Reifikasi dan Salah Kaprah Deradikalisasi

Alumni STFK Ledalero, Guru SMAK Fransiskus Saverius Ruteng, Flores
Reifikasi dan Salah Kaprah Deradikalisasi 03/11/2019 3239 view Opini Mingguan Huniewicz-Flickr, 2013

Hari-hari ini ruang publik kita diramaikan oleh perdebatan seputar gagasan deradikalisasi yang kontroversial dari Fachrul Razi. Sebagai Menteri Agama, Fachrul memiliki tanggung jawab terhadap kebangkitan dan perkembangan paham-paham keagamaan radikal yang selama ini ada secara nyata di Indonesia. Dalam rangka itu, program deradikalisasi dilancarkan guna memerangi radikalisme dan sel-selnya.

Problem kemudian muncul ketika Fachrul menyatakan perang terhadap radikalisme (deradikalisasi) sama dengan perang terhadap atribut-atribut keagamaan. Ia lantas menegaskan rencananya untuk melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang di lingkungan pemerintah. Menurut Fachrul, radikalisme berhubungan erat dengan mode pakaian, sehingga agar tidak divonis sebagai penganut paham radikal, seseorang tidak boleh memakai cadar dan celana cingkrang. Dengan kata lain, Fachrul berpandangan bahwa memakai cadar dan celana cingkrang adalah tindakan radikal yang mengarah kepada aksi terorisme.

Apa yang keliru dari pandangan seorang Jenderal bekas wakil panglima TNI ini? Fachrul terjebak dalam kerangkeng pemikiran yang menyederhanakan radikalisme hanya sebatas pada atribut keagamaan tertentu. Pada saat yang sama, ia membendakan radikalisme pada cadar dan celana cingkrang. Padahal, radikalisme adalah paham, ideologi, atau pemikiran yang berwatak rohani atau tidak eksis dalam wujud fisik kebendaan.

Pandangan Fachrul tentang radikalisme adalah bentuk reifikasi atau pembendaan realitas rohani (pemikiran, paham, ideologi). Secara teoritis reifikasi atau pembendaan (Verdinglichung) adalah gagasan Georg Lukacs, seorang intelektual Marxis, yang mengikuti konsep fetisisme Karl Marx mengatakan bahwa kualitas, relasi, tindakan dan pikiran manusia dapat dibendakan sebagai komoditas. Dalam pandangan Marx, fetisisme komoditas adalah realitas pemujaan terhadap benda-benda hasil karya manusia, seperti penganut agama Zuni memahat patung dan kemudian menyembahnya (Ritzer dan Goldman, 2016:48).

Mencermati pandangan Jenderal Fachrul tentang radikalisme dan sasaran deradikalisasi, kita menemukan tendensi pembendaan (Verdinglichung) terhadap pemikiran, ideologi, atau paham radikalisme. Sang Jenderal melakukan ‘pemujaan’ terhadap kebendaan cadar dan celana cingkrang, seolah-olah dua barang itulah inti dari radikalisme. Proyek deradikalisasi lantas menyasar orang-orang yang memakai dua barang tersebut. Logikanya Fachrul menegaskan bahwa pemakai cadar dan celana cingkrang adalah kaum radikal yang harus ditumpas, meskipun hal itu belum tentu benar.

Selain itu, kelompok radikal yang sebenarnya bisa saja memakai atribut lain untuk mengelabui masyarakat. Saya menduga, kelompok teroris yang mengetahui logika Fachrul akan menanggalkan cadar dan celana cingkrang lalu mengenakan jas yang rapi ketika hendak menghancurkan sebuah gedung.

Lebih lanjut, watak apa yang tampak dari penanganan radikalisme a la Fachrul? Hemat saya, paling kurang ada tiga hal. Pertama, penanganan terhadap radikalisme agama oleh Fachrul dilakukan dengan menonjolkan radikalisme kekuasaan otoriter. Dengan memandang pemakai cadar dan celana cingkrang sebagai golongan radikal, Fachrul sebenarnya sedang berlaku otoriter sebab mengatur penggunaan atribut yang adalah hak privat individu. Sikap otoriter Sang Jenderal tampak dalam hal membuat identifikasi secara sewenang-wenang terhadap siapa saja yang mengenakan dua atribut tersebut. Dengan kata lain, ia melokalisasi kebenaran hanya dalam dirinya, bahwa pemakai dua atribut tersebut adalah kaum radikal sehingga harus diberantas.

Kedua, hal lain yang tampak dalam pandangan Fachrul adalah sikap atau watak prailmiah. Sikap prailmiah ditandai oleh keyakinan berlebihan pada dugaan-dugaan tertentu yang belum dapat diverifikasi kebenarannya. Rencana pelarangan cadar dan celana cingkrang lahir dari keyakinan atas dugaan umum bahwa kebanyakan teroris selama ini menggunakan dua atribut tersebut.

Namun demikian, hal ini belum teruji secara ilmiah melalui verifikasi yang mendalam. Apakah seorang yang menghancurkan Masjid dan membunuh umat yang sedang berdoa di Christchurch Selandia Baru bukan seorang teroris radikal? Sikap prailmiah adalah hasil dari kemalasan melakukan penyelidikan yang kemudian berujung pada keyakinan yang berlebihan terhadap dugaan atau prasangka.

Ketiga, alih-alih melakukan deradikalisasi, pandangan Fachrul akan menumbuhkan bibit-bibit baru radikalisme yang lebih keras dan massal. Jika pandangan ini tersebar dan diterima secara umum, orang akan merasa bahwa cadar dan celana cingkrang adalah dua atribut tabu yang hanya dipakai oleh kaum radikal dan teroris. Atas dasar pandangan seperti itu, apalagi mendapat legitimasi hukum dan sosial dari seorang menteri agama, bukan tidak mungkin akan terjadi pembasmian terhadap pengguna dua atribut tersebut. Dalam hal ini Sang Menteri Agama sebenarnya sedang melancarkan penghasutan massal untuk membenci dan bahkan menghabiskan pemakai cadar dan celana cingkrang.

Ketimbang terjebak dalam reifikasi yang membahayakan, Kementerian Agama seharusnya merancang proyek deradikalisasi yang lebih rasional. Hemat saya, teknik deradikalisasi yang paling mendesak dilakukan adalah menjalin kerja sama antara Kementerian Agama dengan tokoh-tokoh agama, sekolah-sekolah berbasis keagamaan (misalnya pesantren), dan komunitas keagamaan lainnya. Kerja sama yang dimaksud tidak menyasar hal-hal atribusi keagamaan, tetapi menyentuh hal-hal fundamental yang berhubungan dengan pemikiran, paham, dan ideologi yang dianut.

Kementerian Agama seharusnya segera keluar dari pandangan yang keliru dan rancangan deradikalisasi yang salah kaprah agar tidak menampilkan komedi tragik secara berkepanjangan. Hal yang mendesak dilakukan hari ini adalah deradikalisasi pola pikir kaum radikal dengan cara menumbuhkan literasi keagamaan (Karim, 2017). Literasi keagamaan bertujuan untuk menyosialisasikan pengetahuan keagamaan yang moderat dan toleran. Seorang penganut agama harus memahami agamanya, memahami konteks relasional agama-agama serta evolusi setiap agama agar betul-betul memahami pentingnya sikap toleransi antaragama di jagat Nusantara.

Selain itu, ranah pendidikan sebagai saluran yang rentan terpapar radikalisme harus didorong untuk mengampanyekan multikulturalisme, baik dalam teori maupun praktik hidup harian. Siswa dan mahasiswa mesti dibiasakan bersikap toleran dalam lingkungan akademik yang beragam dalam segi agama, pandangan atau ideologi, suku, etnik, dan budaya. Pancasila sebagai fundamen kebangsaan Indonesia sudah menyediakan perangkat bagi upaya pencapaian sikap toleransi antaragama.

Dengan demikian, sikap dan tindakan radikal dapat diminimalisasi oleh perubahan pola pikir fundamentalis dan radikalis menjadi Pancasilais.Radikalisme berhubungan dengan pola pikir ideologis, bukan atribut fisik, sehingga program penanganannya harus menyasar perubahan pola pikir, bukan pelarangan pemakaian cadar dan celana cingkrang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya