Pilkada, Klientelisme, dan Nalar Sehat Pemilih

Pilkada, Klientelisme, dan Nalar Sehat Pemilih 07/12/2020 1459 view Politik Kompas.com

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 boleh dibilang memiliki tantangan tersendiri. Hal ini tentu karena Pilkada tahun ini diselenggarakan di tengah pandemi covid-19. Meskipun begitu, pemerintah telah menetapkan Pilkada tetap dilaksanakan di 270 daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) pada tanggal 9 Desember.

Kita semua tahu, bahwa pandemi covid-19 belum usai dan kapanpun bisa menyerang setiap orang jika tidak mematuhi protokol kesehatan (prokes) sebagaimana anjuran tim kesehatan. Untuk itu, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi tentu tidak boleh dilakukan sesuka hati, melainkan tetap memastikan kita tidak tertular dengan tetap mematuhi anjuran protokol kesehatan.

Terlepas dari pandemi covid-19, Pilkada merupakan pesta besar atas kemenangan rakyat untuk menentukan dan memilih pemimpinan di daerah. Kemenangan itu tentu harus direpresentasikan dalam wujud konkrit melalui pemilihan yang berlandaskan pada kemajuan dan kesejahteraan rakyat itu sendiri. Artinya, rakyat di daerah harus membuka diri sekaligus menentukan pilihan politik terhadap calon dengan berpijak pada orientasi kemenangan rakyat. Karena atas kemenangan itulah, rakyat telah mempertahankan kesejahteraan mereka sendiri, jika tidak, kemenangan itu berubah menjadi kekalahan yang jauh lebih mengerikan bagi masa depan kesejahteraan mereka dan demokrasi di aras lokal.

Jika demikian, apa sebab dari bentuk kekalahan yang diterima rakyat dari Pilkada? Kekalahan rakyat di daerah (dalam Pilkada) ialah ketika mereka memilih dan menentukan pemimpin daerahnya berdasarkan logika pertukaran keuntungan material.

Logika pertukaran keuntungan material dalam konteks ini merujuk pada suatu kondisi dimana rakyat memberikan hak suara kepada calon tertentu dan calon tersebut mendistribusikan keuntungan material bagi mereka. Inilah yang disebut sebagai praktik klientelisme.

Klientelisme Politik

Aspinall dan Berenschot (2019), mendefiniskan bahwa, praktik klientelisme politik terjadi ketika para pemilih, para penggiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat material.

Aspinall dan Berenschot dalam bukunya, Democracy For Sale (2019), menggunakan istilah klientelisme dan patronase secara bergantian. Menurut mereka, Klientelisme merujuk pada suatu jenis pertukaran yang khas, patronase merujuk pada apa yang dipertukarkan.

Sedangkan menurut Aspinall dan Sukmajati (2015), patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukung. Sebaliknya, klientelisme merujuk pada karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung.

Namun terlerlepas dari pandangan tersebut di atas, kita menaruh harapan besar, bahwa, Pilkada tahun 2020 harus bebas dari praktik klientelisme dan patronase. Pilkada tidak boleh menjadi momentum yang menyuburkan praktik klientelisme dan patronase. Tetapi merupakan pesta dimana rakyat merayakan dan mempertahankan kemenangan mereka.

Pilkada tahun 2020 yang diselenggarakan ditengah pandemi covid-19 tentu menjadi momentum bagi para calon untuk mendistribusikan barang kepada masyarakat. Di tengah pandemi covid-19, banyak dari para calon memanfaatkan kesempatan untuk mendistribusikan barang kepada masyarakat agar mendapatkan dukungan dan simpati dari masyarakat.

Bahkan itu dilakukan dengan memasang foto calon melalui bantuan sosial. Seperti, kepala daerah di Klaten, Jawa Tengah, beberapa daerah di Provinsi Lampung seperti di Pesawaran, Way Kanan, Lampung Tengah, Lampung Timur dan Bandar Lampung, kemudian di Pangandaran, Jawa Barat, Serta Sumenep dan Jember, Jawa Timur (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52533254, diakses pada 30 November 2020).

Maraknya calon menggunakan strategi klientelistik dalam Pilkada di tengah pandemi untuk menarik dukungan pemilih, merupakan cara yang tidak dibenarkan. Hal ini tentu beralasan, sebab dengan perilaku seperti itu, Pilkada telah berubah dari pertarungan akal sehat menjadi pertarungan pragmatis.

Bentuk pertarungan yang terakhir ini mengarah pada sikap dan tindakan calon yang lahir akan ambisi kekuasaan, bahwa dalam pikirannya, kekuasaan harus diraih dengan segala cara. Itu busuk.

Di sinilah praktik klientelisme harus ditolak dan ditentang oleh rakyat di daerah. Pesta Pilkada bukan untuk menunjukan kuantitas atas distribusi barang kepada rakyat, bukan hanya sekedar pesta untuk memilih pemimpin. Melainkan sebuah pesta dimana rakyat harus mempertahankan kemenangan demokrasi elektoral dan memberikan tempat kepada orang yang memiliki pendirian politik bagi kepentingan rakyat. Bukan hanya sekedar narasi yang dibangun dalam kampanye politiknya, melainkan terwujud dalam aksi nyata serta treck record politik calon tersebut. Hal demikian tentu bisa dilakukan jika rakyat di daerah menyadari akan kondisi mereka.

Masa depan kesejahteraan rakyat ditentukan oleh pilihan politik yang mereka berikan di bilik suara. Jika pilihan itu tepat, kebijakan publik di masa mendatang akan berpihak pada rakyat, begitu pun sebaliknya.

Jika pilihan politik itu berangkat dari logika pertukaran material, tentu bukan kesejahteraan yang didapat di masa depan, tetapi sebuah kebijakan yang tidak mengakomodasi kepentingan rakyat, melainkan oligarki. Untuk itu, Pilkada tahun 2020 merupakan momentum untuk memilih pemimpin daerah dengan rasional, bukan emosional yang dibungkus dengan logika pertukaran klientelistik.

Nalar Sehat Pemilih

Pertanyaan yang paling mendasar disini ialah, bagaimana pemilih memilih berdasarkan nalar sehat mereka? Saya kira, tidak rumit. Memilih seorang calon tentu berdasarkan pertimbangan politik yang matang, yakni, soal visi-misi, program yang ditawarkan, serta treck record politik. Ketiga hal tersebut saya kira sudah dipelajari oleh pemilih, baik itu selama masa kampanye calon, maupun dalam masa dimana calon berada bersama pemilih di lingkungan masyarakat.

Sementara itu, tantangan pada Pilkada tahun 2020, bagi saya, tidak terletak pada minimnya partisipasi pemilih akibat pandemi covid-19. Tetapi yang jauh lebih besar dan sangat berpengaruh di masa depan ialah, pemilih yang membentuk ikatan pilihan politik terhadap calon tertentu berdasarkan logika pertukaran material yang harus dia terima.

Kondisi dan perilaku semacam ini merupakan tantangan yang paling utama terhadap nalar sehat dari pemilih dalam kondisi dimana mereka ditawari beragam material dan bahkan kemudahan akses mendapatkan jabatan publik, perizinan yang mudah, kontrak proyek pemerintah dan pekerjaan.

Dengan adanya tawaran semacam ini, tentu yang lahir ialah sikap pemilih yang sangat pragmatis dan oportunis. Bukan itu saja, yang ada ialah pesta demokrasi elektoral di tingkat lokal, tidak saja hari ini, tetapi di masa mendatang akan melahirkan pemilih yang terbiasa dengan praktik klientelisme. Bahkan mareka akan senang dan menyukai ada calon yang bersedia mendistribusikan barang kepada mareka dan dipertukarkan dengan dukungan dan pilihan politik untuk calon tersebut.

Di sini yang saya maksudkan tadi, bahwa, kemenangan tidak lagi berpihak pada rakyat di daerah. Mareka telah menggadai kemenangan itu dengan barang yang justru sangat tidak sebanding dengan apa yang harus mereka terima di masa depan. Yang ada, di tengah perilaku pemilih semacam ini, kita tidak bisa mengharapkan tumbuhnya nalar sehat, melainkan suatu kemenangan instan dan kekalahan yang abadi.

Apa yang mau saya katakan ialah bahwa, Pilkada harus menjadi panggung kemenangan rakyat. Jika rakyat memilih untuk menerima kemenangan instan (praktik klientelistik), rakyat harus bertaruh masa depan kesejahteraan mereka dikuasi oleh kepentingan elit lokal yang berwatak oligarkis. Di situlah kemenangan berubah menjadi kekalahan rakyat. Pada titik ini, kemenangan telah berpindah tangan dari rakyat ke tangan oligarki lokal.

Sampai di sini, kita harus betul-betul memanfaatkan momen Pilkada sebagai sebuah pesta dimana kita memilih berdasarkan pertimbangan akal sehat. Di sisi lain yang juga harus dilakukan ialah membangun kerjasama lintas rakyat, dengan membentuk semacam aliansi bersama menolak berbagai praktik busuk dalam Pilkada.

Dengan itu kita telah membangun demokrasi yang sangat baik dan bermutu, tidak saja untuk hari ini, tetapi untuk masa-masa mendatang. Tidak semata atas demokrasi itu sendiri, tetapi juga kita telah membangun kerjasama untuk melakukan perlawanan terhadap munculnya bibit-bibit oligarki lokal.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya