Sastra dan Non Sastra
Sebagai pecinta sastra, kita sering bertanya mengapa puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri bisa diterima sebagai puisi. Selanjutnya ada Danarto yang membuat puisi tanpa kata, hanya berisi garis-garis membentuk sembilan petak. Lalu, Remy Sylado terkenal dengan puisi mbeling-nya. Kemudian, Afrizal Malna membuat puisi dari daftar nama rempah-rempah yang diurutkan sesuai abjad.
Dua tahun yang lalu, sempat viral di dunia sastra karena terbitnya buku kumpulan puisi Hompimpa Alaium Gambreng karya Hamzah Muhammad. Buku ini membuat sastrawan Saut Situmorang ingin pensiun dalam dunia sastra. Pada puisi yang berjudul Remaja Adu Kangen (Arsip 2002), Hamzah Muhammad menulis puisi dengan campuran huruf dan angka, layaknya remaja-remaja alay di media sosial.
Kemudian pada puisi yang berjudul Belum Ada Judul, Hamzah merekonstruksi lirik lagu anak ciptaan Soerjono yang berjudul Bangun Tidur. Di dalam puisi Belum Ada Judul, ia juga menambahkan chord gitarnya.
Gaya melawan kebakuan dalam membuat puisi ini semakin relevan dengan kehidupan sehari-hari. Di media sosial, saya melihat banyak komunitas sastra sering memuat puisi yang menggunakan bahasa gaul dan pola grafis untuk menyampaikan kritik sosial.
Di lingkup prosa, Djenar Maesa Ayu pernah menulis cerpen menggunakan format seperti short message service (SMS). Saat ini, menjamur penulis fiksi alternate universe (AU) di Twitter (X) sering membagikan cerita dalam bentuk thread, yang didominasi oleh tangkapan layar obrolan aplikasi pesan singkat.
Sebagai pecinta sastra, mungkin bertanya-tanya, “Apakah karya-karya dengan gaya kurang formal ini dapat dianggap sebagai karya sastra? Apakah penggunaan format seperti SMS atau thread Twitter bisa dianggap sah dalam sastra?”
Kalau kita bandingkan, bahasa sastra dan bahasa ilmiah memang berbeda. Bahasa sastra lebih ekspresif dan penuh perasaan, sementara bahasa ilmiah fokus pada fakta dan jelas tanpa emosi. “Lalu, bagaimana dengan perbedaan antara bahasa sastra dan bahasa sehari-hari?”
Perspektif Wellek dan Warren
Menurut Wellek dan Warren dalam buku Teori Kesusastraan, bahasa sehari-hari mencakup bahasa percakapan, bahasa perdagangan, bahasa resmi, bahasa keagamaan, dan slang anak muda. Menariknya, ciri-ciri bahasa sastra sering kali muncul dalam bahasa sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa batas antara bahasa sastra dan bahasa sehari-hari begitu cair.
Perbedaan antara seni dan non-seni, atau antara karya sastra dan non-sastra, sering kali kabur. Fungsi estetis dapat muncul dalam berbagai bentuk ujaran. Jika kita terlalu membatasi definisi sastra, kita berisiko mengabaikan banyak bentuk seni yang sah. Sepanjang sejarah, batasan fungsi estetis ini telah berubah-ubah. Apalagi ditambah berkembangnya teknologi, batasan-batasan ini semakin terlihat tidak tegas.
Wellek dan Warren menunjukkan bahwa salah satu faktor pembeda antara sastra dan non-sastra adalah organisasi/komunitas. Oleh karena itu, definisi sastra perlu lebih fleksibel dan inklusif, mengakui berbagai bentuk dan fungsi estetis dalam beragam konteks. Hanya dengan pendekatan ini, kita bisa memahami dan menghargai berbagai ekspresi seni.
Peran Organisasi/Komunitas Sastra
“Siapa yang menetapkan aturan bahwa sastra harus ditulis seperti ini atau seperti itu?”
Aturan tersebut disebut konvensi. Yaitu, kesepakatan yang sudah diterima banyak orang dan sudah menjadi tradisi. Dengan kata lain, aturan tersebut tidak dibuat oleh satu orang tertentu, melainkan oleh banyak orang. Aturan dan konvensi bukan hanya berubah dari zaman ke zaman, tetapi juga berkaitan dengan konteks budaya pada masanya.
Menurut A. Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra, konvensi dalam sastra tidaklah kaku. Konvensi ini dapat berubah, dilanggar, dirombak, dan diperbarui. Jakob Sumardjo, seorang pelopor kajian filsafat Indonesia dan pemerhati sastra, menyatakan bahwa karya sastra akan selalu tampil sesuai dengan zamannya.
Sebagai contoh, dalam penutup buku kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar yang disusun oleh Pamusuk Eneste. Sapardi Djoko Damono menulis bahwa organisasi memiliki peran penting dalam menentukan apa yang dianggap sebagai sastra dan apa yang bukan–serta menentukan sastra yang baik atau tidak.
Pada tahun 1965, seorang komisaris dewan mahasiswa (Dema) di sebuah fakultas sastra menyatakan bahwa gagasan kepenyairan Chairil Anwar bertentangan dengan paham Sosialisme Indonesia dan Amanat Berdikari yang digariskan oleh Bung Karno. Pernyataan ini kemudian didukung oleh pimpinan fakultas yang bersangkutan, yang bahkan menolak menetapkan tanggal 28 April (hari kematian Chairil Anwar) sebagai Hari Sastra.
Setelah runtuhnya komunisme, Islam mulai berkembang pesat di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Pada tahun 1968, majalah Horison dicekal oleh pemerintah dengan tuduhan melakukan penistaan agama karena menerbitkan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Pandji Kusmin. Kejadian ini menggemparkan dunia sastra dan menjadi sorotan banyak orang, sehingga disebut sebagai masa "Heboh Sastra." Peristiwa ini adalah pertama kalinya sebuah karya sastra menjadi masalah pidana di pengadilan.
Memasuki tahun 1970-an, karya sastra yang dianggap baik adalah karya yang bersifat transendental atau keagamaan. Contohnya dapat dilihat dalam puisi-puisi ala sufi karya Abdul Hadi W. M., Ahmadun Yosi Herfanda, atau cerpen ala sufi dari Danarto.
Mengutip esai Ahmadun Yosi Herfanda Reaktualisasi Fitrah Religius Sastra yang dipercaya banyak orang di masanya. Ia menyatakan bahwa semangat religius adalah semangat sastra yang paling fitrah (hakiki). Ini diyakini oleh Iqbal dan kalangan penyair sufi, serta ditegaskan oleh Mangunwidjaja dalam buku Sastra dan Religiusitas.
Penutup
Perjalanan di atas menunjukkan bahwa batas antara sastra dan non-sastra, atau seni dan non-seni, selalu dinamis dan cair. Komunitas dan organisasi sastra berperan penting dalam membentuk, mengarahkan, dan mempertahankan standar yang dianggap sah dalam dunia sastra, menentukan konvensi yang kemudian diikuti, dilanggar, atau diperbarui oleh generasi penerus.
Komunitas sastra memiliki pengaruh besar dalam menentukan apa yang dianggap sastra dan apa yang tidak. Mereka menetapkan standar kualitas dan konvensi yang menjadi acuan bagi penulis dan pembaca. Pengakuan dari komunitas sastra memberikan legitimasi dan mempengaruhi penerimaan karya tersebut di masyarakat luas.
Ke depan, tantangan dan peluang bagi sastra akan terus berkembang dengan pengaruh teknologi digital.
Artikel Lainnya
-
127708/10/2020
-
236308/05/2020
-
129223/04/2020
-
Membangun Desa dengan Pariwisata
25207/11/2023 -
Resesi Seks dan Penurunan Angka Total Fertility Rate di Indonesia
26413/04/2024 -
Belajar Kiat Jitu Singapura Tingkatkan Keberadaban Digital
101708/03/2021