Petani, Kisah Percintaan dan Pergunjingan Dunia Maya
Postingan seorang teman asal India menyelinap di beranda FB saya. “Wanted Farmer”, begitu bunyi tulisan putih tebal berlatar hijau. Sebuah iklan sedang mencari siapa yang mau menjadi petani di India.
Iklan itu milik Keeraikadai.com, sebuah startup milik anak muda. Sebuah perusahaan rintisan yang menjual produk-produk sayuran secara online (keerai artinya bayam, sedangkan kadai maksudnya toko). Seiring dengan meningkatnya permintaan dari konsumen, perusahaan yang masih berusia muda ini butuh petani tambahan.
Lalu saya merasa ada yang aneh dengan iklan ini. Bukankah India penghasil produk pertanian dunia dan ratusan juta rakyatnya bekerja di sektor pertanian? Bagaimana mungkin Keeraikadai.com bisa kekurangan petani?
Ternyata belakangan ini jumlah petani di sana terus menurun. Terlebih sejak tiga dekade lalu ketika ratusan ribu petani beramai-ramai mengakhiri hidupnya. Bunuh diri karena tak sanggup membayar hutang. Jumlah bunga pertahun hampir seperempat dari jumlah hutang. Tak sebanding dengan penghasilan sepetak mungil sawah. Sialnya, istri dan anak harus mewarisi hutang selepas mereka bunuh diri.
Menjadi petani di India amat berat sehingga harus berhutang kepada rentenir. Jadi, sudahlah kebijakan pemerintah tak menguntungkan, rentenir mencekik pula. Mana ada yang mau jadi petani.
Mendengar cerita ini, barangkali ada diantara anda yang berkata dalam hati, “petani di India telah tertindas puluhan bahkan ratusan tahun, tak ada lagi yang mau jadi petani. Maka betapa sedihnya Keeraikadai.com, perusahaan rintisan yang harus bersusah payah mencari petani baru”.
Gumaman anda itu tak salah. Namun lebih menarik jika melihat sisi semangatnya. Sriram Prasad dengan Keeraikadai.com tengah berusaha menyelamatkan petani di India. Melalui teknologi, rantai pemasaran dipotong dan biaya distribusi dipangkas, nilai keuntungan pun meningkat. Cukup menggiurkan untuk menjadi petani model begini.
Teknologi melepaskan leher petani India dari jeratan hutang. Begitu yang terdengar dibalik iklan “Wanted Farmer” milik Keeraikadai.com.
Cerita tentang Keeraikadai.com mengingatkan saya pada seseorang. Jika di India ada Prasad, maka di Indonesia ada Nur Agis Aulia. Keduanya punya kemiripan, sama-sama berusaha memperbaiki kesejahteraan petani.
Agis adalah adik tingkat saya di Fisipol UGM dulu. Meski terpaut beberapa tahun, saya terus mengikuti perkembangannya hingga sekarang sukses sebagai petani muda dan anggota dewan. Beberapa kali mendapat penghargaan bergengsi, ribuan orang telah datang untuk belajar langsung padanya, serta banyak media dan televisi meliput dan memintanya untuk jadi pembicara.
Selepas lulus dari UGM dengan prediket cumlaude, Agis justru memutuskan batal bekerja di salah satu BUMN, padahal telah lulus tes dan diterima. Ia bilang, “bertani itu adalah ibadah, bisa memberi makan dokter, guru, dosen, dan lain-lain”. Dan “…selama manusia belum bisa makan batu, maka petani masih dibutuhkan”, terangnya pada kesempatan lain. Masuk akal.
Agis lalu mengembangkan pertanian di Banten melalui pendekatan agroindustri dan komunitas. Prinsipnya sederhana. Bertani tak melulu soal budidaya tanaman, melainkan juga distribusi hasil budidaya atau penjualan produk pertanian. Lalu jaringan komunitas akan menurunkan ongkos produksi, memperluas sekaligus memperpendek rantai penjualan hasil pertanian. Keuntungan bisa berlipat.
Berkat agroindustri dan pendekatan komunitas, kesejahteraan petani meningkat. Demikian pesan sederhana dari kisah Agis.
Prasad berhasil melalui teknologi, sedangkan Agis sukses melalui agroindustri dan komunitas. Namun saya ingin mengatakan sesuatu. Hal terpenting yang mampu menyelamatkan petani dari kesengsaraan bukanlah teknologi atau agroindustri dan pendekatan komunitas. Melainkan tanah. Iya benar, petani harus memiliki tanah untuk bertanam.
Suatu ketika salah seorang tokoh petani di Badega yang baru keluar dari penjara bertanya. Mengapa tanah petani dirampas dan tidak dilindungi Pemerintah, sedangkan petani yang mengambil kembali tanahnya malah dipenjara? Begitu kira-kira tanyanya pada Noer Fauzi Rachman, seorang intelektual agraria (2003).
Pastinya ada yang berkata dalam hati, “betapa tak adilnya pemerintah”. Boleh-boleh saja. Akan tetapi pesan lain dari cerita itu adalah petani rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali tanahnya. Dipenjara sekalipun mereka tak takut.
Mengapa begitu? Karena petani dan tanah adalah satu. Petani hanya ada jika tanah tempat bibit tanaman tumbuh itu ada terlebih dahulu.
Bahkan tanah menentukan kehidupan petani itu sendiri. Benar-benar kehidupan yang menyangkut seluruh aspek. Tidak terbatas pada aspek ekonomi saja, seperti keuntungan, tetapi juga sosial, budaya, hingga percintaan!
Mengenai percintaan, ah… Bagaimana kabar kalian wahai sepasang kekasih, Saidjah dan Adinda?
Multatuli mengabadikan cerita mereka dalam novel legendaris Max Haveelar. Politik tanam paksa Belanda telah melumat tanah orang tua keduanya dan memporakporandakan kisah percintaan itu. Tragis.
Saidjah baru pulang dari perantauan. Telah terbilang tiga puluh enam purnama ia pergi mengumpulkan uang untuk menikahi Adinda si belahan jiwa. Pagi di hari yang dijanjikan, Saidjah tak menemukan Adinda di bawah pohon Ketapang dekat dusunnya. Adinda ternyata telah berangkat ke daerah Lampung. Dibawa pergi ayahnya yang lari dari himpitan pajak tanah.
Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Saidjah yang menyusul ke Lampung hanya berjumpa dengan Adinda yang telah tewas diremuk peluru Belanda. Ia lalu menyelimuti tubuh kaku perempuan terkasihi itu dengan selembar kain. Kain yang semula mau dijadikannya hadiah pernikahan mereka. Saidjah kemudian mengamuk sampai ia mati tertikam bayonet.
Demikian dalamnya pengaruh tanah pada kehidupan petani. Tak hanya perihal ekonomi, tapi juga sampai pada hal-hal yang tak terpikirkan oleh kita: percintaan. Kita yang bukan petani tentunya amat sukar untuk menyadari itu.
Saya tak sedang ingin mengatakan, apa yang dilakukan Prasad dan Agis tak penting. Mereka telah berbuat sesuatu. Entah berapa pasang petani muda yang berhasil menikah gara-gara inovasi keduanya.
Namun alangkah baiknya jika kita bisa memahami bagaimana tanah menjadi syarat terpenting bagi keberhasilan Prasad dan Agis. Keeraikadai.com tak akan pernah ada tanpa adanya tanah. Apa yang mau dijual bila tak ada tanah untuk ditanami bayam. Agis juga sama. Hanya dengan memiliki tanah dengan luasan yang cukuplah ia bisa menerapkan agroindustri dan jaringan komunitas.
Tanah dengan luasan yang cukup. Inilah kuncinya. Dan di sinipula letak persoalan itu.
Ada banyak petani yang belum demikian. Bahkan ribuan diantaranya justru terusir oleh rencana pembangunan. Tak perlu saya ceritakan lagi, anda pasti sudah mendengar banyak kisah tentang tragedi itu.
Apakah kita bisa berbuat sesuatu demi petani? Ada. Tapi sayang, kita belum melakukannya.
Weapon of the Weaks, senjatanya orang-orang yang lemah, demikian judul buku James Scott (1985). Ketika kapal besar tenggelam, orang-orang menuduh batu karang sebagai pelaku. Padahal, jutaan Polip yang membentuk batu karang itulah yang seharusnya bertanggung jawab.
Analogi itu sama dengan pergunjingan. Ketika orang-orang saling bergunjing tentang ketidakadilan, maka gelombang perlawanan akan muncul dalam banyak bentuk tanpa bisa dibendung. Saat gelombang itu datang, situasi yang lebih baik akan hadir.
Terlebih belakangan ini, manakala ratusan juta kita terkoneksi media sosial, pergunjingan menjadi barang ampuh untuk menegakkan keadilan. Bukankah kita sudah punya pengalaman itu, Koin untuk prita dan Cicak vs. Buaya?
Itulah yang membuat pergunjingan di dunia maya bisa menjadi cara memperbaiki kehidupan petani. Hanya saja, kita belum mau melakukan itu. Benar, kita telah rajin bergunjing di jagad maya. Tapi kita cuma mempergunjingkan hal-hal remeh.
Tentang biduan anyar Duo Semangka, artis mengamuk di acara live tv, sampai kisah KKN Desa Penari. Pergunjingan-pergunjingan remeh model begini telah menyingkirkan kisah petani dan tanahnya.
Maka, jika anda memiliki empati terhadap petani dan percaya media sosial dapat menjadi alat perubahan, mari renungkan kembali pergunjingan maya yang sudah-sudah. Dan mulailah bergunjing tentang petani dan tanahnya.
Artikel Lainnya
-
160203/09/2024
-
47625/11/2023
-
189622/04/2020
-
202423/03/2020
-
74705/07/2020
-
Manipulasi Emosi Gegara Media Sosial
179511/12/2020