Pertaruhan Partai Politik Baru di Pemilu 2024
Topik pemilu 2024 masih menjadi perbincangan sexy menjelang perhelatanya, karena banyak aspek yang dapat di diskusikan. Satu kalimat yang dapat memunculkan ruang diskusi mengenai hal ini adalah “partai politik baru apakah mampu berbicara banyak di pemilu 2024”.
Kalimat tersebut menjadi pertaruhan bagi partai politik baru yang memiliki keinginan ikut bertarung di panggung besar 2024. Tantangan yang tentunya perlu di perjelas oleh para penggagasnya bahwa partai politik yang didirikanya bukan hanya sekedar sebagai pion pelengkap, namun juga mampu bersaing dan bertarung habis-habisan. Hal ini wajar sebetulnya dilontarkan ke ruang publik, karena dapat menjadi pengingat bahwasannya mendirikan partai politik bukan hanya sekedar memiliki struktur kepengurusan dan diakui negara secara administrasi.
Lebih besar dari itu, partai politik harus memiliki landasan ideologis yang jelas sebagai pedoman dalam bertindak. Kemudian secara ideal, partai politik harus memiliki ide dan cita-cita karena hal tersebut yang akan menjadi pemicu organisasi politik tersebut bertarung mati-matian untuk menggapainya.
Secara normatif, beberapa partai politik baru banyak muncul menjelang pemilu 2024. Namun begitu menjadi catatan bahwa belum tentu partai politik tersebut dapat mengikuti pemilu 2024. Hal ini berkaitan dengan syarat yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang harus dipenuhi oleh semua partai politik peserta pemilu. Secara sederhana dapat dikatakan partai politik yang dapat mengikuti pemilu 2024, harus lolos tahap verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini menjadi langkah ujian awal yang dapat dilihat oleh publik bahwa apakah partai politik baru ini memiliki keseriusan dan kapasitas secara kelembagaan untuk mengikuti kontestasi.
Beberapa partai politik baru yang muncul yakni pertama, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN). Kedua, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora). Partai Gelora resmi menjadi partai politik setelah mengantongi SK Kemenkumham pada Rabu, 20 Mei 2020. Ketiga, Partai Ummat didirikan oleh Amien Rais, mantan Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) dan juga mantan Ketua MPR. Keempat, Partai Pelita didirikan oleh Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, pada Senin, 28 Februari 2022. Kelima, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai ini diprakarsai oleh seorang mantan aktivis 98, Agus Jobo. Keenam, Partai Rakyat, Pada 2021, Partai Rakyat yang diketuai Arvindo Noviar ini resmi terdaftar di Kemenkumham(Nurhadi, 2022).
Sejarah Keikutsertaan Partai Politik Baru di Pemilu Indonesia Pasca Reformasi
Pasca reformasi 1998, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu sebanyak 5 kali yakni tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. Sejarah panjang dan terjal mengarungi perjalanan keikutsertaan partai politik baru di setiap penyelenggaraan pemilu. Eksistensi menjadi pertaruhan sengit nan berdarah bagi partai politik baru. Tidak sedikit partai politik tersebut lenyap bak di telan bumi setelah tidak mampu berbicara banyak di pemilu yang pertama diikuti. Penyebabnya tidak lain adalah belum kuatnya basis berdirinya partai, mulai dari ideologi, ide dan cita-cita.
Penentu keberhasilan partai politik baru dalam mengikuti kontestasi pemilu adalah mendapatkan kursi di parlemen. Hal ini karena dapat menjadi penanda eksistensi dan kekuatannya menguat dengan mendapatkan suara dari rakyat. Lebih daripada itu, mendapatkan kursi di parlemen menjadi sumber penghidupan partai politik hari ini, begitu juga dengan kursi eksekutif sekelas Menteri.
Melihat perjalanan penyelenggaraan pemilu, dapat ditarik benang merahnya bahwa partai politik peserta pemilu dari waktu ke waktu menjadi sedikit berkurang. Hal ini bukan karena pendaftarnya atau partai politiknya yang sedikit, namun yang tidak lolos verifikasinyalah yang banyak. Hal ini menunjukan bahwa elite partai politik hanya mampu mendirikan partai dengan kemudahan fasilitas yang ada, akan tetapi belum memiliki persiapan yang matang dari banyak segi.
Kemudian, melihat data tersebut juga dapat dianalisis bahwa hanya sedikit partai politik baru yang mampu eksis bersaing di setiap penyelenggaraan pemilu. Sebut saja pada pemilu 1999, dari sekian banyak partai politik baru hanya PDIP yang mampu survive. Begitu juga di pemilu 2004 yang hanya memunculkan partai demokrat dan sedikit partai lain, serta pada pemilu 2014 yang hanya ada satu partai politik baru yang mampu melewati ambang batas parlemen. pemilu 2009 dan 2019 menjadi ironi bagi partai politik baru peserta pemilu, karena di penyelenggaraan pemilu ini tidak ada partai politik baru yang mampu bersaing dengan para pemain lama. Gambaran begitu sulitnya jalan bagi partai politik baru di setiap penyelenggaraan pemilu memang menjadi momok menakutkan
Apa Yang Penting di Persiapkan Partai Politik Baru
Menurut penulis, setidaknya ada tiga hal yang penting dipersiapkan partai politik baru apabila ingin berjuang dan setidaknya mendapatkan hasil yang maksimal. Pertama, partai politik baru harus menjadi jalan alternatif. Tidak hanya gerbong kereta yang hanya bisa mengikuti kepala kereta, namun banyak juga partai politik yang hanya mampu menjadi pelengkap dan bahkan menjadi pengikut partai politik lama. Padahal secara logis, partai politik baru muncul seharusnya untuk menchalengeng para pemain lama.
Lebih dari pada itu, menempuh jalan berbeda sebetulnya menjadi sangat esensial, agar dapat terlihat oleh rakyat sebagai penentu. Berbeda dalam hal ini bukan hanya sekedar lambang partai, namun secara substansial juga berkaitan dengan ide dan gagasan yang partai politik baru ini bawa. Dua itu menjadi penting, sebab di era sekarang ideologis setiap partai mungkin menjadi sulit untuk diidentifikasi namun ide dan gagasan menjadi penentu apakah partai politik baru ini mampu menjawab tantangan dan menjadi jalan alternatif bagi rakyat untuk memilih.
Kedua, memperkuat kelembagaan internal partai politik. Aspek ini menjadi sangat krusial bagi partai politik baru apabila ingin survive. Sebab penyebab hancur partai dan terjadinya konflik internal salah satu faktor terkuatnya adalah lemahnya kelembagaanya. Maka daripada itu, partai politik baru harus selesai dengan urusan rumah tangganya, baru kemudian bertarung dengan lawan yang sesungguhnya di pemilu. Seperti teori yang disampikan oleh (Randall & Svåsand, 2002) dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Party institutionalization in new democracies” menjelaskan setidaknya ada empat indikator yang harus di persiapkan partai politik agar baik kelembagaanya yakni keorganisasian (systemness), ideologi dan plartform partai (value infusion), reifikasi dan indepensi partai (decisional autonomy). Empat indikator ini setidaknya dapat menjadi acuan bagi partai politik baru dalam mempersiapkan kelembagaan internalnya.
Lebih dari pada itu, menjaga soliditas internal juga sangat fundamental bagi partai politik baru, sebab dapat menjadi modal berharga untuk nanti ikut bertarung di gelanggang 2024. Namun hal ini akan menjadi persoalan, bahkan bukan hanya bagi partai politik baru, permasalahan soliditas juga terjadi di partai politik lama. Seperti PDIP yang merupakan partai politik besar di Indonesia, namun nyatanya apabila dilihat lebih dalam bahwa secara soliditas masih mengalami persoalan. Hal ini mengutip dari hasil temuan tesis dari Dimas Subekti dalam menyelesaikan studi S2 nya di Magister Ilmu Pemerintahan, UMY yang berjudul “Menguji Soliditas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Pencalonan Gibran Rakabuming Raka di Pemilihan Walikota Surakarta 2020”. Kemudian, dalam mempersiapkan soliditas internal partai politik, meminjam teori dari (Noor, 2015) terdapat empat indikator yakni kepemimpinan prosedural, mekanisme resolusi konflik, kaderisasi sistematis dan ideologi. Hal ini dapat menjadi ukuran bagi partai politik baru dalam membangun soliditas internalnya.
Ketiga, menentukan strategi pemasaran politik yang tepat. Hal ini juga menjadi penting, karena berkaitan dengan bagaimana partai politik baru dalam menggaet para pemilih dengan membranding dirinya. Sehingga secara tujuan bahwa partai politik baru ini dapat dengan mudah dikenal dan membentuk basis massanya sendiri. Kemudian, dari situlah partai politik baru ini akan mampu bersaing dengan pemain lama dan setidaknya dapat melewati parlementary trehsold. Teori pemasaran politik yang dikembangkan oleh Niffeneger (1989) dapat menjawab mengenai hal ini. Teori tersebut menjelaskan terdapat empat indikator dalam keberhasilan pemasaran politik yakni political product (platform partai, masa lalu kandidat, dan karakteristik pribadi kandidat), Promotion, Price (ekonomis, citra psikologis, dan citra diri), Place (Sutrisno, Yuningsih, & Agustino, 2018).
Artikel Lainnya
-
35410/02/2024
-
3315/12/2024
-
12607/08/2024
-
Pilkada Sebagai Momentum Kemenangan Rakyat
91504/12/2020 -
497211/11/2019
-
Gerakan Mahasiswa dan Anomali Sejarah
201030/09/2019