Indonesia tidak akan lupa. Kita tidak boleh membiarkan sejarah dihapus begitu saja, karena seperti kata George Santayana, “Mereka yang melupakan sejarah, ditakdirkan untuk mengulanginya.”

Reformasi bukan sekadar nama, ia adalah perjuangan panjang untuk membangun negeri yang lebih baik. Namun, apakah kita sedang membangun atau justru meruntuhkannya? Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi untuk saat ini, saya hanya bisa melihat bahwa reformasi, sedikit demi sedikit, sedang dikebiri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya