Petani Sawit: Di Antara Kritik Pedas Aktivis dan Monopoli Kapitalis

Mahasiswa Terujung
Petani Sawit: Di Antara Kritik Pedas Aktivis dan Monopoli Kapitalis 27/02/2020 1404 view Ekonomi Satuharapan.com

Indonesia adalah negeri yang amat banyak diberi hamparan tanah yang luas, dengan berbagai kesuburan di atasnya, bahkan ada yang berkelakar tentang kesuburan Indonesia “tongkat pun kalau dilempar jadi tanaman”.

Jika dikaji secara filosofis, hakikat dari seluruh hamparan luas dan kesuburan tanahnya itu tuhan berikan pada masyarakat Indonesia guna dimanfaatkan untuk menanam dan menuai hasil dari tanaman tersebut, untuk kelangsungan hidup manusia Indonesia.

Salah satu tanaman paling penting di Indonesia adalah kelapa sawit. Data-data statisitik yang menyatakan bahwa membangun perkebunan kelapa sawit, berarti membangun ekonomi bangsa, dapat kita temukan di berbagai lembaga.

Ada beberapa faktor penting mengapa kelapa sawit dianggap sebagai lokomotif pembangunan ekonomi bangsa, pertama, industri kelapa sawit merupakan penyumbang dana terbesar bagi devisa negara dari sektor agribisnis. Kedua, keuntungan dari pembangunan industri kelapa sawit tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dan para pemiliki saham, para petani juga mendapatkan dampak yang besar.

Sejak berkembangnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia dua dekade yang lalu, para petani di wilayah pedalaman Sumatera dan Kalimantan mulai merasakan kesejahteraan dalam bidang ekonomi. Sebab dengan itu mereka dapat menggantungkan mimpinya ke arah yang lebih baik. Karena sebelum sawit dijadikan perkebunan utama oleh para petani di Sumatera dan Kalimantan, stigma masyarakat urban perkotaan tentang para petani sedikit negatif, yaitu melarat, kotor, dan hidup serba tak menentu; jika ada makan, jika tidak tahan.

Namun, semenjak sawit menjadi primadona perkebunan di Sumatera dan Kalimantan, stigma itu mulai hilang, sebab sudah banyak para petani sawit yang hidup mapan dan berkecukupan, bahkan sanggup menyekolahkan anaknya ke universitas-universitas ternama di Indonesia.

Pembangunan kelapa sawit adalah roda ekonomi yang selalu berputar dalam satu lingkaran pembangunan bangsa yang bersifat simbiosis mutualisme, analoginya bisa seperti ini: perkebunan sawit berkembang, devisa negara melimpah ruah, rakyat mulai menanam sawit sebagai tanaman utama di kebunnya, anak petani sawit kuliah di sekolah tinggi, kemudian berguna bagi nusa bangsa.

Namun banyak dari para petani sawit yang bukan korporat dirundung dilema, antara melanjutkan perkebunannya atau mendengarkan kritik pedas yang dilancarkan ragam pecinta alam di Indonesia? Karena mau tidak mau, setuju atau tidak setuju, pembukaan lahan sawit menjadi salah satu sebab rusaknya lingkungan alam, baik berupa kebakaran hutam, maupun kekeringan.

Kritik Tanpa Solusi adalah Tragedi

Para petani sibuk, menunas sawit, membersihkan sekeliling pohonnya dari ilalang, lalu memupuknya dengan uang tabungan demi sebuah harapan sawitnya subur dan menguntungkan guna dapat menyekolahkan putra-putrinya serta untuk keperluan makan keluarganya.

Akan tetapi para pengkritiknya tanpa dosa berkomentar sambil menikmati makan mewah di sofa yang empuk dalam ruangan ber-AC. Baik itu dari kalangan akademisi, aktivis lingkungan, bahkan orang-orang biasa saja, yang tidak pernah memegang cangkul sepanjang hidupnya.

Kritik terhadap pembangunan kelapa sawit di Indonesia datang silih berganti, namun sama sekali tidak ada solusi nyata yang mereka tawarkan dalam kritiknya kepada para petani sawit.

Oleh karena itu, kita harus sadar juga bahwa kritik tanpa solusi bagi para petani adalah suatu hal yang amat kejam. Lebih-lebih hampir mayoritas petani di Sumatera dan Kalimantan tidak mengecap pendidikan tinggi di bidang pertanian.

Maka dari itu, daripada menghabiskan waktu untuk mengkritik mereka yang menggantungkan hidup dan nasibnya dari perkebunan sawit, lebih baik memberikan mereka edukasi tentang bagaimana mengolah perkebunan sawit yang baik dan benar tanpa merusak lingkungan sekitarnya, dan mengundang para pakar agrobisnis dan agroteknologi untuk memberikan pelatihan pada para petani.

Bukan hanya kritik pedas yang dilontarkan para aktivis yang bakal dihadapi oleh para petani sawit. Monopoli harga sawit dari para perusahaan sawit juga merupakan beban yang bukan main beratnya, dan itu mesti dipikul oleh para petani, suka ataupun tidak suka, sebab tidak ada pilihan lain. Hal ini tentu di luar catatan harga-harga miring yang dipatok tengkulak pada para petani sawit yang kurang paham dengan harga pasar.

Segala persoalan ini harus ditelan mentah-mentah oleh para petani sawit, di pedalaman Sumatera dan Kalimantan. Karena para pengkritik tanaman sawit jarang sekali meninjau dinamika yang dihadapi oleh para petani saat masa panen tiba. Yang diketahui oleh para aktivis lingkungan hanyalah: kebakaran hutan, kekeringan air karena kebutuhan perkebunan sawit, degradasi hutan dan eksploitasi alam secara besar-besaran.

Pernahkah terdengar kabar bahwa para aktivis lingkungan turun ke jalan untuk membela hak-hak para petani sawit yang terabaikan? Atau berbicara di depan layar kaca tentang nasib para petani sawit yang bukan korporat? Entahlah.

Meskipun pemerintah pernah membela hak-hak petani sawit ketika Uni Eropa melarang pemakaian minyak sawit dengan berbagai alasan, namun hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari motif ekonomi yang lebih besar di dalamnya. “Tidak ada makan siang gratis” mungkin adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan pembelaan yang diberikan pemerintah ketika Uni Eropa memaki habis-habisan industri minyak sawit.

Oleh karena itu, dengan berbagai alasan pula, lebih baik para aktivis diam, daripada mengkritik tapi tidak memberi solusi pada para petani sawit. Karena kritik tanpa solusi adalah tragedi. Memaki-memaki seperti tukang obat keliling yang mencari pembeli, bukanlah jalan keluar terbaik dari persoalan ini, karena mnghentikan perkebunan kelapa sawit tentu menghentikan mata pencaharian orang banyak pula.

Namun, jika para aktivis sanggup menanggung biaya hidup para petani sampai mereka berhasil mencari tiang gantungan yang lain, silahkan kritik sehabis-habisnya, tidak ada masalah. Toh sawit juga banyak mendatangkan mudharat bagi Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya