Pilkada: Saat Para Elit Mendadak Merakyat
Menjelang Pilkada serentak pada 27 November 2024 mendatang, ada fenomena menarik yang selalu muncul di setiap hajatan politik ini, yaitu para elit politik yang tiba-tiba berubah menjadi sosok yang “merakyat”. Mereka turun ke jalan, menyapa warga, mendatangi pasar tradisional, dan dengan wajah ramah melayani permintaan swafoto dari masyarakat. Seolah-olah, mereka sudah terbiasa menyatu dengan rakyat jelata. Fenomena ini terasa seperti pemandangan yang tak asing lagi, layaknya sebuah drama yang dimainkan setiap lima tahun sekali.
Namun, di balik senyum manis dan jabat tangan erat yang terlihat di layar kaca atau media sosial, saya merasa ada sesuatu yang menggelitik. Rasanya ada yang tidak tulus dari sikap para elit yang tiba-tiba begitu peduli dengan masyarakat. Bukan rahasia lagi bahwa di balik setiap tindakan mereka, ada kepentingan terselubung yang sedang dimainkan, yaitu kekuasaan. Pilkada, bagi mereka, adalah panggung besar untuk memperlihatkan seberapa "merakyat" mereka kepada calon pemilih. Pertanyaannya adalah: Benarkah sikap ini murni untuk rakyat, atau hanya demi meraih simpati agar mereka bisa duduk di kursi kekuasaan?
Momen Pilkada sering kali menjadi ajang bagi para elit politik untuk membangun citra diri. Mereka memanfaatkan setiap kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari rakyat, meskipun pada kenyataannya, beberapa dari mereka mungkin jauh dari realitas kehidupan sehari-hari masyarakat. Banyak dari mereka yang hanya muncul saat musim kampanye tiba. Dalam keseharian, kita jarang mendengar suara mereka atau melihat tindakan nyata yang benar-benar dirasakan langsung oleh rakyat.
Saya terkadang bertanya, apakah mereka benar-benar peduli? Atau, apakah ini semua hanyalah permainan strategi politik? Tindakan-tindakan yang tiba-tiba merakyat ini seperti manuver untuk mencuri perhatian, mengumpulkan suara, dan akhirnya meraih kemenangan dalam Pilkada. Mereka tahu bahwa dengan menunjukkan diri sebagai bagian dari rakyat kecil, simpati dan dukungan akan datang dengan sendirinya. Padahal, ketika mereka berhasil meraih kekuasaan, kepentingan rakyat justru seringkali terabaikan.
Ada sebuah ironi yang saya lihat di sini. Ketika mereka sibuk "mendekati" rakyat, apa yang sebenarnya mereka tawarkan? Janji-janji yang manis namun sering kali kosong? Solusi-solusi instan yang tampak baik di atas kertas tetapi sulit diwujudkan dalam realitas? Kita sudah sering mendengar janji-janji seperti perbaikan ekonomi, penanganan kemiskinan, hingga pembangunan infrastruktur. Tapi begitu Pilkada usai, semua janji itu seringkali lenyap seiring dengan berakhirnya kampanye. Hal ini mengingatkan saya pada kutipan dari seorang penulis politik, Joseph Schumpeter, yang mengatakan bahwa, "Politik demokrasi pada akhirnya adalah soal kompetisi untuk meraih kekuasaan, bukan soal melayani rakyat."
Fenomena para elit politik yang tiba-tiba merakyat menjelang Pilkada ini, menurut saya, tidak lebih dari sebuah permainan. Sebuah permainan yang penuh dengan kalkulasi, di mana kemenangan adalah tujuan utama, bukan keberpihakan pada rakyat. Para elit ini tidak peduli pada nasib rakyat yang sebenarnya, mereka hanya peduli pada bagaimana mereka dapat mempertahankan atau meraih kursi kekuasaan. Jika kita perhatikan, semua tindakan yang mereka lakukan selama kampanye adalah bagian dari strategi yang sudah disusun rapi oleh tim sukses mereka. Bahkan, interaksi mereka dengan masyarakat bisa jadi adalah hasil dari perencanaan matang yang melibatkan konsultan politik. Semua dilakukan demi citra dan popularitas.
Pilkada, bagi para elit, seolah-olah telah berubah menjadi ajang permainan. Mereka berkompetisi bukan untuk siapa yang bisa memberikan solusi terbaik bagi rakyat, melainkan siapa yang paling pandai membangun citra diri sebagai pemimpin yang peduli. Permainan ini sering kali diwarnai dengan berbagai taktik seperti bagi-bagi sembako, kunjungan mendadak ke kampung-kampung, hingga acara seremonial yang penuh dengan liputan media. Namun, apa hasilnya bagi rakyat? Apakah kesejahteraan rakyat meningkat setelah Pilkada? Atau, apakah semua hanya kembali seperti semula setelah momen ini berlalu?
Saya tidak ingin bersikap sinis, tetapi fakta-fakta yang ada sering kali membuat saya berpikir bahwa Pilkada lebih menjadi ajang untuk mempermainkan harapan rakyat. Saya sering kali merasa bahwa perhatian yang diberikan oleh para elit kepada rakyat hanyalah bersifat sementara, hanya untuk momen tertentu. Setelah mereka meraih kemenangan, fokus mereka pun berubah, dari rakyat ke lingkaran kepentingan mereka sendiri.
Yang lebih menyedihkan lagi, para elit ini sering kali datang ke tengah-tengah rakyat dengan janji-janji besar, tetapi tanpa tindakan nyata yang menyusul. Mereka mungkin menyebut diri mereka "bagian dari rakyat", tetapi apakah mereka benar-benar mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat? Atau, apakah mereka hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya? Ini adalah hal yang menurut saya patut kita pikirkan bersama. Dalam demokrasi, pemimpin seharusnya benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat, bukan sekadar pencari suara.
Ketika Pilkada datang, kita sebagai rakyat sering kali disodori banyak pilihan, tetapi sayangnya pilihan tersebut sering kali terasa semu. Para elit berlomba-lomba menarik perhatian dengan beragam janji manis, namun, di balik semua itu, kita tahu bahwa banyak dari mereka yang hanya peduli pada kursi kekuasaan. Dan setelah semuanya selesai, rakyat sering kali kembali menjadi penonton dalam kehidupan politik yang seharusnya mereka kendalikan.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh George Orwell dalam karyanya yang penuh satire, "Kekuatan korup, dan kekuasaan mutlak pasti korup secara mutlak." Mungkin ini yang terjadi ketika para elit politik sudah merasa nyaman dengan kekuasaan mereka. Mereka lupa bahwa pada akhirnya, rakyat adalah alasan mengapa mereka ada di sana. Pilkada hanyalah sebuah momen singkat yang menjadi ajang untuk meraih simpati, namun bagi banyak elit, kekuasaan adalah tujuan yang jauh lebih besar dari sekadar melayani rakyat.
Melalui The Columnist id, saya hanya ingin berbagi kegelisahan saya sebagai bagian dari masyarakat yang selalu menjadi saksi dari permainan politik ini. Apakah akan ada perubahan? Hanya waktu yang bisa menjawab, tetapi yang pasti, kita sebagai rakyat perlu tetap kritis dan selalu mengawasi setiap langkah para pemimpin kita.
Artikel Lainnya
-
101331/05/2020
-
33513/10/2023
-
116628/05/2020
-
Mengukur Kinerja Pemerintah dari Aspek Kebijakan
95003/04/2022 -
Hari Kemenangan dan Pola Hidup Baru
180523/05/2020 -
Public Discourse: Riuh Rendah Politik Dinasti
124828/07/2020