Sekarang Waktunya Mengkritik Konten Giveaway
Seperti yang kita ketahui, konten giveaway sering menimbulkan efek pro dan konra. Konten giveaway adalah konten bagi-bagi hadiah secara gratis berupa duit atau hadiah kepada sembarang orang. Biasanya orang yang dijumpainya berupa pedagang kaki lima, tukang ojek, pemuda gabut, dan lain-lain. Memang konten ini terkesan dermawan dan bernilai kebaikan lantaran ingin membantu sesama manusia. Lantas mengapa konten giveaway ini mengundang kontroversi?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, marilah kita menengok latar belakang kemunculan konten giveaway dalam perspektif sejarah. Menurut beragam info A1 yang ditemukan (jejak digital, artikel ilmiah, dan rekaman siaran televisi yang terkonfirmasi), konten ini muncul sejak tahun 2000-an. Kita semua pernah menonton program televisi yang mengarah kepada giveaway seperti Minta Tolong, Bedah Rumah dan Uang Kaget. Sepintas, siaran tv tersebut sukses menyugesti emosi para penonton untuk menjadi orang kaya tanpa harus bersusah payah berusaha. Ironisnya, siaran langsung ini hanya menjangkau daerah kota besar, terutama kawasan Jabodetabek.
Konten giveaway makin masif beredar ketika masyarakat Indonesia sudah memiliki smartphone yang didukung kemudahan mengakses internet. Pada saat bersamaan, profesi content creator (pembuat konten) muncul bak jamur di musim hujan. Di samping itu, profesi ini juga memberikan prospek menjanjikan dalam aspek finansial dan popularitas. Namun, memulai berkarir sebagai content creator tidak gampang karena dua hal. Pertama, kompetitor yang banyak karena kemudahan akses internet. Kedua, konten ini harus memiliki value yang mudah diingat dan diucapkan oleh warganet. Intinya adalah si content creator harus mengemas konten yang menarik sesuai dengan target audiens.
Konten giveaway juga dapat muncul ketika sebuah perusahaan atau pemengaruh (influencer) telah mencapai target atau momen tertentu. Misalnya seorang pemengaruh melakukan giveaway berupa uang dengan kuota pemenang tertentu ketika timnas Indonesia bertanding di Piala Asia U-23. Kemudian contoh lainnya adalah suatu perusahaan yang tengah berulang tahun. Pastinya perusahaan tersebut melakukan bagi-bagi produknya secara cuma-cuma dengan persyaratan dan kuota tertentu.
Sekilas niat pembuat konten tersebut memang bagus banget karena mengajarkan tentang hidup berbagi dan bersyukur. Perlu diketahui, konten giveaway sangat digemari oleh masyarakat Indonesia karena sifat kedermawaan. Buktinya, World Giving Index menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan pada tahun 2023. Sebuah prestasi yang membanggakan, kan?
Akan tetapi, tidak sedikit orang yang mengganggap bahwa konten give away merupakan salah satu teknik marketing dari content creator itu sendiri. Alih-alih mengajarakan tentang hidup bersyukur dan membantu, para content creator juga membuat konten give away dengan tujuan menambah pengikut dan memperluas target audiens. Sekarang, organisasi nirlaba (yayasan, lembaga filantropi, pendidikan, dan lain-lain) juga ikut-ikutan membuat konten serupa. Perasaan iba dan sedih para penonton terhadap orang yang hidup serba kekurangan menjadi bahan bakar efektif untuk membuat konten give away di media sosial. Apakah cara seperti ini etis dilakukan secara terus-menerus?
Serangan beruntun konten giveaway memberikan efek negatif terhadap mentalitas penonton. Dengan melihat konten itu saja, penonton akan memperpanjang angan-angan mereka agar segera menjadi ‘orang terpilih’ dalam kampanye konten giveaway. Jelas mengharapkan hal ini terjadi itu mustahil karena harus mengalahkan ribuan pesaing. Belum lagi penonton harus melalui beragam persyaratan yang rumit dari sebagian influencer. Itu pun belum tentu semuanya dapat ‘jatah’ jika telah memenuhi syarat.
Berikutnya, masih ada rahasia lain mengapa konten giveaway masih laku keras di Indonesia. Rahasia tersebut adalah orang Indonesia ingin memperoleh sesuatu dengan cara instan. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak berlaku bagi kelompok yang menghargai proses dan suka bekerja keras. Toh, banyak orang rela melakukan apa saja seperti pejuang agustusan demi memperoleh hadiah secara gratis gara-gara konten giveaway.
Konten giveaway justru menjual menjual kemiskinan. Jual kemiskinan di sini dimaknai sebagai strategi influencer untuk menjaring penonton lebih banyak. Begitu ada acara bagi-bagi hadiah, otomatis pendapatan dan jangkauan influencer meningkat pesat. Kita sudah tahu berbagai konten giveaway di media sosial itu persyaratannya banyak banget, seperti harus men-tag lima akun teman, wajib membuat tagar sesuai persyaratan, dan harus follow akun utama dan sekunder influencer. Hingga akhirnya, kita berpikir apakah konten giveaway seperti ini adalah konten dermawan atau pemalakan?
Dampak buruk lain dari konten giveaway adalah menyuburkan kebiasaan meminta-minta. Pernyataan seperti ini logis karena konten giveaway memberikan iming-iming berupa hadiah menarik kepada audiens. Mayoritas psikolog bersepakat bahwa konten giveaway sebaiknya tidak dilakukan sesering mungkin karena akan membentuk kebiasaan bergantung kepada bantuan orang lain sebagai sarana memecahkan masalah.
Tidak ada yang salah tentang meminta bantuan kepada orang lain. Kita berhak meminta bantuan kepada orang lain semisal ada kesulitan yang tidak bisa dipikul seorang diri. Namun, alangkah baiknya kita mencoba hidup berdikari. Sebab orang lain tidak selalu membantu kita setiap waktu.
Artikel Lainnya
-
128312/12/2020
-
40527/01/2024
-
224427/10/2020
-
Beri Aku Satu Reynhard Sinaga, Niscaya Kuguncang Dunia
292511/01/2020 -
Seks dan Kekuasaan: Derita Perempuan Di Tengah Pandemi
203316/05/2020 -
Jebakan Misinfodemik dan Insan Muda yang Terlibat
114431/10/2020