Semiotika Barthesian dan Relevansinya terhadap Kajian Budaya Materi di NTT

Alumni IFTK Ledalero
Semiotika Barthesian dan Relevansinya terhadap Kajian Budaya Materi di NTT 30/10/2022 773 view Budaya zhemwel.net

Tulisan ini merupakan ulasan sederhana mengenai semiotika Barthesian yang hemat saya belum begitu familiar di telinga masyarakat NTT, termasuk di kalangan akademisi. Oleh karena itu, tulisan ini mencakup pengenalan singkat mengenai semiotika Barthesian, Tatanan Pertandaan Barthesian, dan relevansinya terhadap kajian budaya materi di Nusa Tenggara Timur  (NTT).

Semiotika Barthesian

Semiotika Barthesian dipopulerkan oleh seorang figur intelektual bernama Roland Barthes yang muncul paska Perang Dunia II. Barthes lahir di Paris pada tahun 1915 dan dibesarkan oleh ibunya, Henriette Barthes beserta bibi dan neneknya setelah ayahnya, Louis Barthes terbunuh dalam pertempuran di Laut Utara. Barthes dibesarkan di salah satu kota bernama Bayonne, tempat ia pertama kali tertarik pada budaya melalui pengajaran piano dari bibinya.

Pada awal tahun 1960 Barthes mulai mengeksplorasi bidang semiotika dan strukturalisme dan menduduki beberapa posisi penting di berbagai fakultas sekitar Prancis. Barthes menulis banyak buku. Salah satu buku yang mengekspos keping-keping material budaya ialah Mythologies.

Dalam Mythologies, budaya masyarakat borjuis yang memaksakan nilai-nilainya terhadap masyarakat lain diekspos oleh Barthes.
Penjelasan rinci tentang semiotika Barthesian diuraikan dalam buku berjudul Elements De Semiologie yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Elements of Semiology. Istilah semiologi diambil dari kata bahasa Prancis semiologie atau semiotics dalam bahasa Inggris sebagaimana dikemukakan oleh Sobur berasal dari kata bahasa Yunani semeion yang berarti tanda atau same yang berarti penafsir tanda. Istilah semiotics diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah semiotika. Menurut Sobur semiotika merujuk kepada suatu ilmu yang mempelajari cara pemaknaan terhadap sebuah tanda atau lambang. Walaupun demikian, Barthes sebagaimana ditulis Sunardi mempraktikkan semiotika sebagai filsafat yang menghadirkan ruang baru untuk dipelajari.

Barthes dalam buku Elements of Semiology mengemukakan bahwa tanda tersebut dapat diperoleh melalui gambar, musik, gestur, dan berbagai bentuk visual lainnya. Tanda-tanda ini mengkonstitusikan realitas berdasarkan konteks sosial kultural tertentu sebagaimana dipertegas oleh Sobur bahwa tanda tersebut didefinisikan sebagai sebuah konvensi sosial kultural yang mewakili sesuatu yang lain, misalnya asap menandai adanya api atau sirene menandai adanya kebakaran.

Barthes sebagaimana dicatat oleh Sobur mengistilahkan semiotika sebagai sesuatu yang merujuk kepada usaha untuk mempelajari kemanusiaan (humanity) dalam memaknai hal-hal tertentu (things). Memaknai berarti objek-objek tidak hanya membawa sebuah informasi tetapi juga mengkonstitusikan sistim dalam struktur tanda.

Tatanan Pertandaan Barthes

Untuk mengkonstitusikan suatu tanda dibutuhkan sebuah struktur pertandaan yang disebut Barthes sebagai Tatanan Pertandaan (Order of Signification). Tatanan Pertandaan (Order of Signification) diuraikan menjadi tiga bagian sebagai berikut. Pertama, denotasi. Denotasi secara umum didefinisikan sebagai makna sesungguhnya yang tampak dalam indra. Menurut Sobur denotasi secara tradisional mengacu kepada pengguna bahasa yang disesuaikan dengan ucapan. Dengan kata lain, denotasi merupakan deskripsi dasar terhadap realitas tertentu dalam sebuah objek.

Kedua, konotasi. John Fiske sebagaimana ditulis oleh Sunardi menguraikan pengertian konotasi sebagai sistem semiotik tingkat kedua yang dibangun berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama (denotasi) menjadi Expression dari konteks tertentu. Dengan kata lain, konotasi merupakan interaksi yang terjadi antara tanda denotasi dan perasaan atau emosi, yang didasarkan pada konstruksi nilai-nilai dalam budaya tertentu.

Ketiga, Mitos. Barthes mendefinisikan mitos sebagai sebuah pembicaraan atau wicara (a tipe of speech) dalam sistim pertandaan tingkat kedua. Mitos sebagaimana diuraikan oleh Sunardi disebut speech karena mitos dilihat sebagai cara orang berbicara. Mitos jenis ini ditegaskan Barthes sebagai suatu pesan (konotasi) yang telah menjadi populer dalam kelompok masyarakat, sehingga mitos tersebut dapat berupa teks tulisan, fotografi, film, laporan, olahraga, warisan budaya, pertunjukan, dan sebagainya. Dengan kata lain, bentuk (form) konotasi tersebut didasarkan pada konstruksi sosio kultural dalam masyarakat tertentu dan menjadi sebuah mitos atau cara berpikir dari kelompok masyarakat tersebut.

Relevansi Semiotika Barthesian terhadap Kajian Budaya Materi di NTT

Nusa Tenggara Timur memiliki warisan budaya materi yang beragam. Budaya materi sebagaimana ditulis oleh Blolong merupakan total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia akibat dari interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Warisan budaya materi dapat berupa patung-patung peninggalan, simbol-simbol adat, perkakas budaya, dan berbagai artefak budaya lainnya. Menurut Hodder dan Hutson terdapat tiga poin dalam mengkonstruksikan makna dalam budaya materi yang diuraikan sebagai berikut. Pertama, kebudayaan materi merupakan sesuatu yang dirancang dengan tujuan, arti, dan makna tertentu. Kedua, konteks kebudayaan materi adalah menghubungkan dialektika masa lalu dan masa kini. Ketiga, kebudayaan materi bersifat aktif karena terdapat rentang waktu yang panjang.

Berdasarkan konstruksi makna yang dikemukakan Hodder dan Hutson, maka terdapat beberapa alasan pendekatan semiotik Barthesian memperoleh relevansinya dengan proses pengkajian budaya materi di NTT. Pertama, semiotik Barthes merupakan ilmu yang mempelajari tanda dalam kehidupan manusia secara struktural, yakni secara denotatif, konitatif, dan mitologis. Tanda tersebut memiliki makna yang menjelaskan gejala budaya yang terjadi dalam masyarakat NTT.

Kedua, pendekatan semiotika Barthesian dapat menjadi metode dalam mengkaji unit terkecil dari budaya materi di NTT, seperti motif-motif hiasan, patung-patung peninggalan, bangunan-bangunan tradisional, dan berbagai perkakas budaya lainnya.

Ketiga, dengan pendekatan semiotika ini kita dapat meningkatkan potensi sumber daya arkeologi budaya yang ada di NTT, sehingga terbuka bagi pemaknaan baru dan pemahaman baru yang memperkaya horizon pengetahuan kita.

Keempat, pendekatan ini akan membantu kita untuk mengetahui proses transformasi sosial kultural masyarakat NTT pada masa lampau.

Pendekatan semiotika Barthesian merupakan salah satu pendekatan penting dalam kajian antropologi dan arkeologi budaya. Namun, pendekatan semiotika Barthesian bukanlah pendekatan yang mudah diterapkan. Penerapan pendekatan ini membutuhkan waktu, kesabaran, inteligensi, dedikasi, dan biaya yang cukup dalam berbagai penelitian. Dengan demikian, pertanyaan mendasar yang muncul ialah; apakah para antropolog dan arkeolog di NTT bersedia mempelajari semiotika Barthesian dan menerapkan dalam penelitian mereka? Apakah para antropolog dan arkeolog di NTT bersedia memperkokoh disiplin ilmu semiotika Barthesian dalam berbagai analisis mereka?. Hanya para antropolog dan arkeolog yang mampu menjawabnya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya