Ratifikasi CAT: Komitmen Serius atau Sekadar Formalitas?

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM di Lembaga Pusat Riset dan Kajian HAM
Ratifikasi CAT: Komitmen Serius atau Sekadar Formalitas? 29/07/2024 508 view Hukum Sumber Gambar: LBH Jakarta

Dalam perjalanan negeri ini untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), salah satu langkah penting adalah ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Against Torture, CAT). Ratifikasi ini seharusnya menandakan komitmen serius pemerintah dalam menghapuskan segala bentuk penyiksaan. Namun, setelah beberapa tahun berjalan, saya merasa perlu untuk merenungkan kembali sejauh mana implementasi ketentuan-ketentuan CAT dalam sistem hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Apakah ada perubahan signifikan dalam kebijakan atau praktik di lapangan? Atau justru ratifikasi ini hanya sekadar formalitas?

Sejak diberlakukan tanggal 26 Juni 1987 dan negara kita meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Langkah ini, secara formal, menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menghapus segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Namun, komitmen di atas kertas tidak selalu tercermin dalam praktik di lapangan. Salah satu indikator utama yang perlu kita perhatikan adalah seberapa efektif implementasi ketentuan-ketentuan CAT dalam regulasi dan penegakan hukum.

Ketika Indonesia meratifikasi CAT, harapan tinggi terpatri dalam benak masyarakat yang mendambakan keadilan. Ratifikasi ini memberikan harapan bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia akan semakin diperkuat dan penyiksaan akan diberantas hingga akar. Namun, kenyataan di lapangan sering kali tak seindah harapan.

Dalam praktiknya, saya melihat bahwa banyak kebijakan yang diimplementasikan belum menunjukkan hasil yang signifikan. Misalnya, meskipun ada upaya untuk menghapuskan penyiksaan dalam proses interogasi oleh aparat penegak hukum, mengutip data dari YLBHI-LBH, per tahun 2022-2023 tercatat sekitar 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil yang diproses hingga tuntas. Fakta ini mengindikasikan bahwa masih ada kesenjangan besar antara kebijakan di atas kertas dan implementasi di lapangan.

Hingga tahun 2023, Indonesia telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama hak asasi manusia PBB, tetapi pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan, masih sering terjadi. Data ini menunjukkan bahwa ratifikasi instrumen internasional belum mampu secara signifikan mengurangi pelanggaran di lapangan.

Saya sering kali merasa bahwa ratifikasi CAT ini digunakan sebagai alat untuk membangun citra positif di mata internasional. Dengan ratifikasi ini, pemerintah bisa menunjukkan kepada dunia bahwa mereka berkomitmen terhadap HAM. Namun, apa artinya komitmen ini jika tidak diikuti dengan tindakan nyata? Kutipan dari Eleanor Roosevelt, salah satu tokoh penting dalam penyusunan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sangat relevan dalam konteks ini: "Hak asasi manusia dimulai di tempat-tempat kecil, dekat dengan rumah – begitu dekat dan begitu kecil sehingga mereka tidak terlihat dalam peta dunia. Namun, mereka adalah dunia dari setiap individu."

Saya melihat bahwa masalah utama terletak pada kurangnya keseriusan dalam penegakan hukum. Banyak kasus penyiksaan yang dilaporkan tidak diinvestigasi secara mendalam atau tidak berujung pada penuntutan yang adil. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku penyiksaan justru mendapatkan perlindungan dari institusi tempat mereka bekerja. Hal ini menciptakan impunitas yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Selain itu, ada juga tantangan struktural yang membuat implementasi CAT tidak berjalan optimal. Misalnya, masih adanya budaya kekerasan dalam institusi penegak hukum. Penyiksaan sering kali dianggap sebagai metode yang sah untuk mendapatkan pengakuan atau informasi dari tersangka. Mentalitas ini harus diubah melalui pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan. Namun, perubahan budaya memerlukan waktu dan komitmen yang konsisten.

Ada juga masalah transparansi dan akuntabilitas. Banyak kasus penyiksaan yang tidak pernah terungkap karena korban takut melapor atau karena kurangnya mekanisme pelaporan yang efektif. Laporan dari Human Rights Watch pada tahun 2023 menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa kemajuan, masih banyak hambatan dalam akses terhadap keadilan bagi korban penyiksaan.

Namun, tidak semua upaya pemerintah sia-sia. Ada beberapa inisiatif positif yang patut diapresiasi. Misalnya, program-program pelatihan untuk aparat penegak hukum tentang hak asasi manusia dan teknik interogasi tanpa kekerasan. Selain itu, ada juga upaya untuk memperkuat mekanisme pengawasan internal dalam institusi penegak hukum. Namun, inisiatif ini perlu diperluas dan diimplementasikan secara konsisten.

Dalam menghadapi tantangan ini, saya percaya bahwa peran masyarakat sipil sangat penting. Organisasi masyarakat sipil dapat menjadi pengawas yang efektif terhadap implementasi CAT dan memberikan dukungan kepada korban penyiksaan. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional diperlukan untuk memastikan bahwa komitmen terhadap CAT bukan sekadar formalitas.

Melalui tulisan ini, saya berharap kita semua dapat lebih kritis dalam melihat sejauh mana implementasi ketentuan-ketentuan CAT di Indonesia. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus menjadi prinsip utama dalam penegakan HAM. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa ratifikasi CAT benar-benar membawa perubahan positif dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip Nelson Mandela, yang pernah berkata, "Untuk bebas bukan hanya membuang rantai sendiri, tetapi hidup dengan cara yang menghormati dan meningkatkan kebebasan orang lain." Kutipan ini mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan penyiksaan dan penegakan HAM adalah tanggung jawab bersama. Hanya dengan komitmen yang sungguh-sungguh dan tindakan nyata, kita bisa membangun Indonesia yang lebih adil dan berkeadilan bagi semua.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya