Senangnya Berkuliah Di “Kampus Merdeka”

Admin The Columnist
Senangnya Berkuliah Di “Kampus Merdeka” 07/02/2020 1985 view Catatan Redaksi jurnaljabar, 2019

Setiap pekan, di hari Jumat, The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini, catatan redaksi ditulis oleh Bung Yuli Isnadi, mengangkat isu hangat "Kampus Merdeka". Disampaikan secara ringan sekaligus renyah, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial. 

Selamat Membaca

Haii..kakak.. Perkenalkan, aku Mike (sebetulnya Michael sihh.. Mike itu panggilan kerenku aja).

Aku siswa kelas XI. Dan semoga bisa lulus SMA tahun depan.

Yup, tak salah. Aku bakal merasakan kuliah di "kampus merdeka". Kampus dengan suasana baru ciptaan Om Nadiem, Mendikbud idolaku..(ehm).

Mulai tahun depan, kampus-kampus akan jadi berbeda. Mahasiswanya gak cuma kuliah di dalam kelas yang membosankan itu.

"Cuma kelas-perpus, kelas-perpus, lalu kelas lagi, dan perpus lagi. Kalaupun ada tempat lain, itu pasti kantin. Sedangkan apa yang terjadi di luar sana, tak pernah tahu.", cerita kak Peter, seniorku.

Kalau katanya Om Nadiem nih ya, selama ini mahasiswa kita renangnya cuma di kolam. Gak dalam-dalam amat. Gak ada gelombang. Di ruang tertutup pula. Pokoknya semua terukur. Aman dan nyaman.

Makanya waktu lulus dan masuk dunia kerja semua pada gagap. Ya jelaslah... Perenang kolam kok tiba-tiba disuruh balapan di laut.

Jadi mulai besok itu mahasiswa gak bakal begitu lagi. Semua bebas, merdeka.. Karena kuliah di dalam kelas cuma 5 semester.

Sedangkan 3 semester lainnya, boleh kok belajar di luar. Misalnya riset, magang di start up, perusahaan multi nasional dan BUMN. Dan bisa juga di NGO. Atau pergi ke tempat terpencil untuk mengajar di sana.

Pokoknya serulah. Kita akan dihadapkan pada gelombang laut yang sebenarnya sejak mahasiswa. Jadi waktu lulus nanti sudah gak plonga-plongo, nganu-nganu.

Aku melihat masa depan dengan optimis. Langit di kampus merdeka tampak cerah, cuyy..

Aku dan generasiku ini adalah generasi emas Indonesia. Bukannya songong yaa.. Mohon maaf. Tapi memang begitu kenyataannya. Dan karena itu "kampus merdeka" akan melejitkan kemampuan kami. Tumpuan masa depan Indonesia ini.

Kami pekerja keras, tahan bekerja dalam tekanan, dan kuat menghadapi kenyataan... Betul. Gak salah. Ini bukan sedang bercanda.

Aku ini generasi best of the best. Kalau kakak-kakak dulu harus sudah bisa baca tulis naik kelas 2 SD. Maka kami harus sudah bisa baca waktu masuk SD. Kalau gak bisa baca tulis, sulit ada SD yang mau terima. Jadi di TK harus sudah bisa baca.

Bahkan temanku yang paling pintar di TK dulu, lebih lagi. Dia tuh sudah bisa baca sebelum masuk PAUD. (Rumornya sih pas lahir sudah bisa baca hitung, tapi aku gak percaya dengan hoax yang begituan).

Jadi sejak TK kami sudah gak punya banyak waktu untuk bermain. Hanya anak-anak nakal saja yang waktu TK-nya dihabiskan bermain. "Sudah TK kok masih main, dasar anak nakal..", pikirku dulu itu.

Di SD sampai SMP sampai SMA, kami bekerja keras, tahan banting, dan tahan tekanan psikis. Tak ada waktu bermain, haha-hihi. Kami menghabiskan hidup untuk belajar. Pagi ketemu sore. Apalagi kalau waktu ujian sudah dekat. Bisa subuh ketemu malam belajarnya.

"Kok bisa..? Jamanku dulu gak begitu-begitu amat..", kakak-kakak pembaca pasti ada yang berpikir begitu kann..

Saya kasih tahu ya. Sekolah itu memang tugasnya mengajari ilmu pengetahuan dan keterampilan. Supaya manusia-manusia tahu, mana yang baik dan salah. Bagaimana memahami kenyataan sosial dan cara bertahan hidup.

Tapi, sekolah tak cuma itu. Sekolah juga punya satpam yang melotot kalau terlambat. Padahal semalaman habis begadang garap soal fisika dan kimia.

Sekolah juga berarti rangking-rangkingan. Yang kalau kita melorot, sakit hati dan sedihnya bukan main. Seolah hidup ini sudah tak ada gunanya lagi.

Belum lagi guru dan wali kelas. Kalau nilai ulangan anjlok, bisa-bisa di anu..

Dan juga, omongan orang-orang tentang sekolah. Kalau nilai sekolah rendah, waahh.. sekolah kami bakal jadi bahan pergunjingan sejagat.

Pokoknya kalau ada apa-apa, semua salah adalah milik kami, para siswa. Bukan yang lain.

Dua belas tahun seperti itu. Wajar dong, aku jadi kuat. Logis dong, kami generasi emas republik ini.

Maka...inilah kami. Generasi emas yang akan berkuliah di kampus merdeka.

Rencana kuliah ku nanti akan dimulai dengan memahami tujuan pendidikan. Dalam sebuah surat, Rei, kakak kelasku, bilang begini. Tak mungkin kalau pendidikan tak menuju pada sebuah mimpi. Pendidikan musti punya tujuan. Begitu katanya dalam "Letters to Cristina".

Maka, kampus merdeka ini musti punya tujuan. Dan tujuannya tak lain dan tak bukan, ada dua. Pertama, supaya mahasiwa tahu tentang kenyataan yang sesungguhnya. Benar-benar paham realitas sosial. Kedua, memiliki kebebasan untuk berbuat sesuatu atas realitas itu.

Kalau ceritanya kak Peter sih, kenyataan tak seindah dongengnya gen X. Realitas Indonesia tak sekedar ada start up, sudah decacorn. Atau besok itu zamannya digital sehingga butuh melek IT untuk bisa makan. Seperti big data analyst, jago coding, dan sebagainya. Bukan hanya itu.

Tapi juga ada orang-orang yang dipaksa pergi dari rumahnya demi pembangunan. Ada pula yang uangnya dicuri oleh majikannnya. Ahh..macam-macam. Gak semuanya bisa diceritakan. Karena memang tak semuanya aku paham. Yang jelas katanya kak Peter kurang lebih begitu.

Lalu tentang "merdeka" alias kebebasan. Aku memahaminya sebagai kebebasan melakukan sesuatu demi ummat manusia. Jadi bukan hanya terbebas dari penjara belajar di dalam kelas saja. Pengertian itu terlalu sempit untuk jagat raya ini.

Merdeka artinya bebas untuk mengatakan yang salah adalah salah. Kebebasan untuk memperjuangkan kebenaran. Dan kebebasan untuk mengabarkan hal itu kepada orang lain.

Sejujurnya, aku gak begitu paham..huff.. mungkin perlu waktu untuk memahami ceritanya kak Kar, senior ku yang lain.

So, atas semua itu, aku sudah merancang perjalananku nanti di semester enam-delapan. Sebagai generasi emas Indonesia yang tangguh. Dan demi mewujudkan "merdeka" yang aku pahami dari pidato Om Nadiem. Maka berikut rencanaku.

Semester enam dan tujuh aku lempar diriku ke masyarakat terpencil. Di sana aku belajar..sekali lagi "belajar". Bukan mengajar.

Belajar bagaimana mereka hidup. Nilai-nilai, cara pandang mereka terhadap alam, karakter ekonomi mereka, sampai kesenian mereka.

Ada banyak calon sih. Tapi kalau nyebut beberapa nih yaa..aku ingin sekali belajar kehidupan kaum Samin. Atau suku Mahuze di Papua. Suku Bajau juga boleh tuh.

Atau akan ku lempar diriku ke serikat buruh di Bekasi. Atau yang di Jawa Tengah.

Di semester delapan, aku magang di lembaga terkemuka. Misalnya nih ya, Greenpeace Indonesia atau Walhi dan Jatam. Atau Lembaga Bantuan Hukum. Bisa juga perusahaan media, semacam Watchdoc yang filmnya keren-keren itu.

Di lembaga ini aku bisa belajar banyak. Bagaimana pengalamanku hidup di suku-suku sebelumnya itu bisa menemukan artinya di lembaga-lembaga seperti ini. Sekaligus bisa menceritakan nasib Kaum Samin, Suku Mahuze, Suku Bajau, kaum buruh kepada semesta.

Dan ketika lulus nanti, aku betul-betul siap memasuki dunia kerja. Tak perlu plonga-plongo.

Aku dan generasiku nanti sudah paham kenyataan kehidupan sebetulnya. Dan siap bertanding renang di laut terbuka. Tak takut menghadapi kekarnya tangan ketidakadilan di masyarakat.

Hmmm...membayangkan semua ini saja membuatku tak sabaran (sambil membenarkan topi abu-abu).

Ingin rasanya cepat-cepat lulus SMA. Lalu ikut seleksi masuk perguruan tinggi. Kemudian di malam pengumuman, ada pesan masuk di gadget.

Tertulis di sana, "Selamat! Michael W. Apple diterima di Universitas XXX". Sebuah pengumuman bahwa sah sudah berkuliah di Kampus Merdeka. Sebuah kampus yang menjanjikan kebebasan memahami kenyataan sebenarnya. Dan bebas pula untuk mempersiapkan perjuangan setelah lulus nanti.


Referensi:
Karl Polanyi, 2001 (1944), The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time, Boston: Beacon Press.

Michael W. Apple, 2004, Ideology and Curriculum, New York: Routledge Falmer.

Michael W. Apple, 2012 (1982), Education and Power, New York: Routledge.

Michael W. Apple, 2003, The State And The Politics of Knowledge, New York: Routledge.

Peter Mayo, 2015, Hegemony and Education Under Neoliberalism: Insight From Gramsci, New York and London: Routledge.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya