Revisi UU Penyiaran dan Upaya Pengkerdilan Demokrasi?

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Revisi UU Penyiaran dan Upaya Pengkerdilan Demokrasi? 16/09/2024 1053 view Hukum Sumber Gambar: Digo Id

Dalam beberapa waktu terakhir, wacana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi RUU Penyiaran Publik mengundang perhatian banyak pihak, termasuk pribadi saya sendiri. Perubahan yang diusulkan ini tidak hanya mencerminkan langkah mundur dalam penataan regulasi penyiaran, tetapi juga menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.

Salah satu poin yang paling mengkhawatirkan adalah Pasal 50 B ayat (2) huruf C dari RUU Penyiaran Publik, yang menyatakan larangan terhadap liputan investigasi jurnalistik. Bagi saya, ini adalah bentuk pengkerdilan terhadap salah satu pilar utama demokrasi, yakni kebebasan pers. Liputan investigasi adalah bentuk jurnalisme yang paling kritis, bertujuan mengungkap kebenaran yang sering kali tersembunyi di balik lapisan kepentingan politik dan ekonomi.

Dalam sejarahnya, liputan investigasi jurnalistik telah memainkan peran penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas. Banyak skandal besar yang terungkap melalui kerja keras para jurnalis investigatif. Misalnya, kasus Watergate di Amerika Serikat yang diungkap oleh The Washington Post atau kasus korupsi di Petrobras di Brasil yang diungkap oleh media lokal. Tanpa kebebasan untuk melakukan investigasi, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan akan semakin merajalela tanpa ada yang mengawasi.

Berdasarkan data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang tahun 2023, terdapat 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang terkait langsung dengan upaya mereka melakukan liputan investigasi. Angka ini menunjukkan betapa beratnya tantangan yang dihadapi oleh jurnalis kita dalam mengungkap kebenaran. Dengan adanya pasal yang melarang liputan investigasi, kita sama saja memberikan lampu hijau kepada pihak-pihak yang ingin menutupi kebusukan mereka, sekaligus merampas hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar.

Tidak hanya itu, revisi UU Penyiaran ini juga berpotensi membungkam kritik dan menghalangi akses publik terhadap informasi yang objektif dan berimbang. Padahal, seperti yang diungkapkan oleh A.J. Liebling, seorang kritikus media ternama, "Kebebasan pers hanya dijamin bagi mereka yang memiliki pers." Artinya, jika regulasi penyiaran semakin ketat dan membatasi, hanya pihak-pihak tertentu saja yang memiliki akses untuk menyampaikan informasi, sementara suara-suara kritis akan semakin terpinggirkan.

Perubahan ini juga mengancam demokrasi kita. Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang bebas dan independen sebagai pilar penyangga. Media berfungsi sebagai pengawas kekuasaan, menyuarakan kepentingan publik, dan memberikan ruang bagi diskusi dan debat yang konstruktif. Tanpa media yang bebas, demokrasi akan kehilangan salah satu elemen pentingnya dan berpotensi jatuh ke dalam otoritarianisme.

Menurut hasil survei dari Dewan Pers, kebebasan pers di Indonesia Survei IKP 2023 menghasilkan nilai IKP Nasional sebesar 71,57 turun 6,30 poin dari IKP 2022. Ini adalah sinyal bahwa kita harus lebih waspada terhadap segala bentuk regulasi yang berpotensi menghambat kebebasan pers. RUU Penyiaran Publik dengan larangan terhadap liputan investigasi ini hanya akan memperburuk situasi dan menambah tekanan bagi media untuk tunduk pada kepentingan penguasa.

Sebagai masyarakat, kita harus bersuara menentang revisi UU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers ini. Kita perlu mengingatkan para pembuat kebijakan bahwa kebebasan pers adalah hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi dan merupakan bagian integral dari demokrasi. Seperti yang diungkapkan oleh Thomas Jefferson, "Kebebasan pers adalah salah satu benteng utama kebebasan." Tanpa kebebasan pers, kebebasan kita sebagai warga negara juga akan terancam.

Langkah konkret yang bisa kita ambil adalah dengan terus menyuarakan penolakan terhadap pasal-pasal yang membatasi kebebasan pers dalam RUU Penyiaran Publik. Kita bisa menggunakan media sosial, petisi online, dan forum-forum diskusi untuk menyampaikan kekhawatiran kita. Selain itu, mendukung jurnalis dan organisasi media yang berkomitmen pada jurnalisme investigatif juga penting, karena mereka adalah garda terdepan dalam perjuangan untuk kebenaran dan keadilan.

Dalam situasi yang semakin kompleks ini, kita juga perlu mengedukasi diri dan orang-orang di sekitar kita tentang pentingnya kebebasan pers dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Pengetahuan adalah kekuatan, dan dengan memahami isu ini secara mendalam, kita bisa menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar untuk mempertahankan kebebasan pers dan memperkuat demokrasi di Indonesia.

Revisi UU Penyiaran dengan pasal yang melarang liputan investigasi bukanlah jalan yang tepat untuk memperbaiki regulasi penyiaran di Indonesia. Sebaliknya, ini adalah langkah mundur yang mengancam kebebasan pers dan demokrasi kita. Sebagai pemerhati isu HAM, saya mengajak kita semua untuk berdiri bersama dalam menolak upaya pengkerdilan ini dan terus berjuang untuk kebebasan pers yang sejati, karena pada akhirnya, mendukung kebebasan pers adalah mendukung demokrasi dan hak asasi manusia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya