Potret Buram Pembangunan Pariwisata Super Premium di Labuan Bajo
Terbit dan berlakunya Perpres No. 32 Tahun 2018 resmi menempatkan Labuan Bajo sebagai salah satu destinasi super prioritas atau yang populer dengan istilah super premium. Mulanya presiden Jokowi mengumumkan sepuluh destinasi yang disebut sebagai sepuluh Bali baru. Empat dari sepuluh Bali baru tersebut (termasuk Labuan Bajo) ditetapkan sebagai destinasi wisata super premium.
Desain pariwisata super premium di satu sisi mendatangkan keuntungan besar bagi sektor pariwisata namun di sisi lain membawa malapetaka bagi masyarakat lokal. Suatu realitas yang tak dapat disangkal bahwa sejak Labuan Bajo mulai didesain sebagaimana mestinya destinasi pariwisata super premium, banyak problem yang kemudian bermunculan.
Dalam konsep pembangunannya, desain pariwisata super premium memang dilakukan dengan dalih keberlanjutan konservasi alam Labuan Bajo sebagai sasaran pembangunan. Sayangnya, praktik pembangunan tersebut justru memunggungi prinsip konservasi. Tak hanya itu, gencarnya pembangunan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang membuat masyarakat semakin terdesak “ke pinggir”. Dalam rumusan lain, pembangunan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan status pariwisata di Labuan Bajo menjadi pariwisata super premium telah meminggirkan masyarakat asli Labuan Bajo.
Jurang kesenjangan kepemilikan agraria pun semakin lebar. Mereka yang bermodal akan dengan mudah merogoh kocek dan ujungnya akan menjadi pemilik beberapa lokasi strategis. Sementara itu, masyarakat lokal yang tergolong dalam masyarakat tak bermodal akan merasa mustahil untuk dapat menjadi pemilik daerah strategis sebab secara finansial mereka kalah saing. Akibatnya, terjadi privatisasi beberapa spot wisata yang sebenarnya merupakan tempat umum (public place).
Privatisasi tempat-tempat strategis selanjutnya akan menggeliatkan pertumbuhan perekonomian yang berlangsung secara eksklusif. Artinya, hanya mereka yang bermodal saja yang akan memanen hasil berlipat-lipat. Pengelolaan secara eksklusif sama sekali tidak membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal.
Dalam kaca mata penulis, problem lain yang tak kalah krusial ialah problem seputar tenaga kerja. Sumber daya manusia masyarakat lokal yang tergolong rendah tentu menjadi masalah tersendiri.
Persaingan dunia kerja yang berlangsung ketat tanpa kompromi membuat kebanyakan masyarakat lokal kalah bersaing. Mereka bukan lagi menjadi pekerja tetap di wilayah mereka tetapi malah menjadi pekerja tak tetap dan bahkan tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali. Hal ini karena banyak investor yang berinvestasi di Labuan Bajo memilih untuk mendatangkan para pekerja dari wilayah lain (misalnya wilayah pulau Jawa) yang tergolong memiliki sumber daya manusia yang mumpuni serta terampil dalam bekerja.
Maka, masalah terkait tenaga kerja menjadi pekerjaan rumah yang juga harus diselesaikan baik oleh pemerintah daerah maupun oleh pemerintah pusat. Poinnya, bagaimana agar masyarakat lokal mampu bersaing dengan para pekerja dari luar wilayah Labuan Bajo.
Meski didominasi oleh wisatawan domestik, pariwisata di Labuan Bajo kembali bergeliat. Meredanya gempuran badai Covid-19 menjadi alasan utama mengapa Labuan Bajo beberapa pekan belakangan ini ramai dikunjungi. Di tengah kunjungan wisatawan yang kembali ramai, muncul persoalan laten yang sedari awal terjadi di Labuan Bajo.
Kepada media infoPERTAMA.com, ketua ForMata (Forum Anti Mafia Tanah) Vinsen Sarundi mengungkapkan setidaknya ada tiga masalah laten yang terjadi di Labuan Bajo. Sebagaimana yang diungkapkan Vinsen, masalah pertama terkait tanah Transmigrasi Lokal (Translok). Dari 200 Kepala Keluarga, ada 35 Kepala Keluarga (KK) Translok yang belum mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah yang disebut sebagai Lahan Usaha.
Masalah yang kedua yakni terkait adanya oknum-oknum yang patut diduga sebagai mafia tanah yang diam-diam menjual tanah adat/ulayat dari Kesatuan Masyarakat Adat yang kemudian menimbulkan konflik dengan masyarakat adat. Target utama para mafia tanah adalah tanah-tanah yang belum memiliki sertifikat kepemilikan yang sah. Adapun masalah tanah ketiga adalah penjualan tanah yang berada dalam kawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wae Wu’ul (InfoPERTAMA.com 25 Mei 2022).
Bukan itu saja, problem lain yang tengah menyita perhatian media dan masyarakat lokal yakni terkait proyek geothermal Wae Sano dan pemanfaatan hutan Bowosie. Sampai hari ini proyek geothermal Wae Sano terpaksa harus tersendat-sendat sebab mendapat penolakan keras dari warga setempat. Warga secara terang-terangan menolak proyek geothermal Wae Sano sebab berpotensi membawa kerugian besar.
Sementara itu, dalam konteks kasus pemanfaatan hutan Bowosie pemerintah jelas-jelas hadir sebagai salah satu pihak yang turut andil dalam merampas hak masyarakat lokal. Betapa tidak, ketika warga mati-matian menghadang dan menolak penggusuran kawasan hutan Bowosie, pemerintah justru mengerahkan pihak keamanan (TNI dan Polri) untuk mengawal kegiatan penggusuran.
Sungguh miris, suara penolakan warga seolah hanya terdengar sayup-sayup saja di telinga pemerintah. Suara investor seperti lebih lantang sehingga selalu mampu mendominasi suara masyarakat lokal. Konsekuensi logisnya yakni pemerintah akan selalu memberi karpet merah bagi para investor. Padahal keputusan yang demikian secara langsung akan mengebiri hak-hak masyarakat lokal.
Sederet persoalan di atas merupakan potret buram pembangunan pariwisata super premium di Labuan Bajo. Harusnya pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap proses pembangunan yang sudah-sudah. Terlebih jika selalu diperhadapkan dengan masyarakat lokal yang bersikeras menolak beberapa proyek pemerintah.
Pariwisata Super Premium di Labuan Bajo: Siapa yang Sejahtera?
Dalam konteks desain pembangunan pariwisata super premium di Labuan Bajo, propaganda “pembangunan demi kesejahteraan masyarakat” rasa-rasanya hanya sebatas propaganda kuno yang tidak berlebihan jika dibilang sudah basi. Logisnya, apabila masyarakat lokal secara keras melakukan penolakan terhadap beberapa pembangunan, hal itu sudah barang tentu merugikan masyarakat itu sendiri. Tidak ada masyarakat yang terlalu tolol sampai-sampai menolak untuk disejahterakan negara.
Hal ini berarti jika masyarakat menolak dengan alasan serta bukti yang kuat sebagai fondasi penolakan, maka jelas bahwa pembangunan tersebut bukan menyejahterakan masyarakat tetapi hanya akan mempertebal pundi-pundi keuangan investor sekaligus membawa malapetaka bagi masyarakat. Tentu suatu hal yang sangat wajar jika masyarakat berbondong-bondong melakukan aksi penolakan sebab sangat boleh jadi masyarakat juga berhasil mengendus “niat busuk” dibalik pembangunan yang dilakukan.
Dengan alasan itu, pertanyaan yang wajib dilontarkan terkait pembangunan pariwisata super premium di Labuan Bajo ialah “siapa sebenarnya yang sejahtera?”. Jika memang untuk kesejahteraan masyarakat, mengapa masih ada sekian banyak masyarakat yang justru merasa dirugikan serta merasa hak-haknya diamputasi dan dikebiri.
Sadar atau tidak, sejak didesain sebagai destinasi wisata super premium, distribusi pendapatan masyarakat di Labuan Bajo justru stagnan. Terlebih masyarakat pengusaha kelas menengah ke bawah. Alasannya yakni karena kehadiran para investor telah mendominasi perekonomian di Labuan Bajo. Dengan alasan itu, dalam bingkai pembangunan pariwisata super premium di Labuan Bajo, tak heran jika banyak orang sampai pada generalisasi bahwa Jokowi sebenarnya merupakan presiden yang pro investor.
Artikel Lainnya
-
228304/03/2020
-
128310/06/2021
-
106002/08/2020
-
Ekosistem dan Keberlangsungan Pangan
115511/07/2021 -
Pendidikan Karakter dan Budaya Keselamatan di Jalan Raya
400713/12/2020 -
Inisiatif Gerakan Sosial Revolusioner di Tengah Pandemi
204826/04/2020