Sebuah Kesialan Berada dalam Realita Serupa Fiksi Distopia

Sebuah Kesialan Berada dalam Realita Serupa Fiksi Distopia 20/10/2023 706 view Lainnya istockphoto.com

Bayangkan sebuah tempat dimana jumlah gedung pencakar langit dan lahan hijau sama banyaknya; lalu orang-orang pergi bekerja mengerjakan apa yang mereka suka dan dibayar dengan upah semestinya; setiap anak beranjak pintar karena bersekolah dengan edukasi yang layak; semua orang tinggal di bawah atap rumah yang nyaman tanpa mengenal kemiskinan apalagi tindak kejahatan; bahkan, para tentara tidak perlu pergi berperang karena seluruh dunia sudah hidup dalam kedamaian.

Terdengar seperti masa depan yang sempurna bukan? Namun, yang jadi pertanyaannya apakah kita sedang menuju ke sana?

Kabar buruknya adalah kita sangat jauh dari sana. Bahkan, mustahil sebenarnya untuk mencapai masa depan utopis yang kita dambakan bersama.

The problems of utopia is that it can only be reached by a sea of blood, and you never arrive “ -Peter Hichens

Alih-alih utopia, saya malah merasa distopia akan lebih cocok untuk disematkan kepada realitas yang saya lihat dan saya alami saat ini. Konsep distopia pertama kali muncul sebagai respons sekaligus antitesis terhadap karya fiksi bertema utopia yang dipelopori oleh Sir Thomas Moore melalui novelnya dengan judul yang sama “Utopia”. Jika utopia kesejahteraan, kemajuan, dan hal-hal ideal. Maka distopia hadir untuk menceritakan kehancuran lewat kacamata kesengsaraan juga ketidakadilan.

Distopia sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu dis yang berarti ”buruk” dan topia yang berarti “tempat”, dengan kata lain distopia adalah sebuah tempat buruk yang tidak menguntungkan untuk ditinggali.

Dan seperti yang tertera pada judul, kali ini saya akan mencoba untuk menguraikan adegan-adegan kehancuran dalam beberapa karya fiksi distopia serta refkleksinya terhadap negara kita.

Kontrol Pemerintah

Mengutip tulisan George Orwell dalam novel fiksi distopia “1984”.
Who controls the past controls the future. Who controls the present control the past”.

Dalam adaptasi filmnya, kalimat tersebut muncul pada adegan pembuka. Sebuah introduksi yang sempurna terhadap apa yang terjadi selanjutnya. Adalah Oceania sebuah tempat di mana totalitarianisme berjaya dan partai mengambil kendali penuh.

Selayaknya totalitarian sejati, partai mengharamkan keberadaaan oposisi. Siapa saja yang berani berseberangan apalagi melakukan pemberontakan harus siap menghadapi Ministry Of Love, sebuah kamp penyiksaan yang diselenggarakan untuk mengembalikan ideologi partai pada individu yang membelot.

Masyarakat di Oceania hidup dalam sebuah mimpi buruk berkepanjangan. Setiap harinya mereka dihadapkan dengan penindasan, pembungkaman, penyensoran, pengawasan berlebihan, hingga manipulasi serta propaganda partai.

Distopia memang sangat identik dengan kontrol para penguasa dan imbasnya bagi rakyat. Tragisnya, di saat kebanyakan orang waras memandang karya fiksi distopia seperti “1984” sebagai ungkapan kekhawatiran sekaligus sebuah peringatan terhadap masa depan, muncul gerombolan tokoh antagonis yang menganggap novel tersebut adalah sebuah buku panduan untuk diterapkan di kehidupan nyata.

Pada tahun 2022, di Indonesia tercatat ada 5.306 pengaduan dugaan pelanggaran HAM dan pihak paling banyak diadukan adalah pemerintah, korporasi, dan kepolisian. Ribuan kasus tersebut mencakup perilaku penindasan oleh kelompok bersenjata dan berseragam, belenggu atas kebebasan berpendapat, perampasan ruang hidup rakyat kecil, serta tindak-tanduk lain yang kerap memicu kerusuhan, pembunuhan, lalu diakhiri pemintaan maaf dan saling tuduh.

Kontrol Teknologi

Menilik ke dalam sejumlah karya fiksi distopia, teknologi terus-terusan digambarkan sebagai sebuah tragedi bagi dunia mereka. Perkembangan dan kemajuan teknologi kerap diiikuti dengan hilangnya moralitas serta nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat.

Dalam “1984”, penggunaan teknologi dimaksimalkan untuk pengawasan masyarakat secara ekstrim serta sebagai media untuk propaganda. Dalam The Truman Show, teknologi digunakan untuk mengisolasi karakter dari dunia luar dan merebut atensi masyarakat. Adapula Black Mirror, sebuah serial yang mendedikasikan seluruh episodenya membahas kiamat-kiamat kecil ulah teknologi di kehidupan masyarakat

Permasalahan mengenai teknologi dalam distopia menjadi semakin nyata setiap harinya. Munculnya situasi seperti privasi yang perlahan mulai susah ditemukan di masyarakat karena kehadiran teknologi pengawasan serta pelanggaran privasi yang secara sadar dilakukan oleh masyarakat global lewat gawai dan media sosial. Belum lagi berbagai kasus kebocoran hingga jual beli data pribadi oleh perusahaan-perusahaan raksasa semakin memperparah situasi ini.

Jika harus kembali lagi pada The Truman Show, film ini memiliki pesan penting tentang atensi masyarakat yang diambil alih oleh entertainment, menyebabkan masyarakat dalam jumlah besar terdistraksi dari berbagai hal penting di sekelilingnya.

Kondisi tersebut tidak jauh beda dengan realita yang terjadi sekarang. Kita semua merasakan adiksi yang hampir sama pada gadget dan internet, tanpa jeda mengonsumsi konten-konten nir manfaat yang memenuhi linimasa sehingga kita terperangkap dalam layar selama berjam-jam lamanya.

Hawa distopia semakin terasa kental saat riuh mengenai perkembangan Artificial Intellegence mulai terdengar ke seluruh penjuru dunia. Pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan pun dibersamai dengan skeptisme masyarakat akan kemampuannya sendiri.

Hal tersebut muncul di masyarakat bukanlah tanpa alasan. Kemampuan AI dalam menyelesaikan pekerjaannya dalam kurun waktu yang sangat cepat dengan tanpa istirahat, tanpa mengeluh, apalagi memaki atasan lewat story whatsapp adalah alasan yang cukup masuk akal bagi para perusahaan untuk mulai mempertimbangkan wacana automasi di berbagai sektor pekerjaan.

Sayangnya, itu semua bukan bagian terburuk yang harus kita hadapi saat berbicara tentang teknologi. Masih ada setumpuk masalah lain seperti pornografi, pemalsuan identitas, cyberbullying, carding, peredaran berita palsu, dan tentu masih banyak lagi.

Bencana dan Kehancuran Alam

Distopia acapkali menggambarkan hancurnya dunia dan segala huru-hara di dalamnya. Kondisi alam yang terobrak-abrik karena bencana ataupun ulah manusia. Di dalam film seperti Wall-E, planet bumi diceritakan sedang mengalami kehancuran akibat dari sampah elektronik manusia yang tidak didaur ulang. Sementara dalam Interstellar, planet ini sedang berjuang melawan badai debu dan wabah penyakit berbahaya. Sampai-sampai manusia harus mencari tempat hidup baru di planet lain.

Kita sepatutnya menyadari bahwa cara kita menjalani hidup seringkali membuahkan bencana bagi sekitar. Prilaku abai terhadap kelestarian alam yang tertanam pada masing-masing dari kita sudah terbukti menimbulkan kerusakan yang sangat parah terhadap planet bumi.

Jalanan, sungai, dan lautan yang disesaki oleh beragam jenis sampah dan limbah, meningkatnya volume gunung-gunung sampah di beberapa tempat pembuangan, hawa yang semakin panas tiap tahunnya, alam yang disulap menjadi kawasan industri, kualitas udara yang memburuk, hingga kepunahan satwa-satwa liar akibat pemburuan dan pengrusakan habitatnya.

Alinea diatas adalah bukti nyata kekompakan manusia dalam menabung kehancuran alam secara perlahan. Gabungan dari dosa besar manusia yang tidak pernah menghargai tempat dia diberi makan, minum, dan kesempatan hidup.

Kesenjangan Sosial Ekonomi

Satu lagi yang tidak kalah penting saat bicara soal fiksi distopia adalah kesenjangan di dalamnya. Pengelompokan masyarakat antara kaya dan miskin, pintar dan bodoh, lemah dan kuat, hingga sehat dan sakit adalah hal yang lumrah terjadi dalam sebuah fiksi distopia.

Dalam Snowpiercer, kita bisa melihat bagaimana itu semua terjadi melalui dalam sebuah kereta yang menyelamatkan dunia dari cuaca dingin ekstrim sepanjang tahun. Di kereta itu, gerbong ekor diisi dengan masyarakat yang kesehariannya memakan sampah. Sementara gerbong paling depan adalah tempat para elit berpesta dengan pakaian mahal mereka.

Memuakkan rasanya melihat hal serupa terjadi di dunia nyata. Lihat saja bagaimana praktik perbudakan modern masih terjadi di sekitar kita. Sementara di sisi lain, koruptor terus membangun rumah yang lebih mewah dengan kayu dan marmer hasil patungan rakyat.

Kita semua tengah menyaksikan tingkah laku mereka yang sibuk membangun utopianya masing-masing saat segelintir orang sedang mati-matian bertahan hidup. Penyelenggaraan pesta besar orang-orang penting di seluruh dunia dengan segala gemerlapnya yang menyilaukan seolah menghalangi masyarakat untuk sekadar memiliki sebuah perayaan kecil agar bisa keluar sejenak dari realita.

Sebuah realita serupa fiksi distopia, itulah yang kita alami sekarang. Dan selayaknya alur cerita dalam fiksi distopia, tokoh utama tidak pernah sudi untuk berakhir dalam kepedihan dan mengalah pada situasi. Tatanan dunia yang sudah terlanjur destruktif ini semestinya memberikan kita kekuatan lebih untuk mengubah semuanya secara perlahan. Tidak peduli jika itu membutuhkan waktu selamanya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya