Pinjol Ilegal A*U Tenan Kok...!

Admin The Columnist
Pinjol Ilegal A*U Tenan Kok...! 15/10/2021 2164 view Iktirad Iyeng Pinterest.com

Bayangkan saja begini. Di tengah malam buta, Anda menerima pesan: "Hei an*ing, bayar hutang mu. Bisanya cuma berhutang...".

Pesan yang sama sekali tak asyikk.. Apalagi kalau selama ini Anda dibesarkan, hidup dan bekerja di lingkungan yang menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun.

Tapi sialnya, Anda tahu pesan itu 'ada benarnya'. 

Ada benarnya. Karena dulu Anda memang pernah berhutang. Walau cuma sedikit, lalu menggunung karena bunga yang mencekik, tapi ya itu. Ada benarnya. Anda memang pernah berhutang.

Dan Anda juga tahu. Pesan serupa bukan kali pertama. Puluhan bahkan ratusan pesan yang sama sudah mendarat lembut di ponsel Anda. Dan ini tak akan berhenti sampai hutang yang bunganya sudah menggunung itu bisa terbayarkan.

Ok..ok.. Saya paham. Anda, Anda, dan Anda yang badannya gede, berotot karena doyan fitnes, tentu tak takut. "Coba aja datang ke sini. Cecunguk-cecunguk debt collector suruhan Pinjol ilegal itu biar tak remuk tulang-tulangnya."

Maaf bung, tak mungkin begitu. Ini era digital. Kekuatan tak diukur dari besarnya otot tubuh. Tapi dari besarnya penguasaan informasi.

Debt collectornya Pinjol ilegal tak akan pernah mendatangi kediaman Anda. Lha ngapain..? Selain tubuh yang mungkin kurus ceking karena cuma diupah sebungkus mie dan segelas kopi per hari sehingga mustahil bisa menang melawan Anda, mereka sudah menguasai informasi tentang diri Anda.

Siapa Anda, istri, anak, kerabat, bos di tempat kerja, sampai rekan kerja dan sepermainan, itu semua mereka sudah tahu. Karena Anda sendiri yang mengijinkan mereka untuk mengakses semua informasi yang ada di ponsel ketika mengajukan peminjaman dulu.

Dengan mengancam bahwa informasi Anda berhutang disebar ke semua orang-orang itu, pasti nyali Anda mengkerut. Anda tak bisa membayangkan, apa jadinya kalau dunia tahu bahwa manusia sesempurna Anda ternyata berhutang ke rentenir, tak pula sanggup membayar.

Yahh... memang kenyataannya demikian. Pencanggihan-pencanggihan teknologi informasi seolah memihak mereka, Pinjol ilegal alias rentenir digital.

Dulu sebelum jaman onlen-onlenan, begundal-begundal ini cukup lembut dan santun memperlakukan nasabahnya. Hubungan rentenir dan nasabah tak ubahnya seperti dua sosok yang saling mencintai. Tak dapat hidup bila tak bersama. Saling butuh.

Rentenir takut kalau ada yang tahu diri mereka adalah rentenir. "Eh..eh  si Anu ternyata rentenir lho.. Uedannn. Ra nyongko blass...". Mereka akan merasa malu di hadapan masyarakat. Bahkan bisa jadi dikucilkan dari pergaulan.

Pas kumpul-kumpul, trus mau nraktir kopi temannya, pasti mereka gak mau. Lha uang haram jeee.. Pas pergi kondangan, trus ngamplopi yang tebalnya masyaalloh sekalipun, yang manten pasti menolak. "Uang panas ommm...!". Si lintah darat ini akan hidup terasing, dikucilkan masyarakat.

Kata orang-orang, “Apa gunanya dandan parlente, bermobil, tapi ternyata lintah darah. Ngisapi darah tonggo ne dewe…”.

Kalau nasabah, ya sama juga. Mereka juga merasa nganu kalau orang-orang tahu dirinya berurusan dengan rentenir. "Mase kuwi lho.. ngutang ke rentenir. Wis numpuk.. ".

Anda sudah tahu kan bagaimana tak enaknya hidup dengan penghargaan yang rendah dari orang-orang sekitar. Sudahlah kere, banyak hutang, hutangnya ke rentenir lagi. Sudahpun begitu, tak pula bisa bayar. Sempurna!

Jalan ke pasar, dilihat orang-orang dengan tatapan hina. Beli sayur ke warung, dighibahi tetangga. “Ati..ati.. ntar ra sanggup mbayar..”. Bahkan mungkin saja saudara-saudaranya juga mengatur jarak. "Jangan dekat-dekat, nanti malah dihutangi untuk bayari hutang ke rentenir...".

Jadi begitu. Karena sama-sama akan malu kalau diketahui orang, rentenir dan si nasabah kerja sama menutup-nutupi kelakuan mereka. Seperti cinta haram yang disembunyikan.

Tapi ya itu duluuuu…

Sejak teknologi informasi berkembang, situasi rentenir dan nasabah sudah berubah. Rentenir berhasil menjadi Pinjol ilegal, sedangkan nasabah, salah satunya mungkin Anda, tak mengalami perubahan.

Dengan teknologi informasi yang canggih, Pinjol ilegal ini bisa mengutangi Anda tanpa Anda tahu siapa mereka dan di mana rumah mereka. Kalau informasi tentang itu saja Anda tak tahu, apalagi anak, istri-suami, kerabat dan rekan kerja begundal-begundal lintah darat digital ini.

Sedangkan Pinjol ilegal justru sebaliknya. Mereka tahu siapa Anda, lha no dan foto KTP diri Anda saja sudah diberikan kok pas awal proses peminjaman. Mereka juga tahu siapa saudara Anda, bekerja di mana, siapa saja teman dan kerabat Anda. Karena mereka bisa mengakses semua yang ada di ponsel Anda. Mulai dari foto dan video yang serius, sampai yang nganu-nganu.. Itu semua, mereka bisa ngintipi.

Komunikasi rentenir dan Anda sebagai nasabah gak setara.

Lintah darat digital ini gak terancam rasa malu. Jadi santai-santai saja. Mentraktir kerabat dengan uang hasil memeras Anda, bisa. Membayari teman-teman mereka indehoi di hotel, bisa. Toh di mata masyarakat mereka bukanlah lintah darat, tapi financial practitioner. Keren kan ya kedengarannya...

Adapun Anda sebagai nasabah, runyam.

Karena identitas dan semua informasi diri dikuasai si rentenir, Anda tak bisa berbuat apa-apa kalau si Pinjol ilegal mengumumkan ke publik kalau Anda nasabah rentenir yang gagal bayar.

Nasib Anda ada di tangan Pinjol ilegal. Mulanya orang-orang tak tahu kalau Anda nasabah rentenir digital. Yang tahu itu cuma si Pinjol ilegal seorang. Jadi kalau sekarang orang-orang masih menghargai diri Anda, itu berkat kebaikkan hati di lintah darat digital ini. Dan atas kebaikkan itu, Anda harus mampu membayar…eh, maksud saya, harus mau dieksploitasi habis-habisan oleh si Pinjol. Berapa hutang Anda dan bagaimana jatuh temponya, semua ditentukan si begundal ini. Anda harus patuh. Karena ingat! Orang-orang masih menghargai Anda lantaran kebaikkan hati si lintah darat ini.

Andai saja Anda membandel, tak mau memenuhi birahi mereka, rasakan akibatnya.

Teror Pinjol bisa beragam bentuk. Misalnya nih, "Boss... itu suruh si Anu bayar hutangnya. Sudah jatuh tempo ini", bunyi pesan WA mereka ke atasan Anda di kantor.

Ini masih mending. Gimana jadinya kalau semua orang di kontak ponsel Anda dijadikan satu grup WA, trus dikirimi pesan-pesan ngaudubillah begitu. Bagaimana harga diri Anda sebagai makhluk sosial...? Malunya sampai ke ubun-ubun.

Satu-satunya jalan, membayar hutang yang tak habis-habis. Satu-satunya takdir, hidup menjadi sapi perah Pinjol ilegal.

Kabar baiknya, beberapa hari lalu Presiden Jokowi murka kepada Pinjol ilegal. Pesannya ke pak polisi cukup sederhana, seolah mau bilang "broo... itu Pinjol-Pinjol sontoloyo cepat ditertibkan. Rakyat sudah menjerit ini...".

Dan terang saja. Pak Polisi menjadi beringas memberantas lintah darat digital. Puluhan atau mungkin ratusan 'fintech practitioner' tertangkap. Begundal-begundal itu akan dijerat dengan berbagai pasal.

Tapi sebetulnya itu belum cukup. Kalau kata rang-orang sih ya, rentenir itu lahir dari dua situasi. Ekonomi buruk dan tak tersedia regulasi. Masalahnya kedua hal itu ada di Indonesia saat ini.

Pandemi membuat banyak perusahaan oleng, bangkrut. Jutaan orang di PHK. Sedangkan UU Fintech, baru sedang diminta untuk digarap.

Bukannya sinis dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan aparat. Semua tentu bersyukur. Tapi selama ekonomi belum pulih dan UU Fintech belum ada, begundal-begundal digital ini akan terus muncul dengan cara yang lebih canggih. Anda, saya dan kita yang berasal dari ekonomi lemah ini akan selalu diintai mereka.

Jadi bagaimana, apakah Anda terintimidasi membaca esai ini. Merasa tertekan, begitu...?

Sekarang coba bayangkan bagaimana penderitaan saudara-saudara kita yang sedang terjerat lintah darat digital ini. Ratusan hari hidup tak tenang, sebagian bahkan memilih mengakhiri hidupnya. Pinjol ilegal a*u tenan kok...!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya