Selesai dan Jujur Pada Diri Sendiri

Selesai dan Jujur Pada Diri Sendiri 14/08/2020 1074 view Politik Shutterstock

Pilkada serentak yang tinggal beberapa bulan lagi menjadi topik hangat akhir-akhir ini. Semua kandidat berlomba-lomba mempromosikan diri di sana-sini, entah dengan menggunakan platform digital, cetak, maupun perjumpaan langsung.

Ada banyak warga yang bersemangat menyambut pesta demokrasi ini, ada juga yang tidak. Yang bersemangat menganggap Pilkada kali ini adalah kesempatan untuk menggantikan pemimpin yang sudah tidak becus dengan orang-orang yang lebih kompeten dan menjanjikan.

Sebaliknya, yang menolak menganggap pesta ini adalah bentuk ketidakpedulian para elit terhadap kesengsaraan rakyat akibat pandemi. Alih-alih bekerja keras memikirkan jalan terbaik untuk menyelamatkan rakyat, mereka malah berpikir bagaimana untuk maju dan mempertahankan status quo-nya lagi.

Demokrasi atau Dinasti

Situasi menjadi lebih hangat ketika publik kini menyaksikan betapa banyak anak pejabat maupun kerabat negeri ini yang ikut dalam kontestasi. Banyak yang merasa keikutsertaan kerabat elite itu merupakan usaha membangun dinasti politik keluarga.

Di Solo, Jawa Tengah, putra sulung orang nomor satu negara ini, Gibran Rakabuming, maju menjadi calon Wali Kota. Tidak ketinggalan pula, putri Wapres RI saat ini, Siti Nur Azizah, ikut dalam percaturan politik untuk menjadi Wali Kota Tangerang Selatan, dan masih banyak lagi.

Kita tidak pernah tahu, apakah majunya putra-putri pejabat ini adalah untuk membangun dinasti atau tidak. Kita berharap intensi mereka murni dan niat buruk membangun dinasti tidak pernah ada dalam hati mereka. Sebab, bila niat itu ada, hasilnya sudah bisa ditebak. Kekuasaan orang-orang di belakang mereka akan menggunakan segala cara demi melanggengkan perjalan politik mereka. Tentu saja ini sangat tidak diharapkan. Alasannya, bila keinginan seperti itu ada, maka dengan sendiri demokrasi hanya akan tinggal hitam di atas putih; tertulis demokrasi, nyatanya dinasti.

Apabila politik kekerabatan ini terjadi, sudah pasti situasi politik kita akan kembali ke masa-masa kerajaan, di mana yang berhak menjadi pemimpin hanyalah sanak famili raja. Sementara rakyat biasa, kendati secara kemampuan mungkin lebih, akan hanya menjadi orang biasa yang tak bisa berbuat banyak.

Nah, sebagai calon yang hendak maju dan rakyat yang akan memilih, kira-kira hal penting apa yang harus digarisbawahi untuk menilai diri apakah aku layak maju (calon) dan hal apa yang harus kupertimbangkan (rakyat) sebelum memilih?

Selesai dengan Diri Sendiri

Salah satu poin penting yang kiranya perlu diperhitungkan adalah apakah para calon itu, termasuk anak pejabat yang hendak maju sudah 'selesai' dengan sendiri. Maksudnya, ia sudah cukup matang secara emosional; tidak ingin memperkaya diri dan berintegritas serta siap melayani.

Ini bukan soal usianya masih muda atau sudah tua karena yang tua itu usia biologisnya, bukan kedewasaan emosionalnya. Sebab kedewasaan emosional itu pilihan dan dibentuk melalui usaha, bukan sesuatu yang terbentuk secara alami. 'Selesai' juga bukan berarti harus kaya, karena yang kaya pun belum tentu tidak korupsi. Toh faktanya banyak politikus yang notabene kaya tetap korupsi.

Dengan adanya 'selesai' dengan diri sendiri, berarti ia tidak lagi mencari pengakuan dan nama baik dengan memanipulasi orang lain ataupun korupsi. Ia sudah bisa mentransendenkan dirinya sendiri dari kepentingan-kepentingan emosionalnya, dan mulai bekerja untuk kepentingan bersama (Wattimena, 2012).

Artinya dengan 'selesai' itu, tegangan kepentingan-kepentingan maupun hasrat pribadi itu tetap ada, tetapi sudah bisa ia kontrol dan kuasai sehingga ketika memutuskan sebuah keputusan, bonum commune-lah yang diprioritaskan.

Memilih di Tengah Krisis

Sampai saat ini, kita tidak pernah tahu kapan pagebluk ini pergi. Memang sudah ada banyak usaha untuk menemukan vaksin di mana-mana, tetapi itu masih usaha dan butuh waktu yang panjang; belum pasti.

Yang pasti adalah Pilkada sudah di depan mata dan pandemi ini sudah sangat keras memukul kehidupan kita. Di titik ini, rakyat perlu pemimpin yang pro rakyat; membela, menjamin, dan tulus melayani rakyat. Rakyat sudah jengah mendengar kabar para wakilnya korupsi uang bantuan sembako maupun yang lainnya.

Jujur pada Diri Sendiri

Lebih lanjut, bagi para calon yang merasa belum 'selesai' dengan diri sendiri, baik anak pejabat maupun orang biasa, alangkah baiknya mundur dan berdiskresi lagi. Jujurlah pada diri sendiri. Sebab, kejujuran pada diri sendiri itu amat menentukan ribuan bahkan jutaan nyawa manusia yang akan dipimpin. Itu jauh lebih mulia daripada membohongi diri sendiri. Jika dalam hal ini saja sudah tidak jujur, bukan tidak mungkin praktik korupsi bisa dilakukan suatu hari nanti.

Bayangkan saja, bagaimana bisa berlaku jujur dalam melayani, apabila jujur pada diri sendiri saja tidak bisa? Jangan sampai kita turut ikut memeras rakyat yang semakin hari semakin kurus dan tergerus.

Sebaliknya, sebagai rakyat kita perlu merapatkan barisan untuk memilih orang-orang yang sudah selesai. Ini bukan si calon itu anak siapa dan dari keluarga mana, melainkan tujuan dan niat otentiknya apa.

Oleh karena itu, pesta demokrasi ini perlu dirayakan dengan baik. Sebab, demokrasi membutuhkan warga yang cerdas, kritis, dan siap membela kepentingan bersama supaya tidak dilanggar oleh pihak-pihak yang yang memiliki niat kurang baik (Wattimena, 2007).

Artinya, kita memilih dengan pertimbangan yang sehat, objektif, dan demi kebaikan semua orang, bukan demi kebaikanku ataupun kelompokku sendiri.

Jangan sampai ketika ada 'serangan fajar’ kita memilih kenikmatan sementara dan melupakan kehidupan bersama selanjutnya yang tentunya masih panjang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya