Sistem Pendidikan Linear Mengekang Kebebasan Berpikir
Dalam dunia pendidikan modern kita mengenal ide tentang linearitas, yaitu bahwa pendidikan dijalankan menuju arah spesialisasi. Dari yang semula sifatnya umum naik jenjang yang lebih tinggi kita menjadi lebih khusus, lebih spesialis. Argumen atau ide seperti itu sebenarnya bermasalah.
Filsafat pendidikan yang hanya menekankan linearitas sebetulnya dilandasi oleh suatu asumsi tentang industrialisasi pendidikan. Ini berkaitan dengan apa yang dikenal dengan hilirisasi, yaitu bahwa pendidikan itu seharusnya lebih tersambung dengan apa yang nantinya akan dibutuhkan di dunua kerja khususnya di dunia industri.
Jadi apa yang lebih ditekankan adalah apa yang disebut link and match kecocokan antara jasa yang dihasilkan atau kompetensi dengan jasa yang dibutuhkan oleh dunia industri. Ketika keduanya itu nyambung kita akan memperoleh link and match antara dunia pendidikan dan dunia industri. Tapi itu adalah hal yang menyempitkan pengertian pendidikan sebetulnya. Pendidikan bukan hanya sekedar membuat kita memiliki suatu keahlian atau kecakapan teknis untuk mengerjakan sesuatu.
Pendidikan itu bukan semata perolehan skill atau kemampuan tapi jauh lebih mendasar dari itu adalah kesadaran untuk bersikap terhadap dunia, memiliki sikap sendiri, memiliki pemikiran sendiri, bisa merasakan susuatu yang ada di luar kita berempati terhadap dunia sekeliling kita, kita bisa mengarahkan tindakan kita pada tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan seterusnya.
Jadi ada dimensi-dimensi yang hilang ketika pendidikan itu hanya dikerangkai dalam kesesuaian kebutuhan industri atau kebutuhan lapangan kerja. Dalam hal ini kita mugkin perlu belajar lagi dari sejarah konsepsi pendidikan di dunia. Salah satunya adalah konsep “manusia renaisans”, kita tahu bahwa zaman renaisans adalah suatu priode dimana intelektual melonjak sedemikian tinggi di eropa diabad ke-16 yang memungkinkan peralihan yang sangat cepat dari tradisi abad pertengahan ke masa pencerahan dan modernitas.
Jenis dari manusia atau intelektual yang hidup pada zaman renaisans adalah intelektual serba bisa seperti pelukis, arsitek, ahli matematika, ahli fisika, politik, kadang juga penemu. Orang yang hidup atau mengembangkan suatu model atau pendekatan renaisans adalah orang yang mempelajari segala aspek hidup ini. Tidak hanya satu segi saja tapi semuanya, bukan hanya berpikir tentang dunia tetapi juga merasakan dunia. Karena mereka bukan hanya teorimisi atau ahli dalam bidang ilmu-ilmu dalam pengertian sains. Tapi juga mereka adalah seniman yang merasakan secara langsung dunia ini. Mengolah bagaimana rasa itu bisa diartikulasikan untuk menghasilkan efek-efek artistik tertentu. Cara mereka menghidupi dunia ini lengkap, dengan menangkap dari semua sisinya.
Konsepsi manusia renaisans ini memang muncul pada suatu masa ketika pembelahan atau pembedaan antar cabang-cabang ilmu itu belum ada. Dalam konteks ini karena tidak ada sekat-sekat antara cabang-cabang ilmu mereka bebas berkelana kemana saja secara pemikiran, secara perasan dan seterusnya. Sehingga mereka bisa menghadirkan suatu potret yang sifatnya komprehensif tentang dunia. Mereka merangkul semua unsur dari dunia ini tanpa dikecualikan satu sama lain.
Orang yang disebut ahli adalah orang bijaksana yang bisa mengetahui berbagai macam aspek dari kenyataan. Bukan bahwa orang itu tahu semuanya, tapi dia yang bisa merasakan segala sesuatu. Tahu prinsip-prinsip pokoknya seperti apa dan karenanya bisa mengetahui bagaimana cara mengetahui tentang berbagai macam hal itu.
Di perkembangan abad ke-20 spesialisasi semakin menjadi-jadi. Ini adalah suatu pola pikir yang lebih menghormati sebuah spesialisasi dibanding generalisasi. Pola pikir ini mungkin bisa kita hubungkan dengan dunia perindustrian. Gagasan dasar tentang renaisans sebetulnya masih kita bisa pertahankan. Intinya bahwa kita dilatih atau belajar untuk menjadi manusia dalam arti seutuhnya. Bukan manusia yang parsial atau ahli di satu bidang, yang kita butuhkan adalah manusia yang bisa mengapresiasi berbagai aspek dari hidup ini yang mempunyai kesadaran segala hal ini menarik untuk dipelajari. Bahwa kita tidak hanya fokus kesatu bidang yang sangat spesifik tapi kita buka ruang pada eksplorasi yang sifatnya lintas disiplin. Itu yang sebetulnya hilang ketika kita bicara tentang linearitas dalam pendidikan.
Filsafat pendidikan kita sepertinya mengalami reorientasi, dalam hal ini bukan sekedar meniru satu model pendekatan pendidikan barat, renaisans, eropa dan lainnya. Karena dalam konteks pendidikan kita sendiri dalam falsafah pendidkan Indonesia muncul seorang sosok seperti “Ki Hajar Dewantara” yang menekankan bahwa pendidikan itu bukan sekedar masalah olah pikir tapi juga olah rasa, olah karsa, dan olah kehendak. Bagaimana menyatu dalam proses pendidikan itulah yang lebih penting. Dengan kata lain yang ditekankan oleh falsafah pendidikan Indonesia adalah suatu model yang mengedepankan manusia sebagai suatu keutuhan pengalaman artistik, kognitif, emosi dan seterusnya itu menjadi satu dalam satu pengalaman manusia.
Perlu kita kembalikan kesadaran bahwa suatu pendidikan itu adalah untuk membentuk manusia seutuhnya, memungkinkan orang mengalami berbagai macam aspek kehidupan secara lebih leluasa. Bisa menyikapi dari sudut pandang yang berbeda. Jika itu bisa diwujudkan, hasilnya adalah suatu model manusia yang lebih terbuka, peserta didik yang cara pandangnya tidak sama, dapat memiliki keleluasaan berpikir dan mengambil kesimpulan yang berbeda dan itu adalah suatu hal yang berharga.
Artikel Lainnya
-
73415/02/2021
-
137224/08/2020
-
140602/03/2020
-
NTT dalam Sketsa Transformatif Pasca Pandemi Covid-19
121817/06/2020 -
Bentuk Kepatuhan Publik di Tengah Pandemi
626014/05/2020 -
Urgensi Perlindungan Masyarakat Adat dalam Kebijakan Publik
25020/06/2024