Pilkada Dan Nalar Kritis Pemilih

Tahun 2020 merupakan tahun politik yang paling ramai di pulau Flores terutama Manggarai. Secara teritori, wilayah Manggarai terbagi kedalam tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai (bisa juga disebut Manggarai Tengah) dan Manggarai Timur.
Untuk wilayah Manggarai Timur sendiri, pesta demokrasi (pilkada) sudah dilaksanakan. Namun untuk wilayah Manggarai Barat dan Manggarai, pesta demokrasi akan dilaksanakan pada tahun 2020 mendatang.
Hal ini tentu sangat menarik. Bagaimana peta kekuatan politik yang dibangun di kedua wilayah tersebut dapat betul-betul menghadirkan nuansa pilkada yang jujur sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Di sana semua akan teruji, bagaimana pasangan calon membawa visi dan misi yang dapat menarik dukungan pemilih (konstituen). Sikap pemilih akan teruji secara matang dalam menghadapi berbagai isu-isu politik dan bagaimana rasionalitas pemilih mampu membendung opini politik yang ada.
Persiapan menuju pilkada Manggarai sudah sangat terasa. Masing-masing partai sudah mulai membuka "keran" politik bagi setiap kader-kader partai untuk bertarung dalam Pilkada. Mesin partai akan dikerahkan untuk mempengaruhi sikap pemilih demi mendulang suara dalam demokrasi pilkada Manggarai. Isu-isu politik mulai bertebaran di mana-mana, baik ke tengah-tengah masyarakat maupun lewat media sosial.
Strategi seperti ini barangkali sudah biasa dalam percaturan politik Indonesia, hanya mungkin cara yang dipergunakan berbeda. Namun semua itu bermuara dengan maksud dan tujuan mempengaruhi pemilih.
Hal-hal seperti ini merupakan fenomena politik yang akhir-akhir ini mulai nampak dan berterbangan ketengah-tengah masyarakat Manggarai. Sudah bisa dipastikan, masyarakat Manggarai akan sangat sulit membendung beragam isu yang nanti dihembuskan, jika isu-isu yang ada tidak difilter secara rapih, logis dan transparan.
Masalahnya, kultur politik dalam ranah lokal sulit mengedepankan aspek kritis. Hal demikian karena logika masyarakat mudah disusupi dengan isu kesukuan. Berbeda dengan politik nasional, politik lokal mudah sekali terbentur dengan persoalan suku.
Di kalangan masyarakat Manggarai, keterikatan kuat pada suku mudah untuk digiring dalam ranah politik. Sehingga preferensi pemilih akan berdampak kuat terhadap keterikatan nilai-nilai suku dan sulit mengedepankan aspek kritis dalam memilih pasangan calon.
Masyarakat dengan model ini akan tetap bertahan dengan pilihan politiknya bukan karena visi dan track record yang menjanjikan, tetapi karena kuatnya ikatan suku yang membentengi pilihan politik. Dan ini tidak bisa serta-merta di hilangkan begitu saja, karena suku sudah terkontaminasi dengan perihal kepentingan politik. Sehingga pilihan masyarakat tidak mendaraskan berdasarkan preferensi kritis, tetapi lari kepada pilihan-pilihan yang berbau suku.
Tercatat demokrasi politik lokal sarat dengan politik mutualisme. Politik dengan model ini hampir tidak pernah alpa dalam gelanggang politik lokal, apalagi Manggarai. Dalam term politik, hal ini merujuk pada apa yang disebut sebagai politik etis. Dan pilkada Manggarai selalu menghadirkan warna politik yang sangat kental dengan politik mutualisme.
Seperti tadi saya katakan, suku dengan sendirinya akan hadir ketika politik mutualisme mulai mengepakan sayap dalam pilkada. Masyarakat justru akan mudah tergiur dengan wajah politik seperti ini. Bagi mereka, sama sekali tidak masalah, yang terpenting selepas pilkada pemimpin yang mereka usung akan mengakomodir mereka masuk dalam wilayah kekuasaan.
Dengan mindset seperti ini, masyarakat akan berupaya menggalang suara demi pemimpin yang mereka usung. Karena toh nanti jatah kekuasaan pasti dibagikan. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh Harold D. Laswell, “politics is who gets what, when and how”.
Politik mutualisme tidak membuka cakrawala berpikir kritis bagi pemilih. Justru hadirnya wajah politik mutualisme, masyarakat semakin terobsesi dengan janji-janji politik yang nanti diberikan. Ruang kritis masyarakat sebagai pemilih dalam pilkada sulit kita temukan. Di samping kuatnya ikatan suku, politik mutualisme dengan mudah menggerogoti logika pemilih dan tanpa sadar pilkada telah melahirkan apa yang disebut Hannah Arendt sebagai ‘banalitas politik’.
Banalitas politik akan menjamur kuat dalam pilkada Manggarai karena masyarakat sudah terbiasa dengan pola-pola politik suku yang ditawari dengan politik mutualisme. Dalam konteks pilkada, masyarakat akan mudah melihat pilkada tidak lebih dari sebuah percaturan memperebutkan kekuasaan. Yang menempatkan politik sebagai jalan untuk memperebutkan kuasa. Di sini sebetulnya logika berpikir masyarakat sebagai pemilih telah menjadi ganas, karena lebih mementingkan esensi (kekuasaan) daripada subtansi (bonum commune).
Pilkada Manggarai menjadi peristiwa penting yang akan menentukan masa depan Manggarai. Manggarai akan menghadapi arus perubahan yang begitu cepat baik di sektor ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan dan pariwisata jika pesta demokrasi (pilkada) dapat betul-betul di isi dengan nalar yang sehat dan bersih. Artinya, masyarakat Manggarai merupakan ujung tombak yang akan menentukan keberlanjutan Manggarai.
Hal ini dilakukan tidak serta merta seperti membalikan telapak tangan. Di sana masyarakat Manggarai punya peran yang cukup signifikan dalam mendorong pilkada yang bersih, transparan sehingga melahirkan pemimpin yang berkualitas. Pilkada menjadi momen yang menyodorkan beragam tawaran dari berbagai paslon guna menggaet suara pemilih. Namun jika logika pemilih hanya menempatkan politik sebagai sarana, sulit jika kemudian pemimpin yang lahir dari demokrasi, one man one vote, akan benar-benar bersandar pada kepentingan umum.
Untuk itu, ada beberapa solusi yang barangkali bisa menjadi tawaran terhadap logika pilkada yang selama ini ditempatkan dalam term merebut kekuasaan.
Pertama, keterikatan kuat pada suku tidak boleh terkontaminasi dengan kepentingan politik. Hal ini dikhawatirkan masyarakat sulit menentukan pilihan politik sesuai dengan logika kritis.
Kedua, mendorong masyarakat untuk lebih transparan dalam memilah dan memilih calon yang memang sudah teruji track record dilapangan.
Ketiga, mendorong Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) serta Badan Pengawas untuk lebih menghadirkan kegiatan-kegiatan seperti sekolah politik, diskusi publik serta sosialisasi politik kepada masyarakat Manggarai agar mereka punya modal politik yang kuat dalam memilih pemimpin 2020 nanti.
Keempat, mendorong partai-partai politik untuk melakukan blusukan ke tengah-tengah masyarakat dengan tujuan memberikan pendidikan politik. Pendidikan politik akan menjadi basis utama masyarakat Manggarai dalam menyongsong pilkada 2020.
Pilkada Manggarai bukan sekedar memilih pemimpin, tetapi merupakan bagian dari ujian kritis masyarakat Manggarai menentukan pemimpinnya.
Artikel Lainnya
-
134512/12/2019
-
71004/12/2020
-
133716/06/2020