Pilkades dan Momentum Pembangunan Desa

Pilkades dan Momentum Pembangunan Desa 12/10/2021 634 view Politik dejurnal.com

Ketidakpuasan daerah-daerah di luar ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat ketidakmerataan pembangunan yang hanya berpusat di ibukota  menimbulkan berbagai pergolakan di daerah- daerah. Hal ini membuat negara harus berpikir panjang untuk lebih memperhatikan pembangunan daerah di luar ibu kota.

Maka dari itu, negara kemudian hadir diantaranya dengan menerbitkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pelimpahan Kekuasaan dan Wewenang dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk Mengatur Rumah Tangganya Sendiri. Tidak cukup sampai di situ, negara kemudian melihat bahwa meskipun sudah adanya pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, namun entitas terkecil dari adanya sebuah negara, yaitu desa belum tersentuh secara merata, bahkan tidak tersentuh karena wilayah kekuasaan daerah yang luas.

Keresahan masyarakat desa tersebut kemudian diamini pemerintah pusat dengan diterbitkannya Undang-Undang tentang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam UU tersebut menegaskan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kepentingan masyarakat desa yang dimaksud meliputi mengatasi kemiskinan/ mengurangi kesenjangan, meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat desa, mendorong pembangunan infrastuktur pedesaan yang berlandaskan keadilan dan kearifan lokal, meningkatkan pengamalan nilai-nilai sosial budaya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial, meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, mendorong keswadayaan dan gotong royong masyarakat desa serta meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan desa melalui Badan Usaha Milik Desa. Dalam mencapai tujuan tersebut, bukan hanya dibutuhkan sumber daya manusia, tetapi juga dibutuhkan sumber daya finansial. Melihat hal itu, di masa sistem pemerintahan Jokowi mengalokasikan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan merujuk pada undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 tersebut.

Namun, apa yang menjadi harapan masyarakat desa dan lewat dukungan penuh negara tersebut, belum sepenuhnya menjawab akar persoalan di desa hingga saat ini, yang disebabkan oleh berbagai macam faktor mulai dari korupsi dana desa yang mengalami peningkatkan. Terbukti Rata-rata setiap tahun terjadi 61 kasus korupsi sektor desa yang dilakukan oleh 52 kepala desa dan merugikan keuangan negara mencapai Rp.256 Miliar. Secara keseluruhan dari tahun 2015-2019 mencapai 1, 28 triliun (CNN Indonesia, 2019). Untuk itu, tidaklah heran kalau orang sering memelesetkan desentralisasi sebagai penyaluran praktek korupsi dari pusat ke desa.

Maka, ajang pemilihan kepala desa serentak pada tanggal 16 Oktober 2021 mendatang menjadi momentum refleksi periode kepengurusan periode-periode sebelumnya, agar desentralisasi yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, bukan hanya sekedar pemberian kekuasan dan penyaluran praktek korupsi. Tetapi, menjadi momentum untuk memberikan pelayanan lebih efektif dan efisien kepada masyarakat desa.

Pilkades yang merupakan bagian dari kegiatan politik, memerlukan keterlibatan atau partisipasi antara para calon dan masyarakat sebagai pemilih. Keduanya, mempunyai keterkaitan dalam mewujudkan pesta demokrasi di desa secara sehat.

Namun, sering kali pada prakteknya ambisi untuk mendapatkan kekuasaan membuat tak jarang banyak calon merogok kocek untuk memainkan politik uang, pemilih juga sering terjebak dalam kepentingan pragmatis tersebut sehingga pesta demokrasi juga menjadi tidak sehat.

Tak jarang juga kita jumpai bahwa kedekatan pribadi dipakai oleh masyarakat untuk menentukan pilihannya. Sehingga unsur praktek kolusi, nepotisme, dan budaya feodalisme masih sangat kental dirasakan. Maka, diperlukan pendidikan politik agar pesta demokrasi di desa menjadi tolak ukur pembangunan satu periode kepengurusan yang akan datang.

Pemilihan kepala desa serentak kali ini, kita harus melihat, memilah, dan memilih figur yang memiliki kapabilitas yang memadai dan ditunjang dengan moral yang baik memiliki visi-misi sesuai keadaan atau potensi yang ada di desa tersebut. Oleh karenanya, pemilih juga harus secara tegas menolak praktik money politic, bukan juga memilih seorang berdasarkan hubungan darah, bukan juga kedekatan secara emosional tetapi melihat latar belakang calon dan juga kemampuannya dalam memimpin. Sebab praktek pesta demokrasi di desa selama lima tahun adalah cerminan arah pembangun desa selama lima tahun yang akan datang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya