Setelah Bonus Demografi, Lalu Apa?

PNS BKKBN
Setelah Bonus Demografi, Lalu Apa? 11/10/2023 343 view Lainnya balairungpress.com

Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia tahun 2020-2050 yang baru-baru ini disosialisasikan oleh Badan Pusat Statistik diketahui bahwa Indonesia saat ini sedang menikmati bonus demografi dengan angka ketergantungan hanya sebesar 44,33 yang berarti bahwa hanya terdapat 44-45 usia penduduk tidak produktif ditanggung 100 penduduk usia produkti.

Bonus demografi ini akan terus dinikmati oleh bangsa ini sampai dengan tahun 2040 dengan angka ketergantungan mencapai 49,91. Namun setelah tahun tersebut angka ketergantungan merambat naik menjadi di atas 50 yang berarti bonus demografi telah berakhir.

Bonus demografi muncul ketika penduduk usia produktif cukup melimpah sehingga angka ketergantungan menjadi rendah atau di bawah 50, yang berarti 100 usia penduduk usia produktif menanggung maksimal 50 penduduk usia tidak produktif.

Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif tersebut harus benar-benar dimanfaatkan untuk memperoleh tingkat kesejahteraan yang lebih baik untuk bangsa ini. Terdapat beberapa kunci agar bonus demografi ini dapat kita manfaatkan semaksimal mungkin yaitu dengan meningkatkan produktifitas pekerja, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan juga memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya kepada penduduk usia produktif.

Beberapa hal di atas hanya bisa tercapai seandainya sebelum memasuki usia produktif penduduk-penduduk tersebut bisa tumbuh dan berkembang secara optimal, memperolah kesehatan yang prima sebelum dan pada saat memasuki usia porduktif serta memperoleh pendidik yang layak sehingga ketika penduduk yang pra produktif ini menjadi penduduk produktif mereka sudah memilki karakter, daya saing, kompetitif dan unggul.

Dengan beberapa karakter yang dipunyai penduduk usia produktif tersebut di atas diharapkan kepada mereka mampu untuk menjadi tenaga kerja yang adaptif dan kompetitif sehingga berdampak pada produktifitas yang pada akhirnya penduduk usia produktifi ini bisa menabung dan berinvestasi. Dengan demikian diharapkan bahwa ketika mereka menjadi lansia maka tetap menjadi lansia yang tangguh, produktif dan tidak tergantung kepada orang lain dikarenakan mereka punya tabungan dan investasi serta kemampuan untuk beradaptasi.

Namun demikian jika ternyata kita gagal untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dan memiliki daya saing maka yang terjadi adalah sebabaliknya yaitu bencana demografi. Penduduk usia produktif yang diharapkan mampu menanggung beban justru menjadi beban ketika mereka tidak bekerja, tidak produktif, tidak berpendidikan, tidak berkualitas dan tidak memiliki daya saing.

Untuk itu, sebelum momentum bonus demografi itu berlalu, pemerintah baik itu pemenrintah pusat dan pemerintah daerah harus benar-benar mempersiapkan generasi muda agar dapat menjadi insan yang berkualitas dan handal sehingga hadirnya bonus demografi ini benar-benar memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan apa yang kita cita-citakan.

Selanjutnya apa yang terjadi ketika momentum bonus demografi itu sudah lewat atau berlalu?

Setelah era bonus demografi mencapai puncaknya antara tahun 2020 sampai dengan tahun 2030 maka beban ketergantungan akan cenderung naik secara signifikan. Angka beban ketergantungan yang naik ini lebih disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk 65+ yang pada tahun 2025 akan mencapai sekitar 7,59 persen. Ini berarti jumlah penduduk lansia yaitu penduduk di atas 60+ juga akan mengalami peningkatan dan diperkirakan akan mencapaidi di atas 10 persen pada tahun 2025. Ini menandakan bahwa Indonesia akan mengalami ageing population.

Meningkatnya angka ketergantungan yang disebabkan oleh penduduk usia 65+ dan juga meningkatnya pesentase penduduk lansia yaitu penduduk di atas 60+ tentunya memiliki dampak dan konsekuensi yang harus disikapi oleh pemerintah dengan respon kebijakan yang tepat. Tidak menjadi persoalanyang serius ketika penduduk lansia kita tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang memadai sebab mereka mampu berinvestasi ketika usia muda, namun lansia dengan kriteria seperti ini jumlahnya di Indonesia sangat terbatas. Kebanyakan lansia di Indonesia tidak memiliki tabungan dan investasi di hari tua dan tidak sedikit dari mereka masih menggantungkan harapan pada keluarga.

Persoalan muncul ketika institusi keluarga mengalami perubahan atau pergeseran nilai akibat modernisasi yang menjadikan nilai keluarga yang saat ini cenderung individualis sehingga mempengaruhi dukungan keluarga terhadap kesejahteran lansia. Hari-hari ini, sering kita mendengarkan berita atau kabar mengenai lansia yang hidup sebatang kara, lansia yang hidup di rumah sendiri karena anaknya merantau, ataupun lansia yang tinggal di panti jompo karena tidak ada keluarga yang merawat.

Tentunya, sebagai generasi muda yang hidup di hari ini kita semua tak menginginkan ketika lansia kelak hidup kita tidak sejahtera. Untuk itu, marilah kita persiapkan bekal untuk menuju lansia yang tangguh dan sejahtera mulai hari ini.

Selain hal itu, pemerintah juga perlu merumuskan utuk meningkatkan kesejahteraan lansia melalui berbagai kebijakan yang responsif dan ramah untuk lansia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya